Headlines News :

PROFIL

Ujang Murana Wiajya, 23 Juli 1990
Home » » HUBUNGAN FILSAFAT, ILMU DAN AGAMA

HUBUNGAN FILSAFAT, ILMU DAN AGAMA

Written By Unknown on Sunday, July 6, 2014 | 11:51 AM



A. Definisi Filsafat, Ilmu dan Agama
1. Definisi Filsafat
Hatta dan Langeveld (dalam Tafsir, 2007: 9) menyatakan lebih baik pengertian filsafat itu tidak dibicarakan lebih dahulu. Jika orang telah banyak membaca filsafat ia akan mengerti sendiri apa filsafat itu. Dengan demikian, timbul pertanyaan siapa yang pertama sekali memakai istilah filsafat dan siapa yang merumuskan definisinya?. Yang merumuskan definisinya adalah orang yang datang belakangan. Penggunaan kata filsafat pertama sekali adalah Pytagoras sebagai reaksi terhadap para cendekiawan pada masa itu yang menamakan dirinya orang bijaksana, orang arif atau orang yang ahli ilmu pengetahuan. Dalam membantah pendapat orang-orang tersebut Pytagoras mengatakan pengetahuan yang lengkap tidak akan tercapai oleh manusia. (Dardiri, 1986: 9)
Secara teoritis kata filsafat berasal dari bahasa Yunani, philosophia dan philosophos. Menurut bentuk kata philosophia, dan philosophos diambil dari kata philos dan shopia atau philos dan shopos. Philos berarti cinta dan sophia atau shopos berarti kebijaksanaan, pengetahuan dan hikmah. Dalam pengertian ini, seseorang dapat disebut telah berfilsafat apabila seluruh ucapannya dan perilakunya menagndung makna dan ciri sebagai orang yang cinta terhadap kebijaksanaan, terhadap pengetahuan dan terhadap hikmah. (Barnadib, 1997: 9)
Berfilsafat artinya berfikir menurut tata tertib (logika) dengan bebas (tidak terikat pada tradisi, dogma, serta agama) dan dengan sedalam-dalamnya sehingga sampai ke dasar-dasar persoalannya. Atas dasar itu, Nasution secara etimologi filsafat dapat didefinisikan sebagai; pengetahuan tentang hikmah, pengetahuan tentang prinsip atau dasar, mencari kebenaran, membahas dasar dari apa yang dibahas(dalam Sumarna, 2006: 39).
Sedangkan secara praksis Bakry (dalam Sumarna, 2004: 26-27) mendefinisikan filsafat dalam ragam pandangan para tokoh filsafat. Plato dianggap telah mendefinisikan filsafat sebagai ilmu pengetahuan yang berminat mencapai kebenaran yang asli. Aristoteles mendefinisikan filsafat sebagai pengetahuan yang meliputi kebenaran. Al-Farabai mendefinisikan filsafat sebagai ilmu pengetahuan tentang alam maujud dan bagaimana hakekat alam yang sebenarnya. Descartes mendefinisikan filsafat sebagai kumpulan ilmu pengetahuan, yakni tentang Tuhan, alam dan manusia. Immanuel Kant mendefinisikan filsafat sebagai ilmu pengetahuan yang menjadi pokok dan pangkal dari segala pengetahuan. Maka pokok persoalan yang dikaji menurut Kan adalah; 1). Apakah yang dapat manusia ketahui (dijawab oleh metafisika), 2) apa yang seharusnya diketahui manusia (dijawab oleh etika), 3) sampai dimanakah harapan manusia (dijawab oleh agama).
2. Definisi Ilmu
Untuk memahami ilmu dengan baik dan menguasainya secara mendalam guna pengembangannya, pengetahuan mengenai hakikat ilmu merupakan keharusan mutlak. Akan tetapi hakikat ilmu dalam esensinya bukan masalah sederhana, melainkan problem filsafat yang justru paling rumit dan fundamental serta telah menimbulkan perbedaan konsep filosof dalam aspek ontologi, epistimologi dan aksilogi. Bahkan kaum sofis menolak eksistensinya sebagai kebenaran objektif. Ini terlihat sepanjang sejarah zaman Yunani kuno hingga dewasa ini, yang masing-masing aliran mempunyai hukum atau teori sendiri untuk melegitimasi dan menunjukkan keunggulannya di atas aliran lain yang sering bersifat apologetik atau sugestif (Anwar, 2007: 77).
Menurut filosof kuno (dalam Anwar, 2007: 92) ilmu didefinisikan terhasilkannya “gambar” sesuatu pada akal, sama saja apakah sesuatu itu merupakan universal atau partikular, baik ada maupun tiada. Masih dalam buku yang sama Razi mendefinisikan ilmu sebagai putusan akal yang pasti dan cocok dengan realitas obyek berdasarkan suatu argumen. Sedangkan Menurut Ghazali ilmu adalah terhasilkannya salinan objek pada mental subjek sebagaimana realitas objek sendiri, yang dalam bahasa dinyatakan sebagai proposisi-proposisi yang pasti dan sesuai dengan realitas objek berdasarkan metode ilmiah tertentu. Untuk kemajuan dan kebahagiaan manusia secara pribadi.
3. Definisi Agama
Kata agama yang dalam bahasa Inggris disebut religion diartikan dengan “bilief in and worship of God or Gods” atau juga diartikan dengan “particular system of faith and worship based on such belief”. Agama menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sistem atau prinsip kepercayaan kepada Tuhan, atau juga disebut dengan nama Dewa atau nama lainnya dengan ajaran kebhaktian dan kewajiban-kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan tersebut.
Kata “agama” berasal dari bahasa Sansekerta āgama yang berarti “tradisi”. Sedangkan kata lain untuk menyatakan konsep ini adalah religi yang berasal dari bahasa Latin religio dan berakar pada kata kerja re-ligare yang berarti “mengikat kembali”. Maksudnya dengan berreligi, seseorang mengikat dirinya kepada Tuhan.
Tafsir (2007: 9) mendefinisikan agama sebagai sistem kepercayaan dan praktek yang sesuai dengan kepercayaan tersebut dan peraturan tentang cara hidup lahir batin. Sedangkan Einstein (dalam Salam, 1988: 134) agama adalah kegiatan mengagumi dengan rendah hati roh yang tiada terbatas luhurnya, yang menyatakan dirinya dalam bagian yang kecil-kecil yang dapat disadari dengan akal. Agama juga diartikan dengan keyakinan yang sangat emosional akan adanya suatu daya pikir yang luhur yang dinyatakan dalam semesta alam yang tak dapat dipahami
B. Hubungan Filsafat dengan Ilmu
Di zaman Plato bahkan pada masa al-Kindi batas antara filsafat dan ilmu pengetahuan boleh disebut tidak ada. Seorang filosof pasti menguasai semua ilmu. Tetapi perkembangan daya pikir manusia yang mengembangkan filsafat pada tingkat praksis, berujung pada cepatnya loncatan ilmu dibandingkan dengan loncatan filsafat. Meski ilmu lahir dari filsafat, tetapi dalam perkembangan berikut, perkembangan ilmu pengetahuan yang didukung oleh kecanggihan teknologi, telah mengalahkan perkembangan filsafat. Wilayah kajian filsafat bahkan seolah menjadi sempit dibandingkan dengan masa awal perkembangannya, dibandingkan dengan wilayah kajian ilmu. Oleh karena itu, tidak salah jika kemudian muncul suatu anggapan bahwa untuk saat ini, filsafat tidak lagi dibutuhkan bahkan kurang relevan dikembangkan oleh manusia. Sebab manusia hari ini lebih membutuhkan ilmu yang sifatnya lebih praksis dibandingkan dengan filsafat yang terkadang sulit dibumikan. (Sumarna, 2004: 36)
Ilmu telah menjadi sekelompok pengetahuan yang terorganisir dan tersusun secara sistematis. Tugas ilmu menjadi lebih luas, yakni bagaimana ia mempelajari gejala-gejala sosial lewat observasi dan eksperimen (Kartono dalam Sumarna, 2004: 36). Keinginan-keinginan melakukan observasi dan eksperimen sendiri, dapat didorong oleh keinginannya untuk membuktikan hasil pemikiran filsafat yang cenderung spekulatif ke dalam bentuk ilmu yang praksis. Dengan demikian, ilmu pengetahuan manusia yang telah dihasilakn oleh hasil kerja filsafat kemudian dibukukan secara sistematis dalam bentuk ilmu yang telah terteoritisasi (Keraf dalam Sumarna, 2004: 37). Kebenaran ilmu dibatasi hanya pada sepanjang pengalaman dan sepanjang pemikiran, sedangkan filsafat menghendaki pengetahuan yang komprehensif, yakni; yang luas, yang umum dan yang universal (menyeluruh dan itu tidak diperoleh oleh ilmu (Sumarna, 2004: 37).
Menurut AM. Saefuddin (1998: 31) filsafat dapat ditempatkan pada posisi maksimal pemikiran manusia yang tidak mungkin pada taraf tertentu dijangkau oleh ilmu. Menafikan kehadiran filsafat, sama artinya dengan melakukan penolakan terhadap kebutuhan riil dari realitas kehidupan manusia yang memiliki sifat untuk terus maju.
Ilmu dapat dibedakan dengan filsafat. Ilmu bersifat pasteriori: kesimpulannya ditarik setelah melakukan pengujian-pengujian secara berulang-ulang. Untuk kasus tertentu, ilmu bahkan menuntut untuk diadakannya percobaan dan pendalaman untuk mendapatkan esensinya. Sedangkan filsafat bersifat priori, yakni,: kesimpulan-kesimpulannya ditarik tanpa pengujian. Sebab filsafat tidak mengharuskan adaya data empiris seperti yang dimiliki ilmu. Karna filsafat bersifat spekulatif dan kontemplatif yang ini juga tidak dimiliki ilmu. Kebenaran filsafat tidak dapat daat dibuktikan oleh filsafat itu sendiri, tetapi hanya dapat dibuktikan oleh teori-teori keilmuan melalui observasi dan eksperimen atau memperoleh justifikasi kewahyuan. Denga demikian, tidak setiap filosof dapat disebut sebagai ilmuwan, sama seperti tidak semua ilmuwan disebut filosof. Meski demikian cara kerja filosof dan imuwan itu sama yakni menggunakan aktifitas berfikir. Tetapi aktifitas berpikir ilmuwan sangat berbeda dengan aktifitas berpikir filosof. Berdasar cara berfikir seperti itu, maka hasil kerja filosofis dapat dilanjutkan oleh cara berpikir ilmuwan. Hasil kerja filosofis bahkan dapat menjadi pembuka bagi lahirnya ilmu. Namun demikian, harus juga diakui, bahwa tujuan akhir dari ilmuwan yang bertugas mencari pengetahuan, sebagaimana hasil analisa Spencer , dapat dilanjutkan oleh cara kerja berpikir filosofis ( Bagus, 1996: 311).
Disamping sejumlah perbedaan tadi, antara ilmu dan filsafat serta cara kerja ilmuwan dan filosof, memang mengandung sejumlah perasaan , yakni sama-sama mencari kebenaran. Ilmu memiliki tugas melukiskan, sedangkan filsafat bertugas untuk menafsirkan kesemestaan. Aktivitas ilmu digerakkan oleh pertanyaan bagaimana menjawab pelukisan fakta, sedangkan filsafat menjawab atas pertanyaan lanjutan bagaimana sesungguhnya fakta itu, dari mana awalnya dan akan kemana akhirnya (Saefuddin, 1998: 31).
Berbagai gambaran di atas memperlihatkan bahwa antara ilmu dan filsafat mempunyai hubungan yang sangat erat, filsafat di satu sisi bisa menjadi pembuka bagi kemunculan sebuah ilmu dan juga menjadi cara kerja akhir ilmuwan. Maka, filsafat sering disebut sebagai mothers of science, sebagai pembuka bahkan sebagai penutup yang tidak bisa diselesaikan oleh ilmu sekalipun. Jadi, intinya ilmu tidak akan lahir tanpa adanya filsafat, karena ilmu muncul dengan adanya filsafat, yang mana filsafat memberikakan jalan ilmu menjadi berdiri sendiri melepaskan diri dari filsafat, walaupun sebenarnya ilmu tidak akan mampu melepaskan diri dari filsafat. Selain itu kesamaan antara filsafat dan ilmu adalah sama-sama beraktiiftas berfikir dan mencari kebenaran sesuatu..
Kemudian di sisi lain objek filsafat bukanlah hal-hal yang empiris, bukan seperti penyelidikan sains yang keingin-tahuannya hanya pada batas yang dapat diteliti secara empiris. Dalam istilah lain, batas penelitian dalam ilmu pengetahuan adalah pada daerah yang dapat diriset, sedangkan objek filsafat adalah hal-hal yang dapat dipikirkan secara logis. Sains meneliti dengan riset, sedang-kan filsafat meneliti dangan memikirkannya.
Realitas juga menunjukkkan bahwa hampir tidak ada satu cabang ilmu pun yang lepas dari filsafat. Bahkan untuk kepentingan perkembangan ilmu itu tersendiri, lahir sebuah disiplin filsafat untuk mengkaji ilmu pengetahuan yang disebut sebagai falsafat pengetahuan, kemudian berkembang lagi yang melahirkan salah satu cabang yang disebut sebagai filsafat ilmu. dalam perkembangannya kita bisa mengkaji tentang filsafat pendidikan, filsafat ilmu, filsafat hukum, filsafat politik dan sebagainya.
C. Hubungan Filsafat dengan Agama
Sudah pasti dan tentu bahwa antara agama dan filsafat itu terdapat perbedaan. Menurut Rasyidi (1965: 3), perbedaan antara filsafat dan agama bukan terletak pada bidangnya, tetapi terletak pada cara menyelidiki bidang itu sendiri. Filsafat adalah berfikir, sedangkan agama adalah mengabdikan diri, agama banyak hubungan dengan hati, sedangkan filsafat banyak hubungan dengan pemikiran. Williem Temple, seperti yang dikutip Rasyidi, mengatakan bahwa filsafat menuntut pengetahuan untuk memahami, sedangkan agama menuntut pengetahuan untuk beribadah atau mengabdi. Pokok agama bukan pengetahuan tentang Tuhan, tetapi yang penting adalah hubungan manusia dengan Tuhan.
Lewis (dalam Rasyidi, 1965) mengidentikkan agama dengan enjoyment dan filsafat dengan contemplation. Kedua istilah ini dapat dipahami dengan contoh: Seorang laki-laki mencintai perempuan, rasa cinta itu dinamai dengan enjoyment, sedangkan pemikiran tentang rasa cinta itu disebut contemplation.
Di sisi lain agama mulai dari keyakinan, sedangkan filsafat mulai dari mempertanyakan sesuatu. Mahmud Subhi (1969: 4) mengatakan bahwa agama mulai dari keyakinan yang kemudian dilanjutkan dengan mencari argumentasi untuk memperkuat keyakinan itu, (ya`taqidu summa yastadillu), sedangkan filsafat berawal dari mencari-cari argumen dan bukti-bukti yang kuat dan kemudian timbul-lah keyakinannya (yastadillu summa ya`taqidu).] Dalam pendapat Mahmud Subhi , agama di sini kelihatan identik dengan kalam, yaitu berawal dari keyakinan, bukan ber-awal dari argumen.
Perbedaan lain antara agama dan filsafat adalah bahwa agama banyak hubungannya dengan hati, sedangkan filsafat banyak hubungannya dengan pikiran yang dingin dan tenang. Agama dapat diidentikkan dengan air yang terjun dari bendungan dengan gemuruhnya, sedangkan filsafat diumpamakan dengan air telaga yang jernih, tenang dan kelihatan dasarnya. Seorang penganut agama biasanya selalu mempertahankan agama habis-habisan karena dia sudah mengikatkan diri kepada agamanya itu. Sebalik-nya seorang ahli filsafat sering bersifat lunak dan sanggup meninggalkan pendiriannya jika ternyata pendapatnya keliru (Rasyidi, 1965: 4).
Di sisi lain Nasution (1979: 11) membandingkan pembahasan filsafat agama dengan pembahasan teologi, karena setiap persoalan tersebut juga menjadi pembahasan tersendiri dalam teologi. Jika dalam filsafat agama pembahasan ditujukan kepada dasar setiap agama, pembahasan teologi ditujukan pada dasar-dasar agama tertentu. Dengan demikian terdapatlah teologi Islam, teologi Kristen, teologi Yahudi dan sebagainya.
Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa agama dan filsafat adalah dua pokok persoalan yang berbeda. Agama banyak berbicara tentang hubungan antara manusia dengan Yang Maha Kuasa. Dalam agama samawi (Yahudi, Nasrani dan Islam), Yang Kuasa itu disebut Tuhan atau Allah, sedangkan dalam agama ardi Yang Kuasa itu mempunyai sebutan yang bermacam-macam, antara lain Brahma, Wisnu dan Siwa dalam agama Hindu, Budha Gautama dalam agama Budha, dan sebagainya. Semua itu merupakan bagian dari ajaran agama dan setiap ajaran agama itulah yang menjadi objek pembahasan filsafat agama. Filsafat seperti yang dikemukakan bertujuan menemukan kebenaran. Jika kebenaran yang sebenarnya itu mem-punyai ciri sistematis, jadilah ia kebenaran filsafat.
Jika dikaji, isi filsafat itu ditentukan oleh objek apa yang dipikirkan. Karena filsafat mempunyai pengertian yang berbeda sesuai dengan pandangan orang yang meninjaunya, akan besar kemungkinan objek dan lapangan pembicaraan filsafat itu akan berbeda pula. Objek yang dipikirkan filosof adalah segala yang ada dan yang mungkin ada, baik ada dalam kenyataan, maupun yang ada dalam fikiran dan bisa pula yang ada itu dalam kemungkinan. (Dardiri, : 13)
Aristoteles (dalam Dardiri, : 65) mengemukakan bahwa objek filsafat adalah fisika, metafisika, etika, politik, biologi, bahasa. Sedangkan Al-Kindi mengemukakan bahwa objek filsafat itu adalah fisika, matematika dan ilmu ketuhanan. Menurut al-Farabi, objek filsafat adalah semua yang maujud. Selain yang dikemukakan oleh para filosof di atas, menambahkan bahwa kepercayaan itu termasuk objek pembicaraan filsafat.(Syarif, 1963: 424, 456, 66)
Tidaklah terlalu asing orang mengatakan bahwa pembahasan filsafat agama tidak menambah keyakinan atau tidak meningkatkan ketakwaan kepada Tuhan. Ini bisa berarti bahwa pembahasan agama secara filosofis tidak perlu dan usaha itu adalah sia-sia. Tetapi perlu diingat bahwa pembahasan filsafat agama bertujuan untuk menggali kebenaran ajaran-ajaran agama tertentu atau paling tidak untuk mengemukakan bahwa hal-hal yang diajarkan dalam agama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip logika.(Nasution, : 10)
D. Hubungan Ilmu dengan Agama
Ilmu dan agama merupakan dua instrumen penting bagi manusia untuk menata diri, berperilaku, bermasyarakat, berbangsa, bernegara serta bagaimana manusia memaknai hidup dan kehidupan. Keduanya diperlukan dalam mendorong manusia untuk hidup secara benar.
Sebagai makhluk berakal, manusia sangat menyadari kebutuhannya untuk memperoleh kepastian, baik pada tataran ilmiah maupun ideologi. Melalui sains, manusia berhubungan dengan realitas dalam memahami keberadaan diri dan lingkungannya. Sedangkan agama menyadarkan manusia akan hubungan keragaman realitas tersebut, untuk memperoleh derajat kepastian mutlak, yakni kesadaran akan kehadiran Tuhan. Keduanya sama-sama penjelajahan realitas. Namun kualifikasi kebenaran yang bagaimanakah yang diperlukan manusia, sehingga realitas sains dan agama masih sering dipertentangkan? Untuk menyelesaikan ketegangan yang terjadi antara sains dan agama dapat ditinjau berbagai macam varian hubungan yang dapat terjadi antara sains dan agama. (M.Ridwan dalam http://forum.detik.com/showthread. Lihat pula al Quran Surat Al Faatir ayat 28.)
Hidayat dan Nafis (1995: 114) lebih melihat peran dan fungsi ilmu dan agama dalam persepektif kekinian. Dalam era globalisasi yang ditandai dengan tingkat kecanggihan teknologi, agama mulai terlihat kembali dibicarakan oleh banyak orang, karena memiliki kesempatan yang jauh lebih besar untuk dikonsumsi oleh masyarakat. Umat manusia tentunya merasa bersyukur, mengingat pembicaraan agama berarti sebagai pertanda bahwa umat manusia mulai lagi membicarakan dan mencari tentang makna dan tujuan hidup.
Dalam mencermati konsep sains, Bruno Guiderdoni (dalam M. Ridwan) mengemukakan pendapat yang disertai pula penalaran terhadap konsep agama. Dia membedakan istilah sains dan agama dalam banyak definisi, yaitu :
1. Bahwa sains menjawab pertanyaan “bagaimana”, sedangkan agama menjawab pertanyaan “mengapa”.
2. Sains berurusan dengan fakta, sedangkan agama berurusan dengan nilai atau makna.
3. Sains mendekati realitas secara analisis, sedangkan agama secara sintesis.
4. Sains merupakan upaya manusia untuk memahami alam semesta yang kemudian akan mempengaruhi cara hidup kita, tetapi tidak membuat kita menjadi manusia yang lebih baik. Sedangkan agama adalah pesan yang diberikan Tuhan untuk membantu manusia mengenal Tuhan dan mempersiapkan manusia untuk menghadap Tuhan.
Berkenaan dengan sains Durkheim seperti dikutip Imam Muhni ( 1994: 129) menegaskan bahwa agama merupakan suatu sistem pemikiran yang bertujuan menerangkan alam semesta ini, dan menugaskan diri untuk menterjemahkan realitas dengan bahasa yang dapat dimengerti, yang sebenarnya adalah bahasa sains. Durkheim tidak memberikan batasan yang jelas antara tugas ilmu dan mana tugas agama. Bila agama dikatakan dengan sistem pemikiran, maka apa bedanya dengan ilmu yang juga merupakan suatu proses berpikir yang sistemik/menggunakan kaidah-kaidah ilmiah.
Dister Ofm (1996: 105) mencoba memilah keduanya, menurutnya, tidak juga dapat dikatakan bahwa keinginan intelek dipuaskan oleh agama. Sebab untuk sebagian intelek manusia bersifat rasional dan sejauh keinginannya ialah menangkap dan menguasai yang dikenalnya itu. Namun demikian, agama memang memberi jawaban atas “kesukaran intelektual kognitif”, sejauh kesukaran ini dilatarbelakangi oleh keinginan eksistensial dan psikologis, yaitu keinginan dan kebutuhan manusia akan orientasi dalam kehidupan, untuk dapat menetapkan diri secara berarti dan bermakna di tengah-tengah kejadian alam semesta.
Saifuddin (2003: 60), menilai, sekalipun kedua berbeda, namun ilmu dan agama dipertemukan dalam hal tujuannya. “Meskipun pendekatan yang digunakan keduanya berbeda (ilmu dan agama) atau bahkan bertentangan, keduanya memiliki tujuan yang sama yaitu menegaskan makna dan hakekat nilai kemanusiaan dan kehidupan manusia”.
Dalam perspektif Smith hubungan agama dan sains sebagai konflik zero sum. Terhadap pernyataan ini, Gregory R. Peterson (dalam Huston Smith : 2003, 308-401) memberikan kritiknya terhadap sebuah tulisan, Menyoal Agama dan Sains: Tanggapan terhadap Huston Smith, ia menegaskan bahwa model hubungan yang baik antara agama dan sains, bukanlah zero sum seperti ditulis Smith, akan tetapi hubungan agama dan sains bersifat non zero sum game agar potensi keduanya dapat termanfaatkan dan akan memperkaya perpaduan keduanya.
Dengan kata lain bahwa meskipun wilayah agama dan ilmu masing-masing sudah saling membatasi dengan jelas, akan tetapi terdapat hubungan dan ketergantungan timbal balik yang amat kuat di antara keduanya. Meskipun agama adalah yang menentukan tujuan, tetapi dia telah belajar dalam arti yang paling luas, dari ilmu, tentang cara-cara apa yang akan menyumbang pencapaian tujuan-tujuan yang telah ditetapkannya. Ilmu hanya dapat diciptakan oleh mereka yang telah terilhami oleh aspirasi terhadap kebenaran dan pemahaman. Sumber perasaan ini, tumbuh dari wilayah agama. Termasuk juga disini kepercayaan akan kemungkinan bahwa pengaturan yang absah bagi dunia kemaujudan ini bersifat rasional, yaitu dapat dipahami nalar (Enstein: 1930).
Dengan demikian, jelas bahwa ilmu merupakan penyokong dalam mencapai tujuan hidup yang direfleksikan oleh agama. Demikian sebaliknya agama memberikan tempat bagi manusia (hamba) yang berilmu dihadapan Tuhan.
E. Hubungan Filsafat, Ilmu dan Agama
Anshari (dalam Kompasiana 2012) menyatakan, Baik ilmu maupun filsafat atau agama, bertujuan (sekurang-kurangnya berurusan dengan hal yang sama), yaitu kebenaran. Ilmu pengetahuan dengan metodenya sendiri mencari kebenaran tentang alam dan manusia. Filsafat dengan wataknya sendiri pula menghampiri kebenaran, baik tentang alam, manusia dan Tuhan. Demikian pula agama, dengan karakteristiknya pula memberikan jawaban atas segala persoalan asasi yang dipertanyakan manusia tentang alam, manusia dan Tuhan.
Masih menurutnya, baik ilmu maupun filsafat, keduanya hasil dari sumber yang sama, yaitu ra’yu manusia (akal, budi, rasio, reason, nous, rede, vertand, vernunft). Sedangkan agama bersumberkan wahyu dari Allah. Ilmu pengetahuan mencari kebenaran dengan jalan penyelidikan (riset, research), pengalaman (empirik) dan percobaan. Filsafat menghampiri kebenaran dengan cara mengembarakan atau mengelanakan akal budi secara radikal dan integral serta universal tidak merasa terikat dengan ikatan apapun, kecuali oleh ikatan tangannya sendiri bernama logika. Kebenaran ilmu pengetahuan adalah kebenaran positif (berlaku sampai dengan saat ini), sedangkan kebenaran filsafat adalah kebenaran spekulatif (dugaan yang tak dapat dibuktikan secara empiris, riset dan eksperimental). Baik kebenaran ilmu maupun kebenaran filsafat bersifat nisbi (relatif), sedangkan kebenaran agama bersifat mutlak (absolut), karena agama adalah wahyu yang di turunkan Dzat Yang Maha Benar, Maha Mutlak dan Maha Sempurna. Baik ilmu maupun filsafat, kedua-duanya dimulai dengan sikap sangsi atau tidak percaya. Sedangkan agama dimulai dengan sikap percaya dan iman. Adapun titik singgung, adalah perkara-perkara yang mungkin tidak dapat dijawab oleh masing-masingnya, namun bisa dijawab oleh salah satunya. Gambarannya, ada perkara yang dengan keterbatasan ilmu pengetahuan atau spekulatifnya akal, maka keduanya tidak bisa menjawabnya. Demikian pula dengan agama, sekalipun agama banyak menjawab berbagai persoalan, namun ada persoalan-persoalan manusia yang tidak dapat dijawabnya. Sementara akal budi, mungkin dapat menjawabnya.
Share this article :

0 comments:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

Recent Post

Mampir Dulu
 
Support : Creating Website | UJANG MURNA WIJAYA Template | AA UJANG
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2011. Ujang Murana Wijaya - All Rights Reserved
Template Design by CREATIVE Published by JAMUR