Headlines News :

PROFIL

Ujang Murana Wiajya, 23 Juli 1990
Home » » HAK ASASI MANUSIA (HAM)

HAK ASASI MANUSIA (HAM)

Written By Unknown on Tuesday, October 14, 2014 | 11:01 PM

BAB I
PENDAHULUAN

I.              Pendahuluan
1.1         Latar Belakang
Dalam perkembangannya, kondisi penegakan dan perlindungan Hak Asasi Manusia di Indonesia semakin memprihatinkan dikarenakan semakin maraknya pelanggaran HAM berat yang terjadi. Dalam artikel yang ditulis oleh Agung Yudhawiranata disebutkan bahwa kasus Tanjung Priok, DOM Aceh, Irian, dan pelanggaran HAM di Timor-Timur sampai saat ini belum terselesaikan dikarenkan belum adanya instrumen perlindungan hukum yang memadai untuk mengadili para pelaku pelanggaran HAM tersebut.
Kejahatan atau pelanggaran Hak Asasi Manusia adalah kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Dikarenakan pelanggaran yang dilakukan berkaitan dengan hak-hak yang dimiliki oleh individu, maka dari sini diperlukan sebuah pengadilan yang berfungsi untuk mengadili perkara-perkara tertentu, dalam hal ini yaitu Hak Asasi Manusia. Pengadilan yang dimaksud adalah pengadilan HAM, pengadilan HAM merupakan jenis pengadilan yang khusus untuk mengadili kejahatan terhadap sauatu kelompok tertentu dan terhadap kejahatan kemanusiaan. Pengadilan HAM dikatakan khusus karena dari segi penamaannya sudah spesifik menggunakan istilah pengadilan HAM.
Pengertian dari perlunya peradilan yang bersifat khusus inilah yang menjadi landasan pemikiran untuk adanya pengadilan khusus yang dikenal dengan pengadilan HAM. Oleh sebab itu, dengan adanya makalah ini penulis bermaksud untuk membahas secara detail berkenaan dengan pengadilan HAM di Indonesia, yang meliputi latar belakang lahirnya pengadilan HAM di Indonesia, landasan yuridis pengadilan HAM di Indonesia, serta bagaimana penerapan dari pengadilan HAM di Indonesia.

1.2         Rumusan Masalah
Dalam makalah ini penulis akan membahas beberapa pokok bahasan, antara lain:
1.             Bagaimana latar belakang terbentuknya pengadilan HAM di Indonesia?
2.             Apa yang dimaksud dengan pengadilan HAM?
3.             Apa landasan yuridis dari pengadilan HAM di Indonesia?
4.             Bagaimana prosedur pengadilan HAM di Indonesia?

1.3         Tujuan dan Manfaat
Tujuan dari penulisan makalah ini yang pertama yaitu untuk memenuhi tugas dari mata kuliah Hak Asasi Manusia, kemudian yang kedua yaitu untuk memberikan pengetahuan kepada pembaca seputar pengadilan HAM di Indonesia. Selain itu, dengan adanya makalah ini penulis berharap agar para pencari literatur dapat menggunakan makalah ini sebagai sumber atau bahan bacaan yang dapat dijadikan referensi.


















BAB II
PEMBAHASAN


II.           Pembahasan
2.1         Latar Belakang Pembentukan Pengadilan HAM di Indonesia
Seperti yang sudah penulis kemukaan di atas bahwasannya kondisi penegakan dan perlindungan Hak Asasi Manusia di Indonesia semakin memprihatinkan dikarenakan semakin maraknya pelanggaran HAM berat yang terjadi. Kasus Tanjung Priok, DOM Aceh, Irian, dan pelanggaran HAM di Timor-Timur sampai saat ini belum terselesaikan dikarenkan belum adanya instrumen perlindungan hukum yang memadai untuk mengadili para pelaku pelanggaran HAM tersebut. Hal inilah yang pada dasarnya menjadi dasar pertama dari pembentukan pengadilan HAM di Indonesia
Pada masa orde baru (1965-1998), telah banyak kasus-kasus pelanggaran HAM yang terjadi. Pemerintahan otoriter yang memerintah selama 30 tahun telah banyak melakukan tindakan kejahatan HAM yang dilakukan karena perilaku negara dan aparatur negaranya (Haryanto, 1999:31). Pelanggaran HAM pun juga terjadi pasca pemerintahan orde baru. Kejahatan berupa kekerasan massa, konflik antar etnis dan pembumihangusan Timor-Timur pasca jejak pendapat telah menjadi penanda bahwa pelanggaran HAM di Indinesia semakin marak terjadi.
Dari kasus pembumihangusan di Timor-Timur mendorong dunia untuk membentuk sebuah peradilan internasional (international tribunal) bagi para pelakunya. Dorongan ini juga didasarkan atas ketidakpercayaan dunia internasional terhadap sistem peradilan yang ada di Indonesia. Pelanggaran HAM di Timor-Timur mempunyai nuansa khusus dikarenakan terdapat penyalahggunaan kekuasaan yang dilakukan oleh pemerintah sebagai fasilitator sehingga akan sulit untuk mendapat keadilan di pengadilan bagi pelaku kejahatan.
Hal ini sejalan dengan praktik sistem peradilan pidana yang ada di Indonesia. Sistem peradilan pidana Indonesia belum mampu memberikan keadilan yang substansial. Peradilan pidana Indonesia masih sering memberikan toleransi terhadap kejahatan-kejahatan tertentu, dengan konsekuensi yuridis pelaku kejahatannya harus dibebaskan. Termasuk terhadap kejahatan atau pelanggaran HAM berat ini.
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) juga diatur tentang pelanggaran HAM berat seperti kejahatan yang berupa pembunuhan, perampasan kemerdekaan, penyiksaan/ penganiayaan, dan pemerkosaan. Akan tetapi, jenis kejahatan tersebut adalah jenis kejahatan yang sifatnya biasa, sehingga ketika dibandingkan dengan pelanggaran HAM yang berat harus memenuhi beberapa unsur atau karakteristik tertentu sesuai dengan Statuta Roma (1999) agar bisa diklasifikasikan sebagai pelanggaran HAM yang berat.
Selain itu, sesuai dengan prinsip International Criminal Court, prinsip universal yang tidak mungkin memperlakukan pelanggaran HAM berat sebagai ordinary crimes dan adanya kualifikasi universal tentang crimes against humanity masyarakat mengharuskan didayagunakannya pengadilan HAM yang bersifat khusus, yang mengandung pula acara pidana yang bersifat khusus.
Pengertian tentang perlunya peradilan yang secara khusus dengan aturan yang bersifat khusus pula inilah yang menjadi landasan pemikiran untuk adanya pengadilan khusus yang dikenal dengan pengadilan HAM. Alasan yuridis lainnya yang bisa menjadi landasan berdirinya pengadilan nasional adalah bahwa pengadilan nasional merupakan “the primary forum” untuk mengadili para pelanggar HAM berat (Abidin, 2005:3).

2.2         Pengertian Pengadilan HAM
2.2.1   Gambaran Umum
Pengadilan HAM merupakan pengadilan khusus yang berada dibawah peradilan umum, dan merupakan lex specialis dari Kitab Undang Hukum Pidana. Pengadilan ini dikatakan khusus karena dari segi penamaan bentuk pengadilannya sudah secara spesifik menggunakan istilah Pengadilan HAM dan kewenangan pengadilan ini juga mengadili kejahatan-kejahatan tertentu.
Kejahatan yang termasuk dalam pengadilan HAM ini adalah kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan yang keduanya merupakan pelanggaran HAM berat. Penamaan Pengadilan HAM yang mengadili kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan genosida ini dianggap tidak tepat, karena pelanggaran HAM yang berat dengan dua jenis kejahatan tersebut adalah kejahatan yang merupakan bagian dari hukum pidana internasional sehingga yang digunakan adalah seharusnya terminologi “pengadilan pidana”.
Lepas dari penamaan Pengadilan HAM yang kurang tepat tersebut, pembentuk Undang-Undang menyadari bahwa bahwa penanganan kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan genosida adalah kejahatan luar biasa yang tidak bisa ditangani dengan sistem peradilan pidana biasa. Pengaturan yang sifatnya khusus ini didasarkan atas kerakteristik kejahatan yang sifatnya khusus sehingga memerlukan pengaturan dan mekanisme yang juga sifatnya khusus.
Pengaturan khusus ini dimulai sejak tahap penyelidikan dimana yang berwenang adalah Komnas HAM sampai pengaturan tentang majelis hakim dimana komposisinya berbeda dengan pengadilan pidana biasa. Dalam pengadilan HAM ini komposisi hakim adalah lima orang yang mewajibkan tiga orang diantaranya adalah hakim ad hoc. Namun, meskipun terdapat kekhususan dalam penangannya, hukum acara yang digunakan, masih menggunakan hukum acara pidana terutama prosedur pembuktiannya.

2.2.2   Pengadilan HAM Setelah Disahkannya UU No. 26 Tahun 2000
Dalam makalah yang ditulis oleh Zainal Abidin (2011) dijelaskan bahwa berdasarkan ketentuan UU No. 26 tahun 2000, pengadilan HAM mengatur tentang yuridiksi atas kasus-kasus pelanggaran HAM berat baik setelah disahkanya UU ini maupun kasus-kasus pelanggaran HAM berat sebelum disahkannya UU ini. Prosedur pembentukan pengadilan ini mempunyai perbedaaan yang cukup mendasar. Dalam penanganan kasus-kasus pelanggaran HAM berat setelah disahkannya UU ini tanpa melalui rekomendasi dan keputusan presiden sebagaimana dalam pembentukan pengadilan HAM ad hoc.
Prosedur pembentukan pengadilan HAM adalah berdasarkan adanya dugaan telah terjadi kasus pelanggaran HAM yang berat. Dugaan adanya kasus pelanggaran yang berat ini kemudian diselidiki oleh Komnas HAM dengan membentuk komisi Penyelidikan Pelanggaran HAM (KPP HAM). Hasil penyelidikan, jika ditemukan bukti bahwa terdapat dugaan adanya pelanggaran HAM yang berat maka akan dilimpahkan ke Kejaksaan Agung untuk dilanjutkan ke tahap penyidikan, dalam tahap ini kalau dari hasil penyidikan menunjukkan adanya pelanggaran HAM yang berat maka diteruskan untuk tahap penuntutan yang juga di lakukan oleh Kejaksaan Agung. Berdasarkan bukti-bukti dan penuntutan yang diwujudkan dalam surat dakwaan, kemudian digelar pengadilan HAM berdasarkan kompetensi relatif pengadilan. Tempat pengadilan ini berada di pengadilan negeri dimana locus dan tempos delictie terjadinya pelanggaran HAM yang berat.

2.2.3   Pengadilan HAM Sebelum Disahkannya UU No. 26 Tahun 2000
Pengadilan HAM ad hoc adalah pengadilan yang dibentuk khusus untuk memeriksa dan mengadili perkara pelanggaran HAM yang berat yang dilakukan sebelum adanya UU No. 26 Tahun 2000, berbeda dengan Pengadilan HAM (permanen) yang dapat memeriksa dan mengadili perkara pelanggaran HAM yang berat yang terjadi setelah diundangkannya UU No. 26 Tahun 2000.


2.3         Landasan Yuridis Pengadilan HAM di Indonesia
Landasan yuridis dari pengadilan HAM di Indonesia diawalai ketika terjadi penolakan penerbitan Perpu Nomor 1  Tahun 1999 dari pemerintah oleh DPR. Setelah adanya penolakan Perpu oleh DPR maka pemerintah mengajukan rancangan undang-undang tentang pengadilan HAM. Dalam penjelasannya pengajuan RUU tentang Pengadilan HAM adalah pertama, merupakan perwujudan tanggung jawab bangsa indonesia sebagai salah satu anggota PBB. Dengan demikian merupakan salah satu misi yang mengembangkan tanggung jawab moral dan hukum dalam menjunjung tinggi dan melaksanakan deklarasi HAM yang ditetapkan oleh perserikatan bangsa-bangsa, serta yang terdapat dalam berbagai instrumen hukum lainnya yang mengatur mengenai HAM yang telah dan atau diterima oleh negara Indonesia. Kedua, dalam rangka melaksanakan Tap MPR No. XVII/MPR/1998 tentang HAM dan sebagai tindak lanjut dari pasal 104 ayat 1 Undang-undang No. 39 Tahun 1999. Ketiga, untuk mengatasi keadaan yang tidak menentu dibidang keamanan dan ketertiban umum, termasuk perekonomian nasional. Keberadaan pengadilan HAM ini sekaligus diharapkan dapat mengembalikan kepercayaan masyarakat dan dunia internasional terhadap penegakan hukum dan jaminan kepastian hukum mengenai penegakan HAM di Indonesia.
Dari ketiga alasan di atas, landasan hukum dari pembentukan pengadilan HAM untuk mengadili pelanggaran HAM berat adalah alasan yang ketiga dimana terbentuknya pengadilan HAM ini adalah pelaksanaan dari TAP MPR No. XVII/MPR/1998 tentang HAM dan sebagai tindak lanjut dari Pasal 104 ayat 1 Undangundang No. 39 Tahun 1999. Pasal 104 ayat 1 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Komnas HAM menyatakan bahwa untuk mengadili pelanggaran HAM yang berat dibentuk pengadilan HAM di lingkungan peradilan umum. Ayat 2 menyatakan pengadilan sebagaimana dimaksud ayat dalam ayat 1 dibentuk dengan udang-undang dalam jangka waktu paling lama 4 tahun. Tidak sampai 4 tahun, undang-undang yang khusus mengatur tentang Pengadilan HAM adalah Undangundang Nomor 26 Tahun 2000. UU No. 26 Tahun 2000 ini disahkan pada tanggal.

2.4         Perosedur Penerapan Pengadilan HAM di Indonesia
2.4.1   Pengaturan Pengadilan HAM di Indonesia
Pengadilan HAM di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000. Pokok-pokok Undang-Undang tersebut menyatakan bahwa untuk ikut serta memelihara perdamaian dunia dan menjamin pelaksanaan Hak Asasi Manusia serta memberi perlindungan, kepastian, keadilan, dan perasaan aman kepada perorangan ataupun masyarakat, perlu segera dibentuk suatu Pengadilan Hak Asasi Manusia untuk menyelesaikan pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat sesuai dengan ketentuan Pasal 104 ayat (1) Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia; Bahwa pembentukan Pengadilan Hak Asasi Manusia untuk menyelesaikan. pelanggaran hak asasi manusia yang berat telah diupayakan oleh Pemerintah berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1999 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia yang dinilai tidak memadai, sehingga tidak disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia menjadi undang-undang, dan oleh karena itu Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang tersebut perlu dicabut. Berdasarkan pertimbangan diatas maka pengadilan HAM perlu dibentuk..
UU No. 26 Tahun 2000 tentang pengadilan HAM ini juga dianggap mempunyai banyak kelemahan yang mendasar dalam pengaturannya. Kelamahan-kelemahan ini karena proses pengadopsian dari instrumen internasional yang tidak lengkap dan mengalami banyak kesalahan. Pengadopsian atas konsep kejahatan terhadap kemanusiaan dan tentang delik tanggung jawab komando tidak memadai sehingga banyak menimbulkan interpretasi dalam aplikasinya. Kelemahan lainnya adalah tidak ada hukum acara dan pembuktian secara khusus dan masih banyak menggunkan ketentuan yang berdasarkan KUHP.

2.4.2   Kedudukan Pengadilan HAM
Pengadilan HAM adalah pengadilan khusus yang berada di lingkungan peradilan umum. Kedudukannya di daerah kabupaten atau daerah kota yang daerah hukumnya meliputi daerah hukum Pengadilan Negeri yang bersangkutan, sedangkan daerah khusus ibukota pengadilan HAM berkedudukan di setiap wilayah Pengadilan Negeri yang bersangkutan. pada saat undang-undang ini berlaku pertama kali maka pengadilan HAM dibentuk di Jakarta Pusat, Surabaya, Medan, dan Makassar.
Kedudukan dalam pengadilan HAM mengikuti Pengadilan Umum atau Pengadilan Negeri termasuk dukungan administrasinya. Hal ini membawa konsekuensi bahwa pengadilan HAM ini akan sangat tergantung dengan dukungan dari pengadilan negeri tersebut. Dukungan administratif itu adalah :
a.              Ruangan Pengadilan
Ruangan pengadilan yang juga merupakan ruangan pengadilan untuk kasus lainnya dan tidak ada ruangan yang khusus untuk pengadilan HAM;
b.             Staf Administrasi
Staf administrasi adalah staf yang menangani perkara pengadilan HAM selain panitera yang juga bertugas untuk membantu para hakim yang mengadili perkara pelanggaran HAM yang berat;
c.              Panitera
Panitera ini adalah panitera biasa dan bukan panitera yang dibentuk khusus untuk menangani kasus pelanggaran HAM yang berat. Panitera ini juga menangani kasus lainnya; dan
d.             Ruangan Hakim
Ruangan hakim untuk hakim ad hoc adalah ruangan tersendiri namun untuk hakim karir yang merupakan hakim pengadilan setempat maka mereka mempunyai ruangan tersendiri (Abidin, 2005:8).

2.4.3   Ruang Lingkup Kewenangan Pengadilan HAM
Pengadilan HAM mempunyai wewenang untuk memeriksa dan mengadili. Pengadilan HAM berwenang untuk memeriksa dan memutus perkara pelanggaran HAM berat yang dilakukan di luar teritorial wilayah NKRI oleh Warga Negara Indonesia. Hal ini dimaksudkan untuk melindungi WNI yang melakukan pelanggaran HAM berat yang dilakukan di luar batas teritorial, dalam arti tetap dihukum sesuai dengan Undang-Undang tentang pengadilan Hak Asasi Manusia.
UU No. 26 Tahun 2000 memberikan larangan atau membatasi kewenangan untuk memeriksa dan memutus perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang dilakukan oleh seseorang yang berumur di bawah 18 (delapan belas) tahun pada saat kejahatan dilakukan. Disini diartikan bahwa seseorang yang berumur dibawah 18 tahun yang melakukan pelanggaran HAM yang berat diperiksa dan diputus dalam Pengadilan Negeri. Ketentuan tentang pembatasan perkecualian yurisdiksi terhadap mereka yang berumur dibawah 18 tahun pada saat tindak pidana dilakukan (exclusion of jurisdiction over person under eighteen) sesuai dengan norma yang diatur dalam Statuta Roma 1998.

Jenis-Jenis Kejahatan Yang Dapat Diadili
Jenis kejahatan yang dikategorikan sebagai pelanggaran HAM berat yang dapat diperiksa atau diputus oleh pengadilan HAM adalah:
1.             Kejahatan Genosida
Yaitu setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama, dengan cara:
a.              Membunuh anggota kelompok;
b.             Mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap suatu kelompok;
c.              Menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagian;
d.             Memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok; dan
e.              Memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain (Abidin, 2005:9).
2.             Kejahatan Terhadap Kemanusiaan
Yaitu salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan itu ditujukan secara langsung kepada penduduk sipil yang berupa:
a.              Pembunuhan;
b.             Pemusnahan;
c.              Perbudakan;
d.             Pengusiran dan pemindahan;
e.              Perampasan kemerdekaan;
f.              Penyiksaan;
g.             Perkosaan;
h.             Penganiayaan terhadap suatu kelompok;
i.               Penghilangan orang secara paksa; dan
j.               Kejahatan apartheid (Yudhawiranata, yyyy:5)

2.4.4   Hukum Acara Pengadilan HAM
Pasal 10 UU No. 26 Tahun 2000 menyatakan bahwa hukum acara yang digunakan adalah hukum acara yang berdasarkan hukum acara pidana kecuali ditentukan lain dalam undangundang ini. Hal ini berarti hukum acara yang akan digunakan untuk proses pemeriksaan dipengadilan menggunakan hukum acara dengan mekanisme sesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
UU No. 26 Tahun 2000 mengatur Kekhususan pengadilan HAM diluar ketentuan KUHAP untuk pelanggaran HAM yang berat. Kekhususan dalam penanganan pelanggaran HAM yang berat dalam UU No. 26 Tahun 2000 adalah:
1.             Diperlukan penyelidik dengan membentuk tim ad hoc, penyidik ad hoc, penuntut ad hoc, dan hakim ad hoc.
2.             Diperlukan penegasan bahwa penyelidik hanya dilakukan oleh komisi nasional hak asasi manusia sedangkan penyidik tidak berwenang menerima laporan atau pengaduan sebagai mana diatur dalam KUHAP.
3.             Diperlukan ketentuan mengenai tenggang waktu tertentu untuk melakukan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan dipengadilan.
4.             Diperlukan ketentuan mengenai perlindungan korban dan saksi.
5.            Diperlukan ketentuan mengenai tidak ada kedaluarsa pelanggaran ham yang berat.

Kekhususan ini kemudian dijabarkan dalam pasal demi pasal dalam UU No. 26/2000 yang merupakan pengecualian dari pengaturan dalam KUHAP yaitu:
1.             Penangkapan
Kewenangan untuk melakukan penangkapan di tingkat penyidikan dalam pengadilan HAM ini adalah Jaksa Agung terhadap seseorang yang diduga keras melakukan pelanggaran HAM berat berdasarkan bukti yang cukup. Prosedur untuk pelaksanaan penangkapan dilakukan oleh penyidik dengan memperlihatkan surat tugas dan menunjukkan surat perintah penangkapan yang mencantumkan identitas tersangka dengan menyebutkan alasan penangkapan, tempat dilakukan pemeriksaan serta uraian singkat perkara pelanggaran HAM yang berat yang dipersangkakan.
2.             Penahanan
Dalam buku yang berjudul Pendidikan Kewarganegaraan Dalam Konteks Indonesia karangan Suparlan Al Hakim (2012), dijelaskan bahwa tujuan penahanan adalah agar tersangka/ terdakwa tidak melarikan diri, merusak barang bukti, menghilangkan barang bukti dan tidak mengulangi pelanggatan Hak Asasi Manusia berat, selain itu juga untuk memudahkan dilakukannya penyelidikan dan penyidikan.
3.             Penyelidikan
Dalam UU No. 26 Tahun 2000 dijelaskan bahwa penyelidikan diartikan sebagai serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan ada tidaknya suatu peristiwa yang diduga merupakan pelanggaran hak asasi manusia yang berat guna ditindaklanjuti dengan penyidikan sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini. Dalam UU ini yang berhak melakukan penyelidikan adalah Komnas HAM, kewenangan ini dimaksudkan untuk menjaga objektivitas hasil penyelidikan karena lembaga Komnas HAM adalah lembaga yang bersifat independen.
4.            Penyidikan
Dalam UU No. 26 Tahun 2000, pihak yang berwenang melakukan penyidikan terhadap kasus pelanggaran HAM yang berat adalah Jaksa Agung. Penyidikan ini tidak termasuk untuk menerima pengaduan dan laporan karena pengaduan dan laporan tersebut merupakan kewenangan Komnas HAM. Dalam upaya penyidikan ini Jaksa Agung dapat mengangkat penyelidik ad hoc dari unsur masyarakat dan pemerintah. Penyidikan yang dilakukan wajib diselesaikan paling lambat 90 hari terhitumg sejak tanggal hasil penyelidikan diterima dan dinyatakan lengkap oleh penyidik. Perpanjangan dapat dilakukuan selama 90 hari berikutnya jika selama 90 hari pertama penyidikan belum dapat diselesaikan. Perpanjangan yang kedua selama 60 hari, baik perpanjangan yang pertama maupun kedua dilakukan oleh ketua pengadilan HAM sesuai dengan daerah hukumnya masing-masing.
5.            Penuntutan
UU No. 26 Tahun 2000 mengatur tentang ketentuan penuntutan dalam pasal 23 dan 24. Pasal 23 menyatakan Penuntutan mengenai pelanggaran HAM yang berat dilakukan oleh Jaksa Agung dan dalam melakukan penuntutan. Jaksa Agung dapat menganggat jaksa penuntut umum ad hoc. Untuk dapat diangkat menjadi penuntut umum ad hoc harus memenuhi syarat tertentu. Pasal 24 mengatur tentang jangka waktu penuntuan yaitu selama 70 hari terhitung sejak tanggal hasil penyelidikan diterima. Ketentuan mengenai jangka waktu ini berbeda dengan ketentuan dalam KUHAP dimana tidak diatur mengenai adanya jangka waktu penuntutan.

Pemeriksaan di Sidang Pengadilan
1.             Komposisi Hakim dan Hakim Ad Hoc
Pasal 27 UU No. 26 Tahun 2000 menyatakan bahwa kasus pelanggaran HAM yang berat diperiksa oleh majelis hakim yang jumlahnya 5 orang yang terdiri dari 2 orang hakim pengadilan HAM yang bersangkutan dan 3 orang hakim HAM ad hoc. Majelis hakim tersebut diketuai oleh hakim dari pengadilan HAM yang bersangkutan. Pada tingkat banding majelis hakimnya berjumlah 5 orang yang terdiri dari 2 orang hakim dari pengadilan setempat dan 3 orang hakim ad hoc. Demikian juga komposisi mengenai majelis hakim dalam tingkat kasasi.
2.             Prosedur Pembuktian
Prosedur pembuktian dalam pengadilan HAM tidak diatur tersendiri yang berarti bahwa mekanisme pembuktian di sidang pengadilan HAM menggunakan mekanisme yang diatur dalam KUHAP. Pengecualian terhadap mekanisme KUHAP untuk prosedur pembuktian adalah mengenai proses kesaksian di pengadilan. Dalam rangka melindungi saksi dan korban pelanggaran HAM yang berat proses pemeriksaan saksi dapat dilakukan dengan tanpa hadirnya terdakwa. Ketentuan ini terdapat dalam PP No. 2 Tahun 2002 tentang perlindungan terhadap korban dan saksi pelanggaran HAM yang berat.

Ketentuan Pemidanaan
Ketentuan pidana diatur dalam Bab VII dari pasal 36 sampai dengan pasal 42 UU No. 2 Tahun 2000 . Ketentuan pidana dalam UU No. 26 Tahun 2000 ini menggunakan ketentuan pidana minimal yang dianggap sebagai ketentuan yang sangat progresif untuk menjaminbahwa pelaku pelanggaran HAM yang berat ini tidak akan mendapatkan hukuman yang ringan. Pasal 36 mengatur tentang ketentuan pidana untuk kejahatan genosida yakni dengab ancaman hukuman mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling lama 25 tahun dan pidana paling singkat 10 tahun.

Pengadilan HAM Ad Hoc
Pengadilan HAM ad hoc adalah pengadilan yang dibentuk khusus untuk memeriksa dan memutus perkara pelanggaran HAM yang berat yang dilakukan sebelum adanya UU No. 26 Tahun 2000. Hal inilah yang membedakan dengan pengadilan HAM permanen yang dapat memutus dan mengadili perkara pelanggaran HAM yang berat yang terjadi setelah diundangkannya UU No. 26 Tahun 2000. Kasus pelanggaran HAM yang berat yang terjadi di Indonesia misalnya untuk kasus pelanggaran HAM di Tanjung Priok dan Timur-timur dapat diselesaikan melalui pengadilan HAM ad hoc ini.

BAB III
PENUTUP

III.        Penutup
3.1         Kesimpulan
Dalam makalah ini, penulis dapat menarik beberapa kesimpulan diantaranya:
1.             Pengadilan Hak Asasi Manusia di Indonesia di bentuk atas dasar dorongan untuk mengadili pelanggar kejahatan Hak Asasi Manusia yang berat;
2.             Pengadilan HAM adalah pengadilan khusus yang berada di lingkungan peradilan umum;
3.             Pengadilan HAM di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000;
4.             Pengadilan HAM ad hoc adalah pengadilan yang dibentuk khusus untuk memeriksa dan memutus perkara pelanggaran HAM yang berat yang dilakukan sebelum adanya UU No. 26 Tahun 2000;
5.             Pengadilan HAM mempunyai wewenang untuk memeriksa dan mengadili. Pengadilan HAM berwenang untuk memeriksa dan memutus perkara pelanggaran HAM berat yang dilakukan di luar teritorial wilayah NKRI oleh Warga Negara Indonesia. Hal ini dimaksudkan untuk melindungi WNI yang melakukan pelanggaran HAM berat yang dilakukan di luar batas teritorial, dalam arti tetap dihukum sesuai dengan Undang-Undang tentang pengadilan Hak Asasi Manusia;
6.             Alur prosesn pengadilan terhadap pelanggaran HAM yaitu:
a.              Penangkapan;                      e.      Penuntutan.
b.             Penahanan;
c.              Penyelidikan;
d.             Penyidikan; dan
DAFTAR PUSTAKA

Abidin, Zainal. 2005. Pengadilan Hak Asasi Manusia Di Indonesia. (Jurnal). Jakarta : Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat – Seri bacaan kursus HAM Untuk Pengacara Tahun 2005
Abidin, Zainal. 2011. Pengadilan Hak Asasi Manusia Di Indonesia: Regulasi, Penerapan dan Perkembangannya. (Jurnal). Disampaikan ketika Training Lanjutan Untuk Dosen Hukum dan HAM di Jogjakarta
Al Hakim, Suparlan. 2012. Pendidikan Kewarganegaraan Dalam Konteks Indonesia. Malang : UM Press



Share this article :

0 comments:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

Recent Post

Mampir Dulu
 
Support : Creating Website | UJANG MURNA WIJAYA Template | AA UJANG
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2011. Ujang Murana Wijaya - All Rights Reserved
Template Design by CREATIVE Published by JAMUR