Tanggapan
terhadap pernyataan Herbert Feith dalam buku “Pemikiran Politik Indonesia
1945-1965”
kebetulan
kemarin dapet tugas dari dosen ilmu politik buat ngasih tanggapan mengenai
pernyataan Herbert Feith dalam buku “Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965
Pada priode 1945-1965 dalam buku “Pemikiran
Politik Indonesia 1945-1965” di jelaskan bahwa sang penulis, Herbert Feith dan
Lance Castles mengklasifikasikan aliran pemikiran partai politik menjadi lima
aliran, yakni: Nasionalisme Radikal, Tradisionalisme Jawa, Islam, Sosialisme
Demokratis dan Komunisme.
Kemudian penulis menjelaskan bahwa
pada awal kemerdekaan, orang Indonesia umumnya berpendapat bahwa hanya ada tiga
aliran politik, yaitu Nasionalisme, Islam dan Marxisme yang menjadi tiga rumpun
ideologi utama yang menaungi seluruh organisasi politik yang ada di Indonesia.
Pengelompokan partai berdasarkan tiga aliran politik diatas, adalah, Partai
agama atau yang disebut Islam diatas tadi, mencakup partai Protestan, partai
Katolik serta partai Islam itu sendiri. Kemudian, partai-partai Marxis dalam
kategori ini mencakup Partai Komunis Indonesia (PKI), Partai Sosialis Indonesia
(PSI) yang mewakili tradisi sosialisme demokratis, serta Partai Murba. Kelompok
partai nasionalis mencakup PNI yang nasionalis-radikal dan Partai Indonesia
Raya (PIR). Namun, setelah terbentuk koalisi dan status resmi pada ketiga
golongan tersebut yaitu NASAKOM (Nasionalis, Agama dan Komunis),
mengimplikasikan bahwa masih ada pengelompokan keempat, yaitu partai yang
selain dari tiga pengelompokan tadi, seperti Masyumi dan PSI (Partai Sosialis
Indonesia) yang termasuk partai-partai terlarang karena menentang ide Demokrasi
Terpimpin. Selain alasan menentang Demokrasi Terpimpin, Masyumi tergolong
partai-partai terlarang karena menolak berkerjasama dengan PKI dan menentang
keras Komunis karena berideologi Islam sehingga menolak adanya NASAKOM.
Tetapi tidak dapat disangkal bahwa
keempat partai yang secara ideologi jelas-jelas menonjol yaitu partai PNI, PKI,
Masyumi dan NU, sebagai partai terbesar sewaktu Pemilihan Umum pada tahun 1955,
hal ini dapat ditunjukkan dengan banyaknya suara yang di dapat melebihi
partai-partai lain mana pun, oleh karenanya mengakibatkan banyak orang
beranggapan bahwa ideologi Indonesia terbagi menjadi empat. Akhirnya, terdapat
dua aliran pemikiran yang terpenting, yaitu Tradisionalisme Jawa dan Sosialisme
Demokratis, yang tidak terlalu terpancar dalam salah satu dari keempat partai
utama tersebut, meskipun masing masing masih mendapat pengaruh dari aliran
pemikiran politik Tradisionalis Jawa dan Sosialisme Demokratis. Dari penjelasan
ini dapat dilihat alasan mengapa penulis menyatakan bahwa terdapat lima aliran
pemikiran, tidak seperti apa yang di katakan oleh Soekarno pada 1926. Berikut
adalah kelima aliran pemikiran dan penjelasnnya:
1. Komunisme
Komunis
mengambil konsep-konsep langsung maupun tidak langsung dari Barat, sekalipun
mereka menggunakan himbauan-himbauan abangan tradisional dan yang sejenis. Yang
di maksud abangan tradisional disini di ambil dari teori Greetz mengenai
stratifikasi sosial berdasarkan kepercayaan yang ada pada masyarakat jawa. Oleh
karena itu dapat disimpulkan pula bahwa setiap aliran bersinggungan dengan
aliran lainnya, hal ini dapat di lihat bahwa komunisme masih bersinggungan
dengan aliran pemikiran Tradisonalis Jawa walaupun hanya sedikit, dan sangatlah
bersebrangan dengan aliran pemikiran Islam. Hal ini dapat dilihat dari bagan
yang di buat penulis dalam bukunya. Aliran ini muncul dalam Partai Komunis
Indonesia (PKI).
2. Sosialisme Demokratis
Aliran Sosialis Demokratis juga
mengambil inspirasi dari pemikiran barat tetapi aliran ini kurang berhasil
dalam usaha menempatkan diri di kalangan massa. Walaupun kurang suara dalam
pemilihan umum tetap saja tidak dapat dipungkiri bahwa Sosialisme Demokratis
juga andil besar dalam pembentukan partai-partai yang beraliran lain, karena
dapat mempengaruhi pemimpin partai tersebut terutama partai Masyumi dan PNI.
Aliran ini muncul dalam Partai Sosialis Indonesia (PSI).
3. Islam
Aliran pemikiran Islam terbagi
menjadi dua kelompok yang bertentangan yaitu Masyumi yang merupakan kelompok
reformis yang aktif berpolitik yang mencakup aliran modernis maupun
fundamentalis, hal ini dapat dilihat
dari bagan yang dibuat oleh penulis bahwa masyumi lebih terpengaruh dengan
aliran pemikiran Sosialis demokratis, sedangkan Nahdatul Ulama (NU) merupakan
kelompok yang Tradisional dan
konservatif (dan bersifat lebih Jawa), oleh karena itu dapat dilihat dari bagan
bahwa Nahdatul Ulama lebih terpengaruh dengan aliran pemikiran politik
Tradisionalisme Jawa.
4. Nasionalisme Radikal
aliran yang muncul sebagai respon
terhadap kolonialisme, dari bagan yang di buat oleh penulis dapat dilihat bahwa
aliran Nasionalisme Radikal lah yang mencakup kepada semua aliran baik Komunisme,
Tradisionalisme Jawa, Sosialisme Demokrat dan Islam. Nasionalisme Radikal
memiliki faktor yang dapat digunakan sebagai pemersatu rakyat dengan alasan
aliran tersebut secara tidak langsung telah terikat dengan masing-masing aliran
dan tidak memiliki aliran yang bersebrangan, seperti yang terdapat pada aliran
komunis dan aliran Islam. Aliran ini berpusat pada Partai nasionalis Indonesia
(PNI).
5. Tradisionalisme Jawa
Penganut tradisi-tradisi Jawa.
Pemunculan aliran ini agak kontroversial karena aliran ini tidak muncul sebagai
kekuatan politik formal yang kongkret, melainkan sangat mempengaruhi cara
pandang para pemimpin-pemimpin partai yang menganut aliran lain. Memang benar
tidak ada satu pun organisasi massa yang muncul untuk mendukung ide-ide ini.
Hanya organisasi PIR (Partai Indonesia Raya), yang paling dekat mencerminkan
ide-ide dari aliran Tradisional Jawa.
Berdasarkan
apa yang telah di jelaskan diatas dapat dipahami, sisi mana yang menjadi
kekurangan Herbert Feith dalam membahas aliran pemikiran politik di Indonesia.
Hal ini dapat dilihat dari cara Herbert Feith membagi aliran pemikiran politik,
ia tidak menyinggung aliran yang berasal dari partai-partai lainnya, walaupun
partai-partai lain selain empat partai diatas merupakan partai-partai kecil
tapi partai tersebut pasti tidak semuanya memiliki aliran pemikiran politik
yang sama dengan keempat partai besar tersebut. Bagaimana dengan partai non
Islam, apakah sama antara aliran pemikiran politik Islam dengan agama lainnya?
Tentu saja tidak. Penulis tidak menyinggung hal tersebut jika dilihat secara
lebih rinci dalam aliran pemikiran politik Islam saja masih terdapat dua
pengelompokan padahal sama-sama berbasis Islam. Dan penulis juga tidak
menyinggung partai yang bersifat kesukuan, ia hanya menitik beratkan pada Jawa
saja, padahal masih ada partai-partai yang berasal dari suku lain, seperti
sunda.
Pada jaman sekarang ini aliran
pemikiran partai politik menurut Herbert telah ada beberapa perubahan, dua atau
tiga diantaranya lenyap atau menjadi marjinal dalam wacana politik yang
penting. Dengan adanya penumpasan PKI pada tahun 1966, maka pemikiran Komunis
pada umumnya telah menghilang dari pembicaraan politik publik terutama pada
jaman Orde Baru yang merupakan hal tabu untuk di bicarakan pada masa kepemimpinan
presiden Soeharto tersebut. Namun, pemikiran tersebut masih terus diungkapkan
oleh berbagai penerbit asing, itupun hanya membahas mengenai represi yang
dialami oleh sisa-sisa PKI di Indonesia.
Tidak
hanya Komunisme, Nasionalisme Radikal pun telah surut masa kejayaannya. Hal ini
disebabkan karena adanya paksaan dari luar, sejumlah besar aktivis PNI sayap
kiri yang telah ditumpas dari kehidupan masyarakat. Meskipun demikian, masih
banyak pemikiran-pemikiran pokok Nasionalisme Radikal yang tetap bertahan dalam
masyarakat. Rumusan anti-Imperialisme dan anti-ketergantungan menjadi populer
sekali semenjak adanya aliran pemikiran politik Nasionalis Radikal terutama di
kalangan mahasiswa anti-pemerintah. Biasanya aliran pemikiran politik
Nasioalisme Radikal dikaitkan dan melekat pada masa kekuasaan presiden Soekarno
dalam memimpin Indonesia.
Aliran yang menunjukkan
kesinambungan dan tak pernah lenyap ideologinya hingga sekarang ini adalah
aliran pemikiran politik Islam, Namun tetap ada perbedaan aliran pemikiran
politik Islam pada 1945-1965 dengan saat ini, yaitu timbulnya tema-tema baru
dari kalangan Nahdatul Ulama (NU). Tema-tema tersebut adalah sifat progresif
dan keterbukaan sosial Abdurrahman Wahid serta komentar politik yang tajam dan
kocak dari Mahbub Djunaidi. Dengan terpilihnya Abdurrahman Wahid menjadi ketua
pengurus besar pada tahun 1984, NU dapat dikatakan telah memperoleh wajah Islam
yang modern.
Dua aliran terakhir, Tradisionalisme
Jawa dan Sosialisme demokratis, tidaklah lenyap dalam suatru aliran pemikiran
politik tapi hanya terdapat beberapa modifikasi. Seperti Sosialisme Demokrat
yang menciptakan unsur developmentalis yang erat kaitannya dengan pengertian
–pengertian professional dan teknokratis tentang pembangunan ekonomi dan
ketidak senangannya terhadap populisme, komunisme dan fanatisme agama, melalui
unsur developmentalis tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa karennya
mengakibatkan aliran pemikiran politik yang lebih menekankan pada pembangunan
ekonomi dan kesejahteraan sosial. Sedangkan pada aliran pemikiran politik yang
terakhir, yaitu Tradisionalisme Jawa lebih ke unsur integralis, dalam hal
apapun orang-orang yang memahami aliran pemikiran politik Tradisional Jawa
tetap saja berpegang teguh dengan kejawaannya.
0 comments:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !