BAB I
PENDAHULUAN
I.
Pendahuluan
1.1
Latar Belakang
Dalam perkembangannya, kondisi penegakan dan
perlindungan Hak Asasi Manusia di Indonesia semakin memprihatinkan dikarenakan
semakin maraknya pelanggaran HAM berat yang terjadi. Dalam artikel yang ditulis
oleh Agung Yudhawiranata disebutkan bahwa kasus Tanjung Priok, DOM Aceh, Irian,
dan pelanggaran HAM di Timor-Timur sampai saat ini belum terselesaikan
dikarenkan belum adanya instrumen perlindungan hukum yang memadai untuk
mengadili para pelaku pelanggaran HAM tersebut.
Kejahatan atau pelanggaran Hak Asasi Manusia
adalah kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Dikarenakan
pelanggaran yang dilakukan berkaitan dengan hak-hak yang dimiliki oleh
individu, maka dari sini diperlukan sebuah pengadilan yang berfungsi untuk
mengadili perkara-perkara tertentu, dalam hal ini yaitu Hak Asasi Manusia.
Pengadilan yang dimaksud adalah pengadilan HAM, pengadilan HAM merupakan jenis
pengadilan yang khusus untuk mengadili kejahatan terhadap sauatu kelompok
tertentu dan terhadap kejahatan kemanusiaan. Pengadilan HAM dikatakan khusus
karena dari segi penamaannya sudah spesifik menggunakan istilah pengadilan HAM.
Pengertian dari perlunya peradilan yang
bersifat khusus inilah yang menjadi landasan pemikiran untuk adanya pengadilan
khusus yang dikenal dengan pengadilan HAM. Oleh sebab itu, dengan adanya
makalah ini penulis bermaksud untuk membahas secara detail berkenaan
dengan pengadilan HAM di Indonesia, yang meliputi latar belakang lahirnya
pengadilan HAM di Indonesia, landasan yuridis pengadilan HAM di Indonesia,
serta bagaimana penerapan dari pengadilan HAM di Indonesia.
1.2
Rumusan Masalah
Dalam makalah ini penulis akan membahas
beberapa pokok bahasan, antara lain:
1.
Bagaimana latar belakang terbentuknya pengadilan HAM di
Indonesia?
2.
Apa yang dimaksud dengan pengadilan HAM?
3.
Apa landasan yuridis dari pengadilan HAM di Indonesia?
4.
Bagaimana
prosedur pengadilan HAM di Indonesia?
1.3
Tujuan dan Manfaat
Tujuan dari penulisan makalah ini yang pertama
yaitu untuk memenuhi tugas dari mata kuliah Hak Asasi Manusia, kemudian yang
kedua yaitu untuk memberikan pengetahuan kepada pembaca seputar pengadilan HAM
di Indonesia. Selain itu, dengan adanya makalah ini penulis berharap agar para
pencari literatur dapat menggunakan makalah ini sebagai sumber atau bahan
bacaan yang dapat dijadikan referensi.
BAB II
PEMBAHASAN
II.
Pembahasan
2.1
Latar Belakang Pembentukan Pengadilan HAM di Indonesia
Seperti yang sudah penulis kemukaan di atas
bahwasannya kondisi penegakan dan perlindungan Hak Asasi Manusia di Indonesia
semakin memprihatinkan dikarenakan semakin maraknya pelanggaran HAM berat yang
terjadi. Kasus Tanjung Priok, DOM Aceh, Irian, dan pelanggaran HAM di
Timor-Timur sampai saat ini belum terselesaikan dikarenkan belum adanya
instrumen perlindungan hukum yang memadai untuk mengadili para pelaku
pelanggaran HAM tersebut. Hal inilah yang pada dasarnya menjadi dasar pertama
dari pembentukan pengadilan HAM di Indonesia
Pada masa orde baru (1965-1998), telah banyak
kasus-kasus pelanggaran HAM yang terjadi. Pemerintahan otoriter yang memerintah
selama 30 tahun telah banyak melakukan tindakan kejahatan HAM yang dilakukan
karena perilaku negara dan aparatur negaranya (Haryanto, 1999:31). Pelanggaran
HAM pun juga terjadi pasca pemerintahan orde baru. Kejahatan berupa kekerasan
massa, konflik antar etnis dan pembumihangusan Timor-Timur pasca jejak pendapat
telah menjadi penanda bahwa pelanggaran HAM di Indinesia semakin marak terjadi.
Dari kasus pembumihangusan di Timor-Timur
mendorong dunia untuk membentuk sebuah peradilan internasional (international
tribunal) bagi para pelakunya. Dorongan ini juga didasarkan atas
ketidakpercayaan dunia internasional terhadap sistem peradilan yang ada di
Indonesia. Pelanggaran HAM di Timor-Timur mempunyai nuansa khusus dikarenakan
terdapat penyalahggunaan kekuasaan yang dilakukan oleh pemerintah sebagai
fasilitator sehingga akan sulit untuk mendapat keadilan di pengadilan bagi
pelaku kejahatan.
Hal ini sejalan dengan praktik sistem
peradilan pidana yang ada di Indonesia. Sistem peradilan pidana Indonesia belum
mampu memberikan keadilan yang substansial. Peradilan pidana Indonesia masih
sering memberikan toleransi terhadap kejahatan-kejahatan tertentu, dengan konsekuensi
yuridis pelaku kejahatannya harus dibebaskan. Termasuk terhadap kejahatan atau
pelanggaran HAM berat ini.
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
juga diatur tentang pelanggaran HAM berat seperti kejahatan yang berupa
pembunuhan, perampasan kemerdekaan, penyiksaan/ penganiayaan, dan pemerkosaan.
Akan tetapi, jenis kejahatan tersebut adalah jenis kejahatan yang sifatnya
biasa, sehingga ketika dibandingkan dengan pelanggaran HAM yang berat harus
memenuhi beberapa unsur atau karakteristik tertentu sesuai dengan Statuta
Roma (1999) agar bisa diklasifikasikan sebagai pelanggaran HAM yang berat.
Selain itu, sesuai dengan prinsip International
Criminal Court, prinsip universal yang tidak mungkin memperlakukan
pelanggaran HAM berat sebagai ordinary crimes dan adanya kualifikasi
universal tentang crimes against humanity masyarakat mengharuskan
didayagunakannya pengadilan HAM yang bersifat khusus, yang mengandung pula
acara pidana yang bersifat khusus.
Pengertian tentang perlunya peradilan yang
secara khusus dengan aturan yang bersifat khusus pula inilah yang menjadi
landasan pemikiran untuk adanya pengadilan khusus yang dikenal dengan
pengadilan HAM. Alasan yuridis lainnya yang bisa menjadi landasan berdirinya
pengadilan nasional adalah bahwa pengadilan nasional merupakan “the primary
forum” untuk mengadili para pelanggar HAM berat (Abidin, 2005:3).
2.2
Pengertian Pengadilan HAM
2.2.1 Gambaran Umum
Pengadilan HAM merupakan
pengadilan khusus yang berada dibawah peradilan umum, dan merupakan lex specialis dari
Kitab Undang Hukum Pidana. Pengadilan ini dikatakan khusus karena dari segi
penamaan bentuk pengadilannya sudah secara spesifik menggunakan istilah
Pengadilan HAM dan kewenangan pengadilan ini juga
mengadili kejahatan-kejahatan tertentu.
Kejahatan yang termasuk dalam
pengadilan HAM ini adalah kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan
yang keduanya merupakan pelanggaran HAM berat. Penamaan Pengadilan HAM yang
mengadili kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan genosida ini dianggap
tidak tepat, karena pelanggaran HAM yang berat
dengan dua jenis kejahatan tersebut adalah kejahatan yang merupakan bagian dari
hukum pidana internasional sehingga yang digunakan adalah seharusnya
terminologi “pengadilan pidana”.
Lepas dari penamaan Pengadilan HAM
yang kurang tepat tersebut, pembentuk Undang-Undang menyadari bahwa bahwa
penanganan kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan genosida adalah
kejahatan luar biasa yang tidak bisa ditangani dengan sistem peradilan pidana
biasa. Pengaturan yang sifatnya khusus ini didasarkan atas kerakteristik kejahatan
yang sifatnya khusus sehingga memerlukan pengaturan dan mekanisme yang juga
sifatnya khusus.
Pengaturan khusus ini dimulai
sejak tahap penyelidikan dimana yang berwenang adalah Komnas HAM sampai
pengaturan tentang majelis hakim dimana komposisinya berbeda dengan pengadilan
pidana biasa. Dalam pengadilan HAM ini komposisi hakim adalah lima orang yang
mewajibkan tiga orang diantaranya adalah hakim ad hoc. Namun, meskipun terdapat
kekhususan dalam penangannya, hukum acara yang digunakan, masih menggunakan
hukum acara pidana terutama prosedur pembuktiannya.
2.2.2 Pengadilan HAM Setelah Disahkannya
UU No. 26 Tahun 2000
Dalam makalah yang ditulis oleh
Zainal Abidin (2011) dijelaskan bahwa berdasarkan ketentuan UU No. 26 tahun
2000, pengadilan HAM mengatur tentang yuridiksi atas kasus-kasus pelanggaran
HAM berat baik setelah disahkanya UU ini maupun kasus-kasus pelanggaran HAM berat
sebelum disahkannya UU ini. Prosedur pembentukan pengadilan ini mempunyai
perbedaaan yang cukup mendasar. Dalam penanganan kasus-kasus pelanggaran HAM
berat setelah disahkannya UU ini tanpa melalui rekomendasi dan keputusan
presiden sebagaimana dalam pembentukan pengadilan HAM ad hoc.
Prosedur pembentukan pengadilan HAM
adalah berdasarkan adanya dugaan telah terjadi kasus pelanggaran HAM yang
berat. Dugaan adanya kasus pelanggaran yang berat ini kemudian diselidiki oleh
Komnas HAM dengan membentuk komisi Penyelidikan Pelanggaran HAM (KPP HAM).
Hasil penyelidikan, jika ditemukan bukti bahwa terdapat dugaan adanya
pelanggaran HAM yang berat maka akan dilimpahkan ke Kejaksaan Agung untuk
dilanjutkan ke tahap penyidikan, dalam tahap ini kalau dari hasil penyidikan
menunjukkan adanya pelanggaran HAM yang berat maka diteruskan untuk tahap
penuntutan yang juga di lakukan oleh Kejaksaan Agung. Berdasarkan bukti-bukti
dan penuntutan yang diwujudkan dalam surat dakwaan, kemudian digelar pengadilan
HAM berdasarkan kompetensi relatif pengadilan. Tempat pengadilan ini berada di
pengadilan negeri dimana locus dan tempos delictie terjadinya
pelanggaran HAM yang berat.
2.2.3 Pengadilan HAM Sebelum Disahkannya
UU No. 26 Tahun 2000
Pengadilan HAM ad hoc
adalah pengadilan yang dibentuk khusus untuk memeriksa dan mengadili perkara
pelanggaran HAM yang berat yang dilakukan sebelum adanya UU No. 26 Tahun 2000,
berbeda dengan Pengadilan HAM (permanen) yang dapat memeriksa dan mengadili
perkara pelanggaran HAM yang berat yang terjadi setelah diundangkannya UU No.
26 Tahun 2000.
2.3
Landasan Yuridis Pengadilan HAM di Indonesia
Landasan yuridis dari pengadilan HAM di
Indonesia diawalai ketika terjadi penolakan penerbitan Perpu Nomor 1 Tahun 1999 dari pemerintah oleh DPR. Setelah
adanya penolakan Perpu oleh DPR maka pemerintah mengajukan rancangan
undang-undang tentang pengadilan HAM. Dalam penjelasannya pengajuan RUU tentang
Pengadilan HAM adalah pertama, merupakan perwujudan tanggung
jawab bangsa indonesia sebagai salah satu anggota PBB. Dengan demikian
merupakan salah satu misi yang mengembangkan tanggung jawab moral dan hukum
dalam menjunjung tinggi dan melaksanakan deklarasi HAM yang ditetapkan oleh
perserikatan bangsa-bangsa, serta yang terdapat dalam berbagai instrumen hukum
lainnya yang mengatur mengenai HAM yang telah dan atau diterima oleh negara
Indonesia. Kedua, dalam rangka melaksanakan Tap MPR No.
XVII/MPR/1998 tentang HAM dan sebagai tindak lanjut dari pasal 104 ayat 1
Undang-undang No. 39 Tahun 1999. Ketiga, untuk mengatasi keadaan
yang tidak menentu dibidang keamanan dan ketertiban umum, termasuk perekonomian
nasional. Keberadaan pengadilan HAM ini sekaligus diharapkan dapat
mengembalikan kepercayaan masyarakat dan dunia internasional terhadap penegakan
hukum dan jaminan kepastian hukum mengenai penegakan HAM di Indonesia.
Dari ketiga alasan di atas, landasan hukum dari
pembentukan pengadilan HAM untuk mengadili pelanggaran HAM berat adalah alasan
yang ketiga dimana terbentuknya pengadilan HAM ini adalah pelaksanaan
dari TAP MPR No. XVII/MPR/1998 tentang HAM dan sebagai tindak lanjut dari Pasal
104 ayat 1 Undangundang No. 39 Tahun 1999. Pasal 104 ayat 1 UU No. 39 Tahun
1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Komnas HAM menyatakan bahwa untuk mengadili
pelanggaran HAM yang berat dibentuk pengadilan HAM di lingkungan peradilan
umum. Ayat 2 menyatakan pengadilan sebagaimana dimaksud ayat dalam ayat 1
dibentuk dengan udang-undang dalam jangka waktu paling lama 4 tahun. Tidak
sampai 4 tahun, undang-undang yang khusus mengatur tentang Pengadilan HAM
adalah Undangundang Nomor 26 Tahun 2000. UU No. 26 Tahun 2000 ini disahkan pada
tanggal.
2.4
Perosedur
Penerapan Pengadilan HAM di Indonesia
2.4.1 Pengaturan Pengadilan HAM di Indonesia
Pengadilan HAM di Indonesia diatur dalam
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000. Pokok-pokok Undang-Undang tersebut
menyatakan bahwa untuk ikut serta memelihara perdamaian dunia dan menjamin
pelaksanaan Hak Asasi Manusia serta memberi perlindungan, kepastian, keadilan,
dan perasaan aman kepada perorangan ataupun masyarakat, perlu segera dibentuk
suatu Pengadilan Hak Asasi Manusia untuk menyelesaikan pelanggaran Hak Asasi
Manusia yang berat sesuai dengan ketentuan Pasal 104 ayat (1) Undang-undang
Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia; Bahwa pembentukan Pengadilan Hak
Asasi Manusia untuk menyelesaikan. pelanggaran hak asasi manusia yang berat
telah diupayakan oleh Pemerintah berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1999 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia yang
dinilai tidak memadai, sehingga tidak disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia menjadi undang-undang, dan oleh karena itu Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-undang tersebut perlu dicabut. Berdasarkan
pertimbangan diatas maka pengadilan HAM perlu dibentuk..
UU No. 26 Tahun 2000 tentang pengadilan HAM
ini juga dianggap mempunyai banyak kelemahan yang mendasar dalam pengaturannya.
Kelamahan-kelemahan ini karena proses pengadopsian dari instrumen internasional
yang tidak lengkap dan mengalami banyak kesalahan. Pengadopsian atas konsep
kejahatan terhadap kemanusiaan dan tentang delik tanggung jawab komando tidak
memadai sehingga banyak menimbulkan interpretasi dalam aplikasinya. Kelemahan
lainnya adalah tidak ada hukum acara dan pembuktian secara khusus dan masih
banyak menggunkan ketentuan yang berdasarkan KUHP.
2.4.2 Kedudukan Pengadilan HAM
Pengadilan HAM adalah pengadilan khusus yang
berada di lingkungan peradilan umum. Kedudukannya di daerah kabupaten atau
daerah kota yang daerah hukumnya meliputi daerah hukum Pengadilan Negeri yang
bersangkutan, sedangkan daerah khusus ibukota pengadilan HAM berkedudukan di
setiap wilayah Pengadilan Negeri yang bersangkutan. pada saat undang-undang ini
berlaku pertama kali maka pengadilan HAM dibentuk di Jakarta Pusat, Surabaya,
Medan, dan Makassar.
Kedudukan dalam pengadilan HAM mengikuti
Pengadilan Umum atau Pengadilan Negeri termasuk dukungan administrasinya. Hal
ini membawa konsekuensi bahwa pengadilan HAM ini akan sangat tergantung dengan
dukungan dari pengadilan negeri tersebut. Dukungan administratif itu adalah :
a.
Ruangan Pengadilan
Ruangan pengadilan yang juga merupakan ruangan
pengadilan untuk kasus lainnya dan tidak ada ruangan yang khusus untuk
pengadilan HAM;
b.
Staf Administrasi
Staf administrasi adalah staf yang menangani perkara
pengadilan HAM selain panitera yang juga bertugas untuk membantu para hakim
yang mengadili perkara pelanggaran HAM yang berat;
c.
Panitera
Panitera ini adalah panitera biasa dan bukan
panitera yang dibentuk khusus untuk menangani kasus pelanggaran HAM yang berat.
Panitera ini juga menangani kasus lainnya; dan
d.
Ruangan Hakim
Ruangan hakim untuk hakim ad hoc adalah
ruangan tersendiri namun untuk hakim karir yang merupakan hakim pengadilan
setempat maka mereka mempunyai ruangan tersendiri (Abidin, 2005:8).
2.4.3 Ruang Lingkup Kewenangan Pengadilan HAM
Pengadilan HAM mempunyai wewenang untuk
memeriksa dan mengadili. Pengadilan HAM berwenang untuk memeriksa dan memutus
perkara pelanggaran HAM berat yang dilakukan di luar teritorial wilayah NKRI
oleh Warga Negara Indonesia. Hal ini dimaksudkan untuk melindungi WNI yang melakukan
pelanggaran HAM berat yang dilakukan di luar batas teritorial, dalam arti tetap
dihukum sesuai dengan Undang-Undang tentang pengadilan Hak Asasi Manusia.
UU No. 26 Tahun 2000 memberikan larangan atau
membatasi kewenangan untuk memeriksa dan memutus perkara pelanggaran hak asasi
manusia yang berat yang dilakukan oleh seseorang yang berumur di bawah 18
(delapan belas) tahun pada saat kejahatan dilakukan. Disini diartikan bahwa
seseorang yang berumur dibawah 18 tahun yang melakukan pelanggaran HAM yang
berat diperiksa dan diputus dalam Pengadilan Negeri. Ketentuan tentang
pembatasan perkecualian yurisdiksi terhadap mereka yang berumur dibawah 18
tahun pada saat tindak pidana dilakukan (exclusion of jurisdiction over
person under eighteen) sesuai dengan norma yang diatur dalam Statuta Roma
1998.
Jenis-Jenis Kejahatan Yang Dapat Diadili
Jenis kejahatan yang dikategorikan sebagai
pelanggaran HAM berat yang dapat diperiksa atau diputus oleh pengadilan HAM
adalah:
1.
Kejahatan Genosida
Yaitu setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk
menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras,
kelompok etnis, kelompok agama, dengan cara:
a.
Membunuh
anggota kelompok;
b.
Mengakibatkan
penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap suatu kelompok;
c.
Menciptakan
kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik
seluruh atau sebagian;
d.
Memaksakan
tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok; dan
e.
Memindahkan
secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain (Abidin,
2005:9).
2.
Kejahatan
Terhadap Kemanusiaan
Yaitu salah satu perbuatan yang dilakukan
sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya
bahwa serangan itu ditujukan secara langsung kepada penduduk sipil yang berupa:
a.
Pembunuhan;
b.
Pemusnahan;
c.
Perbudakan;
d.
Pengusiran dan pemindahan;
e.
Perampasan kemerdekaan;
f.
Penyiksaan;
g.
Perkosaan;
h.
Penganiayaan terhadap suatu kelompok;
i.
Penghilangan orang secara paksa; dan
j.
Kejahatan apartheid (Yudhawiranata, yyyy:5)
2.4.4 Hukum Acara Pengadilan HAM
Pasal 10 UU No. 26 Tahun 2000 menyatakan bahwa
hukum acara yang digunakan adalah hukum acara yang berdasarkan hukum acara
pidana kecuali ditentukan lain dalam undangundang ini. Hal ini berarti hukum
acara yang akan digunakan untuk proses pemeriksaan dipengadilan menggunakan
hukum acara dengan mekanisme sesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana (KUHAP).
UU No. 26 Tahun 2000 mengatur Kekhususan
pengadilan HAM diluar ketentuan KUHAP untuk pelanggaran HAM yang berat.
Kekhususan dalam penanganan pelanggaran HAM yang berat dalam UU No. 26 Tahun
2000 adalah:
1.
Diperlukan
penyelidik dengan membentuk tim ad hoc, penyidik ad hoc, penuntut
ad hoc, dan hakim ad hoc.
2.
Diperlukan
penegasan bahwa penyelidik hanya dilakukan oleh komisi nasional hak asasi
manusia sedangkan penyidik tidak berwenang menerima laporan atau pengaduan
sebagai mana diatur dalam KUHAP.
3.
Diperlukan ketentuan mengenai tenggang waktu tertentu
untuk melakukan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan dipengadilan.
4.
Diperlukan ketentuan mengenai perlindungan korban dan
saksi.
5.
Diperlukan ketentuan mengenai tidak ada kedaluarsa
pelanggaran ham yang berat.
Kekhususan ini kemudian dijabarkan dalam pasal
demi pasal dalam UU No. 26/2000 yang merupakan pengecualian dari pengaturan
dalam KUHAP yaitu:
1.
Penangkapan
Kewenangan untuk melakukan penangkapan di
tingkat penyidikan dalam pengadilan HAM ini adalah Jaksa Agung terhadap
seseorang yang diduga keras melakukan pelanggaran HAM berat berdasarkan bukti yang
cukup. Prosedur untuk pelaksanaan penangkapan dilakukan oleh penyidik dengan
memperlihatkan surat tugas dan menunjukkan surat perintah penangkapan yang
mencantumkan identitas tersangka dengan menyebutkan alasan penangkapan, tempat
dilakukan pemeriksaan serta uraian singkat perkara pelanggaran HAM yang berat
yang dipersangkakan.
2.
Penahanan
Dalam buku yang berjudul Pendidikan
Kewarganegaraan Dalam Konteks Indonesia karangan Suparlan Al Hakim (2012),
dijelaskan bahwa tujuan penahanan adalah agar tersangka/ terdakwa tidak
melarikan diri, merusak barang bukti, menghilangkan barang bukti dan tidak
mengulangi pelanggatan Hak Asasi Manusia berat, selain itu juga untuk
memudahkan dilakukannya penyelidikan dan penyidikan.
3.
Penyelidikan
Dalam UU No. 26 Tahun 2000 dijelaskan bahwa
penyelidikan diartikan sebagai serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari
dan menemukan ada tidaknya suatu peristiwa yang diduga merupakan pelanggaran
hak asasi manusia yang berat guna ditindaklanjuti dengan penyidikan sesuai
dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini. Dalam UU ini yang berhak
melakukan penyelidikan adalah Komnas HAM, kewenangan ini dimaksudkan untuk
menjaga objektivitas hasil penyelidikan karena lembaga Komnas HAM adalah
lembaga yang bersifat independen.
4.
Penyidikan
Dalam UU No. 26 Tahun 2000, pihak yang
berwenang melakukan penyidikan terhadap kasus pelanggaran HAM yang berat adalah
Jaksa Agung. Penyidikan ini tidak termasuk untuk menerima pengaduan dan laporan
karena pengaduan dan laporan tersebut merupakan kewenangan Komnas HAM. Dalam
upaya penyidikan ini Jaksa Agung dapat mengangkat penyelidik ad hoc dari
unsur masyarakat dan pemerintah. Penyidikan yang dilakukan wajib diselesaikan
paling lambat 90 hari terhitumg sejak tanggal hasil penyelidikan diterima dan
dinyatakan lengkap oleh penyidik. Perpanjangan dapat dilakukuan selama 90 hari
berikutnya jika selama 90 hari pertama penyidikan belum dapat diselesaikan.
Perpanjangan yang kedua selama 60 hari, baik perpanjangan yang pertama maupun
kedua dilakukan oleh ketua pengadilan HAM sesuai dengan daerah hukumnya
masing-masing.
5.
Penuntutan
UU No. 26 Tahun 2000 mengatur tentang
ketentuan penuntutan dalam pasal 23 dan 24. Pasal 23 menyatakan Penuntutan
mengenai pelanggaran HAM yang berat dilakukan oleh Jaksa Agung dan dalam
melakukan penuntutan. Jaksa Agung dapat menganggat jaksa penuntut umum ad
hoc. Untuk dapat diangkat menjadi penuntut umum ad hoc harus
memenuhi syarat tertentu. Pasal 24 mengatur tentang jangka waktu penuntuan
yaitu selama 70 hari terhitung sejak tanggal hasil penyelidikan diterima.
Ketentuan mengenai jangka waktu ini berbeda dengan ketentuan dalam KUHAP dimana
tidak diatur mengenai adanya jangka waktu penuntutan.
Pemeriksaan di Sidang Pengadilan
1.
Komposisi Hakim
dan Hakim Ad Hoc
Pasal 27 UU No. 26 Tahun 2000 menyatakan bahwa kasus pelanggaran
HAM yang berat diperiksa oleh majelis hakim yang jumlahnya 5 orang yang terdiri
dari 2 orang hakim pengadilan HAM yang bersangkutan dan 3 orang hakim HAM ad
hoc. Majelis hakim tersebut diketuai oleh hakim dari pengadilan HAM yang
bersangkutan. Pada tingkat banding majelis hakimnya berjumlah 5 orang yang
terdiri dari 2 orang hakim dari pengadilan setempat dan 3 orang hakim ad hoc.
Demikian juga komposisi mengenai majelis hakim dalam tingkat kasasi.
2.
Prosedur Pembuktian
Prosedur pembuktian dalam pengadilan HAM tidak
diatur tersendiri yang berarti bahwa mekanisme pembuktian di sidang pengadilan
HAM menggunakan mekanisme yang diatur dalam KUHAP. Pengecualian terhadap
mekanisme KUHAP untuk prosedur pembuktian adalah mengenai proses kesaksian di
pengadilan. Dalam rangka melindungi saksi dan korban pelanggaran HAM yang berat
proses pemeriksaan saksi dapat dilakukan dengan tanpa hadirnya terdakwa. Ketentuan
ini terdapat dalam PP No. 2 Tahun 2002 tentang perlindungan terhadap korban dan
saksi pelanggaran HAM yang berat.
Ketentuan Pemidanaan
Ketentuan pidana diatur dalam Bab VII dari
pasal 36 sampai dengan pasal 42 UU No. 2 Tahun 2000 . Ketentuan pidana dalam UU
No. 26 Tahun 2000 ini menggunakan ketentuan pidana minimal yang dianggap
sebagai ketentuan yang sangat progresif untuk menjaminbahwa pelaku pelanggaran
HAM yang berat ini tidak akan mendapatkan hukuman yang ringan. Pasal 36
mengatur tentang ketentuan pidana untuk kejahatan genosida yakni dengab ancaman
hukuman mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling lama
25 tahun dan pidana paling singkat 10 tahun.
Pengadilan HAM Ad Hoc
Pengadilan HAM ad hoc adalah pengadilan
yang dibentuk khusus untuk memeriksa dan memutus perkara pelanggaran HAM yang
berat yang dilakukan sebelum adanya UU No. 26 Tahun 2000. Hal inilah yang
membedakan dengan pengadilan HAM permanen yang dapat memutus dan mengadili
perkara pelanggaran HAM yang berat yang terjadi setelah diundangkannya UU No.
26 Tahun 2000. Kasus pelanggaran HAM yang berat yang terjadi di Indonesia
misalnya untuk kasus pelanggaran HAM di Tanjung Priok dan Timur-timur dapat
diselesaikan melalui pengadilan HAM ad hoc ini.
BAB III
PENUTUP
III.
Penutup
3.1
Kesimpulan
Dalam makalah ini, penulis dapat menarik
beberapa kesimpulan diantaranya:
1.
Pengadilan Hak Asasi Manusia di Indonesia di bentuk atas
dasar dorongan untuk mengadili pelanggar kejahatan Hak Asasi Manusia yang berat;
2.
Pengadilan HAM adalah pengadilan khusus yang berada di
lingkungan peradilan umum;
3.
Pengadilan HAM di Indonesia diatur dalam Undang-Undang
Nomor 26 Tahun 2000;
4.
Pengadilan HAM ad hoc adalah pengadilan yang
dibentuk khusus untuk memeriksa dan memutus perkara pelanggaran HAM yang berat
yang dilakukan sebelum adanya UU No. 26 Tahun 2000;
5.
Pengadilan HAM mempunyai wewenang untuk memeriksa dan
mengadili. Pengadilan HAM berwenang untuk memeriksa dan memutus perkara
pelanggaran HAM berat yang dilakukan di luar teritorial wilayah NKRI oleh Warga
Negara Indonesia. Hal ini dimaksudkan untuk melindungi WNI yang melakukan
pelanggaran HAM berat yang dilakukan di luar batas teritorial, dalam arti tetap
dihukum sesuai dengan Undang-Undang tentang pengadilan Hak Asasi Manusia;
6.
Alur prosesn pengadilan terhadap pelanggaran HAM yaitu:
a.
Penangkapan; e. Penuntutan.
b.
Penahanan;
c.
Penyelidikan;
d.
Penyidikan; dan
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Zainal. 2005. Pengadilan Hak Asasi
Manusia Di Indonesia. (Jurnal). Jakarta : Lembaga Studi dan Advokasi
Masyarakat – Seri bacaan kursus HAM Untuk Pengacara Tahun 2005
Abidin, Zainal. 2011. Pengadilan Hak Asasi
Manusia Di Indonesia: Regulasi, Penerapan dan Perkembangannya. (Jurnal).
Disampaikan ketika Training Lanjutan Untuk Dosen Hukum dan HAM di Jogjakarta
Al Hakim, Suparlan. 2012. Pendidikan
Kewarganegaraan Dalam Konteks Indonesia. Malang : UM Press
0 comments:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !