BOOK REPORT
Judul
: Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II
Pengarang :
Prof. Dr. Jimy Asshiddqie, SH
Jumlah hal :
190 halaman
Penerbit : Sekertariat Jendrl dan Kepanitraan
Mahkamah Kontitusi RI
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Ada beberapa sebab yang
mendorong saya menulis buku ini. Pertama, dunia pustaka kita di tanah
air sangat miskin dengan buku-buku yang berisi informasi yang luas dan mendalam
dengan perspektif yang bersifat alternatif. Saya berusaha menyajikan informasi
dan hasil analisis kritis mengenai berbagai soal dalam bidang ilmu hukum tata
negara sebagai alternatif pilihan terhadap semua buku dan karya yang sudah ada
selama ini. Kadang-kadang buku-buku yang tersedia hanyalah buku yang berisi
kumpulan peraturan perundang-undangan di bidang politik dan ketatanegaraan
dengan tambahan komentar dan catatan yang serba sumir, tanpa kedalaman analisis
dengan berbasis teori-teori yang telah berkembang pesat di lingkungan
negara-negara maju. Oleh karena itu, buku dengan kedalaman pengertian tentang
berbagai aspek ilmiah tentang hukum tata negara sungguh sangat banyak
diperlukan.
Kedua, dari segi jumlahnya, buku-buku yang tersedia di
perpustakaan dan di toko buku pun juga sangat terbatas. Oleh sebab itu, makin
banyak buku tentulah diharapkan dapat semakin mendorong peningkatan pengkajian-
pengkajian yang lebih intensif oleh para mahasiswa dan peminat masalah
ketatanegaraan selanjutnya. Budaya baca di kalangan masyarakat kita sangatlah
lemah, dan demikian pula budaya menulis juga sangat terbatas, apalagi untuk
menjadi penulis buku-buku yang bermutu. Menjadi penulis yang baik saja pun
sekarang ini belumlah dapat dijadikan andalan untuk hidup. Karena tidak ada
orang yang mampu hidup hanya dengan mengandalkan kemampuan menulis.
Oleh karena itu, buku yang
bermutu juga menjadi sangat kurang jumlahnya. Kata kuncinya tidak lain adalah
bahwa konsumen dan konsumsi buku di masyarakat kita masih sangat tipis
jumlahnya, sehingga tidak dapat menggerakkan roda industri buku untuk dapat
tumbuh sehat. Untuk itu, sebagai seorang guru dalam pendidikan hukum yang
kebetulan mendapat kepercayaan menjadi Ketua Mahkamah Konstitusi, di tengah
kesibukan kerja sehari-hari, saya merasa bertanggung jawab secara moral untuk
terus menulis buku untuk kepentingan mahasiswa dan masyarakat peminat lainnya.
Ketiga, perkembangan ketatanegaraan Indonesia sendiri sesudah terjadinya
reformasi nasional sejak tahun 1998 yang kemudian diikuti oleh terjadinya
Perubahan UUD 1945 secara sangat mendasar sebanyak empat kali, yaitu pada tahun
1999, 2000, 2001, dan 2002, telah mengubah secara mendasar pula cetak biru
(blueprint) ketatanegaraan Indonesia di masa yang akan datang. Oleh karena itu,
diperlukan banyak buku baru yang dapat menggambarkan perspektif-perspektif baru
itu, tidak saja di dunia teori, tetapi juga di bidang hukum positif yang
sekarang berlaku.
Keempat, keadaan dunia dewasa
ini juga telah mengalami perubahan yang sangat pesat dan mendasar, apabila
dibandingkan dengan keadaan di masa-masa lalu pada abad ke-20. Kehidupan
kenegaraan di seluruh dunia dewasa ini juga berubah dengan sangat fundamental sehingga
teori-teori dan konsep-konsep hukum yang berlaku di masa lalu juga banyak yang
menjadi tidak relevan lagi dengan kebutuhan zaman sekarang. Demikian pula
halnya dengan bidang hukum tata negara, banyak sekali konsep-konsep baru yang
muncul dan pengertian-pengertian lama yang sudah tidak cocok lagi untuk
dijadikan pegangan ilmiah. Misalnya saja, teori mengenai susunan organisasi
negara yang selama berabad-abad dipahami terdiri atas tiga kemungkinan bentuk,
yaitu negara kesatuan (unitary state atau eenheidsstaat), negara serikat atau
federal (bondstaat), dan negara konfederasi (confederation). Sekarang kita
menyaksikan terbentuknya wadah Uni Eropa (European Union) di antara
negara-negara Eropa Bersatu yang dari waktu ke waktu terus menguat derajat integrasinya
menjadi suatu komunitas kenegaraan yang sama sekali tidak dapat dikategorikan
sebagai salah satu dari ketiga bentuk susunan organisasi negara tersebut di
atas. Oleh sebab itu, sangat banyak fenomena baru yang harus dipelajari dengan
intensif oleh para mahasiswa hukum yang menaruh minat kepada teori-teori
mutakhir tentang hukum tata negara pada umumnya.
Kelima, sebagai akibat dari
gelombang globalisasi ekonomi dan kebudayaan umat manusia, meluas pula hubungan
saling pengaruh mempengaruhi mengenai pola-pola kehidupan bernegara dan
aspek-aspek ketatanegaraan di berbagai negara, sehingga hukum tata negara
sebagai bidang ilmu pengetahuan juga tidak lagi terkungkung dalam ruang-ruang
nasionalisme norma konstitusi masing-masing negara. Para mahasiswa hukum harus
menangkap pula kecenderungan baru dimana hukum tata negara sebagai bidang hukum
yang bersifat internal suatu negara mulai menyatu atau setidaknya saling
pengaruh mempengaruhi dengan bidang kajian hukum internasional publik. Hukum
tata negara meluas dari sempitnya orientasi selama ini yang hanya bersifa
internal ke arah orientasi eksternal, sehingga ilmu hukum tata negara di
samping harus dipelajari sebagai bidang ilmu hukum tata negara positif, juga
harus dipelajari
sebagai bidang ilmu hukum tata negara umum.
BAB II
ORGAN
DAN FUNGSI KEKUASAAN NEGARA
A.
PEBATASAN
KEKUASAAN
1.
Fungsi-Fungsi
Kekuasaan
Salah satu ciri negara hukum,
yang dalam bahasa Inggris disebut the rule of law atau dalam bahasa
Belanda dan Jerman disebut rechtsstaat, adalah adanya ciri pembatasan
kekuasaan dalam penyelenggaraan kekuasaan negara. Pembatasan itu dilakukan
dengan hukum yang kemudian menjadi ide dasar paham konstitusionalisme modern.
Oleh karena itu, konsep negara hukum juga disebut sebagai negara konstitusional
atau constitutional state, yaitu negara yang dibatasi oleh konstitusi.
Dalam konteks yang sama, gagasan negara demokrasi atau kedaulatan rakyat
disebut pula dengan istilah constitutional democracy yang dihubungkan
dengan pengertian negara demokrasi yang berdasarkan atas hukum. Dalam empat
ciri klasik negara hukum Eropa Kontinental yang biasa disebut rechtsstaat,
terdapat elemen pembatasan kekuasaan sebagai salah satu ciri pokok negara
hukum. Ide pembatasan kekuasaan itu dianggap mutlak harus ada, karena
sebelumnya semua fungsi kekuasaan negara terpusat dan terkonsentrasi di tangan
satu orang, yaitu di tangan Raja atau Ratu yang memimpin negara secara turun
temurun. Bagaimana kekuasaan negara itu dikelola sepenuhnya tergantung kepada
ke hendak pribadi sang raja atau ratu tersebut tanpa adanya kontrol yang jelas
agar kekuasaan itu tidak menindas atau meniadakan hak-hak dan kebebasan rakyat.
Bahkan, ketika kekuasaan Raja
itu berhimpit pula dengan paham teokrasi yang menggunakan prinsip kedaulatan
Tuhan, maka doktrin kekuasaan para raja berkembang menjadi semakin absolut.
Suara dan kehendak raja identik dengan suara dan kehendak Tuhan yang absolut
dan tak terbantahkan. Dalam sejarah, kekuasaan Tuhan yang menyatu dalam
kemutlakan kekuasaan Raja ini dapat ditemukan dalam semua peradaban umat
manusia, mulai dari peradaban Mesir, peradaban Yunani dan Romawi kuno,
peradaban Cina, India, serta pengalaman bangsa Eropa sendiri di sepanjang
sejarah masa lalu hingga munculnya gerakan sekularisme yang memisahkan secara
tegas antara kekuasaan negara dan kekuasaan gereja.
Menurut Montesquieu, dalam
bukunya “L’Esprit des Lois” (1748), yang mengikuti jalan pikiran John
Locke, membagi kekuasaan negara dalam tiga cabang, yaitu (i) kekuasaan
legislatif sebagai pembuat undangundang, (ii) kekuasan eksekutif yang
melaksanakan, dan (iii) kekuasaan untuk menghakimi atau yudikatif. Dari
klasifikasi Montesquieu inilah dikenal pembagian kekuasaan negara modern dalam
tiga fungsi, yaitu legislatif (the legislative function), eksekutif (the
executive or administrative function), dan yudisial (the judicial
function). Sebelumnya, John Locke juga membagi kekuasaan negara
dalam 3 (tiga) fungsi, tetapi berbeda isinya. Menurut John Locke, fungsi-fungsi
kekuasaan negara itu
meliputi:
1) Fungsi Legislatif;
2) Fungsi Eksekutif;
3) Fungsi Federatif.
Bagi John Locke, penjelmaan
fungsi defencie baru timbul apabila fungsi diplomacie terbukti
gagal. Oleh sebab itu, yang dianggap penting adalah fungsi federatif.
Sedangkan, fungsi yudisial bagi Locke cukup dimasukkan ke dalam kategori fungsi
legislatif, ya itu terkait dengan fungsi pelaksanaan hukum. Tetapi bagi
Montesquieu, fungsi pertahanan (defence) dan hubungan luar negerilah
(diplomasi) yang termasuk ke dalam fungsi eksekutif, sehingga tidak perlu disebut
tersendiri. Justru dianggap penting oleh Montesquieu adalah fungsi yudisial
atau fungsi kekuasaan kehakiman. Mirip dengan itu, sarjana Belanda, van
Vollenhoven membagi fungsi kekuasaan juga dalam 4 (empat) fungsi, yang kemudian
biasa disebut dengan “catur praja”, yaitu:
1)
Regeling (pengaturan) yang kurang lebih identik dengan
fungsi legislatif menurut Montesquieu;
2)
Bestuur yang identik dengan fungsi pemerintahan
eksekutif;
3)
Rechtspraak (peradilan); dan
4)
Politie yang menurutnya merupakan fungsi untuk menjaga
ketertiban dalam masyarakat (social order) dan peri kehidupan bernegara.
2.
Pembagian dan
Pemisahan Kekuasaan
Pembatasan kekuasaan (limitation
of power) berkaitan erat dengan teori pemisahan kekuasaan (separation of
power) dan teori pembagian kekuasaan (division of power atau distri
bution of power). Pada umumnya, doktrin pemisahan kekuasaan (separation
of power)5 atau pembagian kekuasaan dianggap berasal dari Montesquieu
dengan trias politica-nya. Namun dalam perkembangannya, banyak
versi yang biasa dipakai oleh para ahli berkaitan dengan peristilahan pemisahan
dan pembagian kekuasaan ini. Sebenarnya, konsep awal mengenai hal ini dapat
ditelusuri kembali dalam tulisan John Locke, “Second Treaties of
Civil Government” (1690) yang berpendapat bahwa kekuasaan untuk menetapkan
aturan hukum tidak boleh dipegang sendiri oleh mereka yang menerapkannya. Oleh
sarjana hukum Perancis, Baron de Montesquieu (1689-1755), yang menulis
berdasarkan hasil penelitiannya terhadap sistim konstitusi Inggris, pemikiran
John Locke itu diteruskannya dengan mengembangkan konsep trias politica yang
membagi kekuasaan negara dalam 3 (tiga) cabang kekuasaan, yaitu legislatif,
eksekutif, dan yudikatif.6 Pandangan Montesquieu inilah yang kemudian dijadikan
rujukan doktrin separation of power di zaman sesudahnya. Istilah
“pemisahan kekuasaan” dalam bahasa Indonesia merupakan terjemahan
perkataan separation of power berdasarkan teori trias politica atau
tiga fungsi kekuasaan, yang dalam pandangan Montesquieu, harus dibedakan dan
dipisahkan secara struktural dalam organ-organ yang tidak saling mencampuri
urusan masing- masing. Kekuasaan legislatif hanya dilakukan oleh lembaga
legislatif, kekuasaan eksekutif hanya dilakukan oleh lembaga eksekutif, dan
demikian pula kekuasaan. Separation of power diartikan oleh O. Hood Phillips
dan yang lainnya sebagai the distribution of the various powers of government
among different organs. Dengan perkataan lain, kata separation of power
diidentikkan dengan distribution of power.
Dengan demikian, dapat dibedakan
penggunaan istilah pembagian dan pemisahan kekuasaan itu dalam dua konteks yang
berbeda, yaitu konteks hubungan kekuasaan yang bersifat horizontal atau
vertikal. Dalam konteks yang vertikal, pemisahan kekuasaan atau pembagian
kekuasaan itu dimaksudkan untuk membedakan antara kekuasaan pemerintahan atasan
dan kekuasaan pemerintahan bawahan, yaitu dalam hubungan antara pemerintahan
federal dan negara bagian dalam negara federal (federal state), atau
antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah provinsi dalam negara kesatuan
(unitary state). Perspektif vertikal versus horizontal ini juga dapat
dipakai untuk membedakan antara konsep pembagian kekuasaan (division of
power) yang dianut di Indonesia sebelum perubahan UUD 1945, yaitu bahwa
kedaulatan atau kekuasaan tertinggi dianggap berada di tangan rakyat dan
dijelmakan dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai lembaga tertinggi
negara. Sistem yang dianut oleh UUD 1945 sebelum perubahan itu dapat dianggap
sebagai pembagian kekuasaan (division of power) dalam konteks
pengertian yang bersifat vertikal. Sedangkan sekarang, setelah Perubahan
Keempat, sistem yang dianut oleh UUD 1945 adalah sistim pemisahan kekuasaan (separation
of power) berdasarkan prinsip checks and balances.
Untuk membatasi pengertian separation
of powers itu, dalam bukunya Constitutional Theory,14 G. Marshall membedakan
ciri-ciri doktrin pemisahan kekuasaan (separation of powers) itu
ke dalam 5 (lima) aspek,
yaitu:
1)
differentiation;
2)
legal
incompatibility of office holding;
3)
isolation, immunity,
independence;
4)
checks and
balances;
5)
co-ordinate
status and lack of accountability.
Pertama, doktrin pemisahan kekuasaan (separation of
powers) itu bersifat membedakan fungsi-fungsi kekuasaan legislatif,
eksekutif, dan yudisial. Legislator membuat aturan, eksekutor
melaksanakannya, sedangkan pengadilan menilai konflik atau perselisihan yang
terjadi dalam pelaksanaan aturan itu dan menerapkan norma aturan itu untuk
menyelesaikan konflik atau perselisihan. Kedua, doktrin pemisahan
kekuasaan menghendaki orang yang menduduki jabatan di lembaga legislatif tidak
boleh merangkap pada jabatan di luar cabang legislatif. Meskipun
demikian, dalam praktik sistem pemerintahan parlemen, hal ini tidak diterapkan
secara konsisten. Para menteri pemerintahan kabinet di Inggris justru
dipersyaratkan harus berasal dari mereka yang duduk sebagai anggota parlemen. Ketiga,
doktrin pemisahan kekuasaan juga menentukan bahwa masing-masing organ tidak
boleh turut campur atau melakukan intervensi terhadap kegiatan organ yang lain.
Dengan demikian, independensi masingmasing cabang kekuasaan dapat
terjamin dengan sebaikbaiknya. Keempat, dalam doktrin pemisahan
kekuasaan itu, yang juga dianggap paling penting adalah adanya prinsip checks
and balances, di mana setiap cabang mengendalikan dan mengimbangi
kekuatan cabang-cabang kekuasaan yang lain. Dengan adanya perimbangan
yang saling mengendalikan tersebut, diharapkan tidak terjadi penyalahgunaan
kekuasaan di masing-masing organ yang bersifat independen itu. Kemudian yang
terakhir, kelima, adalah prinsip koordinasi dan kesederajatan, yaitu
semua organ atau lembaga (tinggi) negara yang menjalankan fungsi legislatif,
eksekutif, dan yudisial mempunyai kedudukan yang sederajat dan mempunyai
hubungan yang bersifat co-ordinatif, tidak bersifat sub-ordinatif satu
dengan yang lain.
Sekarang setelah UUD 1945
mengalami empat kali perubahan, dapat dikatakan bahwa sistim konstitusi kita
telah menganut doktrin pemisahan kekuasaan itu secara nyata. Beberapa bukti
mengenai hal ini antara lain adalah:
5)
Adanya pergeseran
kekuasaan legislatif dari tangan Presiden ke DPR. Bandingkan saja antara
ketentuan Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 sebelum perubahan dengan Pasal 5 ayat (1)
dan Pasal 20 ayat (1) UUD 1945 setelah perubahan. Kekuasaan untuk membentuk
undang-undang yang sebelumnya berada di tangan Presiden, sekarang beralih ke
Dewan Perwakilan Rakyat;
6)
Diadopsikannya
sistim pengujian konstitusional atas undang-undang sebagai produk legislatif
oleh Mahkamah Konstitusi.19 Sebelumnya tidak dikenal adanya mekanisme semacam
itu, karena pada pokoknya undang-undang tidak dapat diganggu gugat di mana
hakim dianggap hanya dapat menerapkan undangundang dan tidak boleh menilai
undang-undang;
7)
Diakuinya bahwa
lembaga pelaku kedaulatan rakyat itu tidak hanya terbatas pada MPR, melainkan
semua lembaga negara baik secara langsung atau tidak langsung merupakan
penjelmaan kedaulatan rakyat. Presiden, anggota DPR, dan DPD sama-sama dipilih
secara langsung oleh rakyat dan karena itu sama-sama merupakan pelaksana
langsung prinsip kedaulatan rakyat;
8)
Dengan demikian,
MPR juga tidak lagi berstatus sebagai lembaga tertinggi negara, melainkan
merupakan lembaga (tinggi) negara yang sama derajatnya dengan lembaga-lembaga
(tinggi) negara lainnya, seperti Presiden, DPR, DPD, MK, dan MA;
9)
Hubungan-hubungan
antar lembaga (tinggi) negara itu bersifat saling mengendalikan satu sama lain
sesuai dengan prinsip checks and balances.
Desentralisasi dan Dekonsentrasi
Di samping terkait dengan
persoalan pemisahan kekuasaan (separation of power) dan pembagian
kekuasaan (division of power), pembatasan kekuasaan juga dikaitkan
dengan desentralisasi dan dekonsentrasi kekuasaan. Menurut Hoogerwarf,
desentralisasi merupakan pengakuan atau penyerahan wewenang oleh badanbadan
publik yang lebih tinggi kepada badan-badan Jika dikelompokkan, desentralisasi
itu dapat dibedakan ke dalam 2 (dua) kelompok besar, yaitu (i) dekonsentrasi
yang merupakan ambtelijke decentralisatie atau desentralisasi
administratif, dan (ii) desentralisasi politik atau staatskundige decentralisatie.
Dalam hubungannya dengan bidang kajian hukum administrasi negara dan hukum tata
negara, desentralisasi administrati itu dapat kita namakan sebagai
desentralisasi ketatausahanegaraan, sedangkan staatskundige decentralisatie
merupakan desentralisasi ketatanegaraan.
Dalam ambtelijke
decentralisatie, terjadi pelimpahan kekuasaan dari alat perlengkapan negara
tingkat atas kepada alat perlengkapan negara tingkat bawahannya guna
melancarkan pelaksanaan tugas pemerintahan. Sedangkan, dalam staatskundige
decentralisatie terjadi pelim pahan kekuasaan di bidang perundang-undangan
dan di bidang pemerintahan (regelende en besturende bevoegheiden) kepada
unit-unit pemerintahan daerah otonom. Namun, secara umum, pengertian
desentralisasi itu sendiri biasanya dibedakan dalam 3 (tiga) pengertian, yaitu:
1)
Desentralisasi
dalam arti dekonsentrasi;
2)
Desentralisasi
dalam arti pendelegasian kewenangan;
3)
Desentralisasi
dalam arti devolusi atau penyerahan fungsi dan kewenangan;
Desentralisasi dalam pengertian
dekonsentrasi merupakan pelimpahan beban tugas atau beban kerja dari pemerintah
pusat kepada wakil pemerintah pusat di daerah tanpa diikuti oleh pelimpahan
kewenangan untuk mengambil keputusan. Sebaliknya, desentralisasi dalam arti
pendelegasian kewenangan (transfer of authority) berisi penyerahan
kekuasaan untuk mengambil keputusan dari pemerintah pusat kepada pemerintah
daerah atau unit organisasi pemerintahan daerah yang berada di luar jangkauan
kendali pemerintah pusat. Sementara itu, desentralisasi dalam arti devolusi
merupakan penyerahan fungsi pemerintahan dan kewenangan pusat kepada
pemerintahan daerah. Dengan penyerahan itu, pemerintah daerah menjadi otonom
dan tanpa dikontrol oleh pemerintah pusat yang telah menyerahkan hal itu kepada
daerah.
Pada hakikatnya, desentralisasi itu sendiri dapat
dibedakan
dari segi karakteristiknya, yaitu:
1)
Desentralisasi
teritorial (territorial decentralization), yaitu penyerahan urusan
pemerintahan atau pelimpahan wewenang untuk menyelenggarakan suatu
2)
urusan pemerintahan
dari pemerintah yang lebih tinggi kepada unit organisasi pemerintah yang lebih rendah
berdasarkan aspek kewilayahan; Desentralisasi fungsional (functional
decentralization), yaitu penyerahan urusan-urusan pemerintahan atau
pelimpahan wewenang untuk menyelenggarakan suatu urusan pemerintahan dari
pemerintah yang lebih tinggi kepada unit-unit pemerintah yang lebih rendah
berdasarkan aspek tujuannya (seperti Subak di Bali);
3)
Desentralisasi
politik (political decentralization), yaitu pelimpahan wewenang yang
menimbulkan hak untuk mengurus diri kepentingan rumah tangga sendiri bagi badan-badan
politik di daerah-daerah yang dipilih oleh rakyat. Ini terkait juga dengan
4)
desentralisasi
teritorial;
5)
Desentralisasi
budaya (cultural decentralization), yaitu pemberian hak kepada
golongan-golongan tertentu untuk menyelenggarakan kegiatan kebudayaannya
6)
sendiri. Misalnya,
kegiatan pendidikan oleh kedutaan besar negara asing, otonomi nagari dalam menyelenggarakan
kegiatan kebudayaannya sendiri, dan sebagainya. Dalam hal ini sebenarnya tidak termasuk
urusan pemerintahan daerah;
10) Desentralisasi ekonomi (economic
decentralization), yaitu pelimpahan kewenangan dalam penyelenggaraan kegiatan
ekonomi;
11) Desentralisasi administratif (administrative
decentralization), yaitu pelimpahan sebagian kewenangan kepada alat-alat
atau unit pemerintahan sendiri di daerah.
Pengertiannya identik dengan
dekonsentrasi. Beberapa tujuan dan manfaatyang biasa dinisbatkan dengan
kebijakan desentralisasi dan dekonsentrasi itu, yaitu:
1)
Dari segi
hakikatnya, desentralisasi dapat mencegah terjadinya penumpukan (concentration
of power) dan pemusatan kekuasaan (centralised power) yang dapat
menimbulkan tirani;
2)
Dari sudut politik,
desentralisasi merupakan wahana untuk pendemokratisasian kegiatan pemerintahan;
3)
Dari segi teknis
organisatoris, desentrali-sasi dapat menciptakan pemerintahan yang lebih
efektif dan efisien;
4)
Dari segi sosial,
desentralisasi dapat membuka peluang partisipasi dari bawah yang lebih aktif
dan berkembangnya kaderisasi kepemimpinan yang bertanggung jawab karena proses
pengambilan keputusan tersebar di pusat-pusat kekuasaan di seluruh
7)
daerah;
5)
Dari sudut budaya,
desentralisasi diselenggarakan agar perhatian dapat sepenuhnya ditumpahkah kepada
kekhususan-kekhususan yang terdapat di daerah,
8)
sehingga keanekaragaman
budaya dapat terpelihara dan sekaligus didayagunakan sebagai modal yang
mendorong kemajuan pembangunan dalam
9)
bidang-bidang
lainnya;
6)
Dari sudut
kepentingan pembangunan ekonomi, karena
10) pemerintah daerah dianggap lebih banyak tahu dan
secara langsung berhubungan dengan kepentingan di daerah, maka dengan kebijakan
desentralisasi, pembangunan ekonomi dapat terlaksana dengan lebih tepat dan
dengan biaya yang lebih murah.
Kegiatan desentralisasi menurut
Cohen dan Peterson dapat dikaitkan dengan sistem klasifikasi. Desentralisasi
dapat dilihat sebagai konsep dan sebagai alat untuk pembangunan yang berkembang
sangat dinamis dalam teori dan praktik. Oleh karena itu, desentralisasi juga
dapat dipahami secara lebih luas melalui berbagai pendekatan. Pertama,
dari segi historis, konsep dan corak desentralisasi itu sendiri terus
berkembang dari waktu ke waktu, sehingga oleh sebab itu, pengertian dan
pemahaman baku tentang desentralisasi juga terus berkembang. Kedua, konsep
desentralisasi juga biasa dibedakan dari segi desentralisasi teritorial versus
desentralisasi fungsional. Ketiga, desentralisasi juga dapat dilihat
dari pendekatan produksi, yaitu fungsi produksi dan penetapan barang dan jasa,
serta pengiriman barang dan jasa. Namun, keempat, menurut Berkeley,
desentralisasi itu dapat dibedakan dalam 8 (delapan) bentuk. Kedelapan bentuk
desentralisasi itu adalah: (i) devolusi, (ii) devolusi fungsional, (iii)
organisasi permasalahan, (iv) dekonsentrasi prefectoral, (v) dekonsentrasi
ministerial, (vi) delegasi kepada unit-unit otonom, (vii) kedermawanan, (viii)
marketisasi. Di samping itu, kelima, desentralisasi juga dipandang tidak
hanya sekedar memindahkan tanggung jawab, kekuasaan personil, dan resources.
Lebih dari itu, dengan desentralisasi, unit-unit pemerintahan di daerah (i)
dibentuk oleh badan perwakilan rakyat sehingga menjadi legal unit tersendiri
di depan pengadilan, (ii) berada dalam wilayah tertentu dengan unsur masyarakatnya
didukung oleh kebersamaan dan kesadaran akan adanya unit pemerintahan dimak
sud, (iii) diurus atau dipimpin oleh pejabat yang dipilih di tingkat lokal,
(iv) berwenang membuat kebijakan dan peraturan daerah, (v) berwenang memungut
pajak, (vi) memiliki kewenangan mengelola anggaran sendiri, penggajian, dan
sistem keamanan. Keenam, dari segi tujuannya, desentralisasi dapa pula
dibedakan untuk tujuan politik, tujuan perhubungan, tujuan pasar, dan tujuan
administratif. Sedangkan dari segi sifatnya, desentralisasi yang bertujuan
administratif tersebut dapat dibedakan lagi dalam tiga jenis, yaitu (i)
dekonsentrasi, (ii) devolusi, dan (iii) delegasi.
B. CABANG KEKUATAN LEGISLATIF
1. Fungsi Pengaturan (Legislasi)
Cabang kekuasaan legislatif
adalah cabang kekuasaan yang pertama-tama mencerminkan kedaulatan rakyat.
Kegiatan bernegara, pertama-tama adalah untuk mengatur kehidupan bersama. Oleh
sebab itu, kewenangan untuk menetapkan peraturan itu pertama-tama harus
diberikan kepada lembaga perwakilan rakyat atau parlemen atau lembaga legislatif.
Ada tiga hal penting yang harus diatur oleh para wakil rakyat melalui parlemen,
yaitu (i) pengaturan yang dapat mengurangi hak dan kebebasan warga negara, (ii)
pengaturan yang dapat membebani harta kekayaan warga negara, dan (iii) pengatura
mengenai pengeluaran-pengeluaran oleh penyelenggara negara. Pengaturan mengenai
ketiga hal tersebut hanya dapat dilakukan atas persetujuan dari warga negara
sendiri, yaitu melalui perantaraan wakil-wakil mereka di parlemen sebagai
lembaga perwakilan rakyat. Oleh karena itu, yang biasa disebut sebagai fungsi pertama
lembaga perwakilan rakyat adalah fungsi legislasi atau pengaturan. Fungsi
pengaturan (regelende functie) ini berkenaan dengan kewenangan untuk
menentukan peraturan yang mengikat warga negara dengan norma-norma hukum yang
mengikat dan membatasi.
Sehingga, kewenangan ini
utamanya hanya dapat dilakukan sepanjang rakyat sendiri menyetujui untuk diikat
dengan norma hukum dimaksud. Sebab, cabang kekuasaan yang dianggap berhak
mengatur pada dasarnya adalah lembaga perwakilan rakyat, maka peraturan yang paling
tinggi di bawah undang-undang dasar haruslah dibuat dan ditetapkan oleh
parlemen dengan persetujuan bersama dengan eksekutif Selain itu, fungsi legislatif
juga menyangkut empa bentuk kegiatan sebagai berikut:
1)
Prakarsa pembuatan
undang-undang (legislative initiation);
2)
Pembahasan
rancangan undang-undang (law making process);
3)
Persetujuan atas
pengesahan rancangan undang-undang (law enactment approval);
4)
Pemberian persetujuan
pengikatan atau ratifikasi atas perjanjian atau persetujuan internasional dan dokumen-dokumen
hukum yang mengikat lainnya (Binding decision making on international
agreement and treaties or other legal binding documents).
Fungsi Pengawasan (Control)
Seperti dikemukakan di atas,
pengaturan yang dapat mengurangi hak dan kebebasan warga negara, pengaturan
yang dapat membebani harta kekayaan warga negara, dan pengaturan-pengaturan mengenai
pengeluaran-pengeluaran oleh penyelenggara negara, perlu dikontrol dengan sebaik-baiknya
oleh rakyat sendiri.
Jika pengaturan mengenai ketiga
hal itu tidak dikontrol sendiri oleh rakyat melalui wakil-wakilnya di parlemen,
maka kekuasaan di tangan pemerintah dapat terjerumus ke dalam kecenderungan
alamiahnya sendiri untuk menjadi sewenang-wenang. Oleh karena itu, lembaga perwakilan rakyat diberikan
kewenangan untuk melakukan kontrol dalam tiga hal itu, yaitu (i) kontrol atas
pemerintahan (control of executive), (ii) kontrol atas pengeluaran (control
of expenditure), dan (iii) kontrol atas pemungutan pajak (control of
taxation). Bahkan, secara teoritis, jika dirinci, fungsi-fungsi kontrol
atau pengawasan oleh parlemen sebagai lembaga perwakilan rakyat dapat pula
dibedakan sebagai berikut:
a.
Pengawasan terhadap
penentuan kebijakan (controof policy making);
b.
Pengawasan terhadap
pelaksanaan kebijakan (control of policy executing);
c.
Pengawasan terhadap
penganggaran dan belanja negara (control of budgeting);
d.
Pengawasan terhadap
pelaksanaan anggaran dan belanj negara (control of budget implementation);
e.
Pengawasan terhadap
kinerja pemerintahan (control of government performances);
f.
Pengawasan terhadap
pengangkatan pejabat publik (control of political appointment of public
officials) dalam bentuk persetujuan atau penolakan, atau pun dalam bentuk
pemberian pertimbangan oleh DPR.
3. Fungsi Perwakilan (Representasi)
Fungsi parlemen sebagai lembaga
perwakilan rakyat yang paling pokok sebenarnya adalah fungsi representasi atau
perwakilan itu sendiri. Lembaga perwakilan tanpa representasi tentulah tidak
bermakna sama sekali. Dalam hubungan itu, penting dibedakan antara pengertian representation
in presence dan representation in ideas. Pengertian pertama bersifat
formal, yaitu keterwakilan yang dipandang dari segi kehadiran fisik. Sedangkan,
pengertian keterwakilan yang kedua bersifat substantif, yaitu perwakilan atas
dasar aspirasi atau idea. Dalam pengertian yang formal, keterwakilan itu sudah dianggap
ada apabila secara fisik dan resmi, wakil rakyat yang terpilih sudah duduk di
lembaga perwakilan rakyat.
Untuk menjamin keterwakilan
substantif itu, prinsip perwakilan dianggap tidak cukup hanya apabila sesuatu pendapat
rakyat sudah disampaikan secara resmi ke lembaga perwakilan rakyat. Untuk
menjamin hal itu, masih diperlukan kemerdekaan pers, kebebasan untuk berdemo
atau berunjuk rasa, dan bahkan hak mogok bagi buruh, dan sebagainya, sehingga
keterwakilan formal di parlemen itu dapat dilengkapi secara substantif. Denga demikian,
perwakilan formal memang dapat dianggap penting, tetapi tetap tidak mencukupi (it’s
necessary, but not sufficient) untuk menjamin keterwakilan rakyat secara sejati
dalam sistem demokrasi perwakilan yang dikembangkan dalam praktik.
Dalam rangka pelembagaan fungsi
representasi itu, dikenal pula adanya tiga sistem perwakilan yang dipraktikkan di
berbagai negara demokrasi. Ketiga fungsi itu adalah:
1) Sistem perwakilan politik (political
representation);
2) Sistem perwakilan teritorial (territorial atau
regional representation);
3) Sistem perwakilan fungsional (functional representation).
Dari uraian di atas, dapat
diringkaskan bahwa fungsi parlemen atau lembaga perwakilan rakyat itu pada pokoknya
ada tiga, yaitu:
1) Fungsi Representasi (Perwakilan):
b)
Representasi
formal; dan
c)
Representasi
aspirasi.
2) Fungsi Pengawasan (Control):
a)
Pengawasan atas
penentuan kebijakan (control ofpolicy making);
b)
Pengawasan atas
pelaksanaan kebijakan (control of policy executing);
c)
Pengawasan atas
penganggaran dan belanja negara (control of budgeting);
d)
Pengawasan atas pelaksanaan
anggaran dan belanja negara (control of budget implementation);
e)
Pengawasan atas
kinerja pemerintahan (control of government performances);
f)
Pengawasan terhadap
pengangkatan pejabat publik (control of political appointment of public officials)
dalam bentuk persetujuan atau penolakan, atau pun dalam bentuk pemberian
pertimbangan oleh DPR.
3) Fungsi Pengaturan atau Legislasi menyangkut 4
(empat) bentuk kegiatan, yaitu:
a)
Prakarsa pembuatan
undang-undang (legislative initiation);
b)
Pembahasan
rancangan undang-undang (law making process);
c)
Persetujuan atas pengesahan
rancangan undangundang (law enactment approval);
d)
Pemberian persetujuan
pengikatan atau ratifikasi atas perjanjian atau persetujuan internasional dan
dokumen-dokumen hukum yang mengikat lainnya (Binding decision making on
international agreement and treaties or other legal binding documents).
CABANG KEKUASAAN YUDISIAL
1. Kedudukan Kekuasaan Kehakiman
Kekuasaan kehakiman merupakan
pilar ketiga dalam sistim kekuasaan negara modern. Dalam bahasa Indonesia, fungsi
kekuasaan yang ketiga ini seringkali disebut cabang kekuasaan “yudikatif”, dari
istilah Belanda judicatief. Dalam bahasa Inggris, di samping istilah legislative,
executive, tidak dikenal istilah judicative, sehingga untuk
pengertian yang sama biasanya dipakai istilah judicial, judiciary,
ataupun judicature.
Lembaga peradilan tumbuh dalam
sejarah umat manusia dimulai dari bentuk dan sistimnya yang sederhana. Lama-lama
bentuk dan sistim peradilan berkembang menjadi semakin kompleks dan modern.
Oleh karena itu, seperti dikemukakan oleh Djokosoetono, ada empat tahap dan
sekaligus empat macam rechtspraak yang dikenal dalam sejarah, yaitu:
a.
Rechtspraak
naar ongeschreven recht (hukum adat), yaitu
pengadilan yang didasarkan atas ketentuan hukum yang tidak tertulis, seperti
pengadilan adat;
b.
Rechtspraak
naar precedenten, yaitu pengadilan yang
didasarkan atas prinsip presedent atau putusanputusan hakim yang terdahulu,
seperti yang dipraktikkan di Inggris;
c.
Rechtspraak
naar rechtsboeken, yaitu pengadilan yang
didasarkan atas kitab-kitab hukum, seperti dalam praktik dengan pengadilan
agama (Islam) yang menggunakan kompendium atau kitab-kitab ulama ahlussunnah
wal-jama’ah atau kitab-kitab ulama syi’ah; dan
d.
Rechtspraak
naar wetboeken, yaitu pengadilan
yang didasarkan atas ketentuan
undang-undang atau pun kitab undang-undang. Pengadilan demikian ini merupakan
penjelmaan dari paham hukum positif atau moderne wetgeving yang
mengutamakan peraturan perundang-undangan yang bersifat tertulis (schreven
wetgeving).
Dalam sistim peradilan di
Indonesia dewasa ini, terdapat 4 (empat) lingkungan peradilan, yang
masingmasing mempunyai lembaga lembaga pengadilan tingkat pertama dan pengadilan
tingkat banding. Pada tingkat kasasi, semuanya berpuncak pada Mahkamah Agung
(MA) Pengadilan tingkat pertama dan kedua dalam keempat lingkungan peradilan
tersebut adalah:
1)
Pengadilan Negeri (PN)
dan Pengadilan Tinggi (PT) dalam lingkungan peradilan umum;
2)
Pengadilan Agama (PA)
dan Pengadilan Tinggi Agama (PTA) dalam lingkungan peradilan agama;
3)
Pengadilan Tata Usaha
Negara (PTUN) dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara dalam lingkungan
peradilan tata usaha negara dan
4)
Pengadilan Militer
(PM) dan Pengadilan Tinggi Militer dalam lingkungan peradilan militer.
Di samping itu, dewasa ini,
dikenal pula beberapa pengadilan khusus, baik yang bersifat tetap ataupun Ad Hoc,
diantaranya yaitu:
1)
Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM)
2)
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
3)
Pengadilan Niaga;
4)
Pengadilan Perikanan
5)
Pengadilan Anak
6)
Pengadilan Hubungan Kerja Industrial
7)
Pengadilan Pajak
8)
Mahkamah Syar’iyah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam;
9)
Pengadilan Adat di Papua
Beberapa Prinsip Pokok Kehakiman
Secara umum dapat dikemukakan
ada 2 (dua) prinsip yang biasa dipandang sangat pokok dalam sistim peradilan, yaitu
(i) the principle of judicial independence, dan (ii) the principle of
judicial impartiality. Kedua prinsip ini diakui sebagai prasyarat pokok
sistem di semu negara yang disebut hukum modern atau modern constitutional state.
Prinsip independensi itu
sendiri antara lain harus diwujudkan dalam sikap para hakim dalam memeriksa dan
memutus perkara yang dihadapinya. Di samping itu, independensi juga tercermin
dalam berbagai pengaturan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan pengangkatan, masa
kerja, pengembangan karir, sistim penggajian, dan pemberhentian para hakim. Sementara
itu, prinsip kedua yang sangat penting adalah prinsip ketidakberpihakan (the
principle of impartiality). Bahkan oleh O. Hood Phillips dan kawankawan mengatakan,
“The impartiality of the judiciary is recognized as an important, if not the
most important element, in the administration of justice”. Dalam praktik,
ketidakberpihakan atau impartiality itu sendiri mengandung makna
dibutuhkannya hakim yang tidak saja bekerja secara imparsial (to be
impartial), tetapi juga terlihat bekerja secara imparsial (to appear to
be impartial). Dalam The Bangalore Principles itu, tercantum adanya
6 (enam) prinsip penting yang harus dijadikan pegangan bagi para hakim di
dunia, yaitu prinsip-prinsip independence, impartiality, integrity,
propriety, equality, dan competence and diligence. 1) Independensi (Independence
Principle) Independensi hakim merupakan jaminan bagi tegaknya hukum dan
keadilan, dan prasyarat bagi terwujudnya cita-cita negara hukum. Independensi
melekat sangat dalam dan harus tercermin dalam proses pemeriksaan dan
pengambilan keputusan atas setiap perkara, dan terkait erat dengan independensi
pengadilan sebagai institusi yang berwibawa, bermartabat dan terpercaya.
Independensi hakim dan
pengadilan terwujud dalam kemandirian dan kemerdekaan hakim, baik sendiri-sendiri
maupun sebagai institusi, dari pelbagai pengaruh yang berasal dari luar diri
hakim berupa intervensi yang bersifat mempengaruhi dengan halus, dengan
tekanan, paksaan, kekerasan, atau balasan karena kepentingan politik atau
ekonomi tertentu dari pemerintah atau kekuatan politik yang berkuasa, kelompok
atau golongan, dengan ancaman penderitaan atau kerugian tertentu, atau dengan
imbalan atau janji imbalan berupa keuntungan jabatan, keuntungan ekonomi, atau
bentuk lainnya.
2) Ketidakberpihakan (Impartiality Principle)
Ketidakberpihakan merupakan prinsip yang melekat dalam hakikat fungsi hakim
sebagai pihak yang diharap kan memberikan pemecahan terhadap setiap perkara yang
diajukan kepadanya. Ketidakberpihakan mencakup sikap netral, menjaga jarak yang
sama dengan semua pihak yang terkait dengan perkara, dan tidak mengutamakan salah
satu pihak mana pun, disertai penghayatan yang mendalam mengenai keseimbangan
antar kepentingan yang terkait dengan perkara. Prinsip ketidakberpihakan senantiasa
melekat dan harus tercermin dalam setiap tahapan proses pemeriksaan perkara
sampai kepada tahap pengambilan keputusan, sehingga putusan pengadilan dapat
benar-benar diterima sebagai solusi hukum yang adil bagi semua pihak yang berperkara
dan oleh masyarakat luas pada umumnya. 3) Integritas (Integrity Principle)
Integritas hakim merupakan sikap batin yang mencerminkan keutuhan dan
keseimbangan kepribadian setiap hakim sebagai pribadi dan sebagai pejabat
negara dalam menjalankan tugas jabatannya. Keutuhan kepribadian mencakup sikap
jujur, setia, dan tulus dalam menjalankan tugas profesionalnya, disertai
ketangguhan batin untuk menepis dan menolak segala bujuk-rayu, godaan jabatan,
kekayaan, popularitas, ataupun godaangodaan lainnya. Sedangkan, keseimbangan
kepribadian mencakup keseimbangan ruhaniah dan jasmaniah atau mental dan fisik,
serta keseimbangan antara kecerdasan spiritual, kecerdasan emosional, dan
kecerdasan intelektual dalam pelaksanaan tugasnya.
4) Kepantasan dan Kesopanan (Propriety
Principle)
Kepantasan dan kesopanan
merupakan norma kesusilaan pribadi dan kesusilaan antarpribadi yang tercermin
dalam perilaku setiap hakim, baik sebagai pribadi maupun sebagai pejabat negara
dalam menjalankan tugas profesionalnya, yang menimbulkan rasa hormat,
kewibawaan, dan kepercayaan. Kepantasan tercermin.
D. CABANG KEKUASAAN EKSEKUTIF
1. Sistim Pemerintahan
Cabang kekuasaan eksekutif
adalah cabang kekuasaan yang memegang kewenangan administrasi pemerintahan
negara yang tertinggi. Dalam hubungan ini, di dunia dikenal adanya 3 (tiga)
sistem pemerintahan negara, yaitu (i) sistem pemerintahan presidentil, (ii)
sistem pemerintahan parlementer atau sistim kabinet, dan (iii) sistem campuran.
Sistem pemerintahan itu dikatakan bersifat parlementer apabila (a) sistem
kepemimpinannya terbagi dalam jabatan kepala negara dan kepala pemerintahan
sebagai dua jabatan yang terpisah, dan (b) jika sistem pemerintahannya
ditentukan harus bertanggung jawab kepada parlemen, sehingga dengan demikian (c)
kabinet dapat dibubarkan apabila tidak mendapat dukungan parlemen, dan
sebaliknya (d) parlemen juga dapat dibubarkan oleh pemerintah, apabila dianggap
tidak dapat memberikan dukungan kepada pemerintah. Sistem pemerintahan itu
dikatakan bersifat presidentil apabila (a) kedudukan kepala negara tidak
terpisah dari jabatan kepala pemerintahan, (b) kepala negara tidak bertanggung
jawab kepada parlemen, melainkan langsung bertanggung jawab kepada rakyat yang
memilihnya, (c) Presiden sebaliknya juga tidak berwenang membubarkan parlemen,
(d) kabinet sepenuhnya bertanggung jawab kepada Presiden sebagai pemegang kekuasaan
pemerintahan negara atau sebagai administrator yang tertinggi. Dalam sistim
presidentil, tidak dibedakan apakah Presiden adalah kepala negara atau kepala
pemerintahan. Tetapi yang ada hanya Presiden dan Wakil Presiden saja dengan
segala hak dan kewajibannya atau tugas dan kewenangannya masing-masing. Sementara
itu, dalam sistem campuran, terdapat ciri-ciri presidentil dan ciri-ciri
parlementer secara bersamaan dalam sistem pemerintahan yang diterapkan. Sistem
campuran ini biasanya oleh para ahli disebut sesuai dengan kebiasaan yang
diterapkan oleh masingmasing negara. Misalnya, sistem yang dipraktikkan di Perancis
biasa dikenal oleh para sarjana dengan sebutan hybrid system. Kedudukan
sebagai kepala negara dipegang oleh Presiden yang dipilih langsung oleh rakyat,
tetapi juga ada kepala pemerintahan yang dipimpin oleh seorang Perdana Menteri
yang didukung oleh parlemen seperti dalam sistem parlementer yang biasa. Oleh karena
itu, sistem Perancis ini dapat pula kita sebut sebagai sistim quasi-parlementer.
2. Kementerian Negara
Dalam sistem pemerintahan
kabinet atau parlementer, Menteri tunduk dan bertanggung jawab kepada parlemen.
Sedangkan dalam sistem presidentil, para menteri tunduk dan bertanggung jawab
kepada Presiden. Dalam sistem parlementer jelas sekali bahwa kedudukan menteri
adalah bersifat sentral. Perdana Menteri sebagai menteri utama, menteri
koordinator, atau menteri yang memimpin para menteri lainnya dalam kabinet
adalah kepala pemerintahan, yaitu yang memimpin pelaksanaan tugas-tugas
pemerintahan secara operasional seharihari. Kinerja pemerintahan sepenuhnya
berada di tangan para menteri yang dipimpin oleh seorang Perdana Menteri itu.
Dikarenakan sangat kuatnya kedudukan para menteri, parlemen pun dapat
dibubarkan oleh mereka. Sebaliknya, kabinet juga dapat dibubarkan oleh parlemen
apabila mendapat mosi tidak percaya dari parlemen. Demikianlah perimbangan
kekuatan di antara kabinet dan parlemen dalam sistem pemerintahan parlementer.
BAB III
HAK ASASI MANUSIA DAN
MASALAH
KEWARGANEGARAAN
A. Hak
Asasi Manusia
1. Selintas Sejarah HAM
Doktrin tentang Hak Asasi Manusia sekarang ini
sudah diterima secara universal sebagai a moral, political, legal
framework and as a guideline dalam membangun dunia yang lebih damai dan
bebas dari ketakutan dan penindasan serta perlakuan yang tidak adil. Oleh
karena itu, dalam paham negara hukum, jaminan perlindungan hak asasi manusia
dianggap sebagai ciri yang mutlak harus ada di setiap negara yang dapat disebut
rechtsstaat. Bahkan, dalam perkembanga selanjutnya, jaminan-jaminan hak
asasi manusia itu juga diharuskan tercantum dengan tegas dalam undangundang
dasar atau konstitusi tertulis negara demokrasi konstitusional (constitutional
democracy). Jaminan ketentuan tersebut dianggap sebagai materi terpenting
yang harus ada dalam konstitusi, di samping materi ketentuan lainnya, seperti
mengenai format kelembagaan dan pembagian kekuasaan negara serta mekanisme
hubungan antar lembaga negara. Setelah kedua covenant ini, berbagai
instrumen hukum internasional diadopsikan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk
melengkapinya lebih lanjut. Sampai sekarang, instrumen-instrumen PBB dimaksud
dapat kita susun secara berturut-turut sebagai berikut:
5)
Universal
Declaration of Human Rights, 1948;
6)
Convention on the
Prevention and Punishment of the Crime of Genocide, 1948;
7)
International
Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination, 1965 ;
8)
International
Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights, 1966;
9)
International
Covenant on Civil and Political Rights, 1966;
10) Convention on the Elimination of All Forms of
Discrimination against Women, 1979;
11) Convention against Torture and Other Cruel,
Inhuman, and Degrading Treatment or Punishment,1984 ;
12) Convention on the Rights of the Child, 1989.
HAM MENURUT
UUD 1945
Dengan disahkannya Perubahan
Kedua UUD 1945 pada tahun 2000, dan apabila materinya digabung dengan berbagai
ketentuan yang terdapat dalam undangundang yang berkenaan dengan hak asasi
manusia, maka keseluruhan norma hukum mengenai hak asasi manusia itu dapat kita
kelompokkan dalam empat kelompok yang berisi 37 butir ketentuan. Kelompok yang pertama
adalah kelompok ketentuan yang menyangkut hak-hak sipil yang meliputi:
1)
Setiap orang berhak
untuk hidup, mempertahankan hidup dan kehidupannya;
2)
Setiap orang berhak
untuk bebas dari penyiksaan, perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak
manusiawi, dan merendahkan martabat kemanusiaan;
3)
Setiap orang berhak
untuk bebas dari segala bentuk perbudakan;
4)
Setiap orang bebas
memeluk agama dan beribadat menurut agamanya;
5)
Setiap orang berhak
untuk bebas memiliki keyakinan, pikiran, dan hati nurani;
6)
Setiap orang berhak
untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum;
7)
Setiap orang berhak
atas perlakuan yang sama d hadapan hukum dan pemerintahan;
8)
Setiap orang berhak
untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut;
9)
Setiap orang berhak
untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah;
10) Setiap orang berhak atas status kewarganegaraan;
11) Setiap orang berhak untuk bertempat tinggal di wilayah
negaranya, meninggalkan, dan kembali ke negaranya;
12) Setiap orang berhak memperoleh suaka politik;
13) Setiap orang berhak bebas dari segala bentuk perlakuan
diskriminatif dan berhak mendapatkan perlindungan hukum dari perlakuan yang
bersifa diskriminatif tersebut. Kedua, kelompok hak-hak politik,
ekonomi, sosial dan budaya yang meliputi:
1)
Setiap warga negara
berhak untuk berserikat, berkumpul, dan menyatakan pendapatnya secara damai;
2)
Setiap warga negara
berhak untuk memilih dan dipilih dalam rangka lembaga perwakilan rakyat;
3)
Setiap warga negara
dapat diangkat untuk menduduki jabatan-jabatan publik;
4)
Setiap orang berhak
untuk memperoleh dan memilih pekerjaan yang sah dan layak bagi kemanusiaan;
5)
Setiap orang berhak
untuk bekerja, mendapat imbalan, dan mendapat perlakuan yang layak dalam hubungan
kerja yang berkeadilan;
6)
Setiap orang berhak
mempunyai hak milik pribadi;
7)
Setiap warga negara
berhak atas jaminan sosial yang dibutuhkan untuk hidup layak dan memungkinkan pengembangan
dirinya sebagai manusia yang bermartabat;
8)
Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan
memperoleh informasi; Setiap orang berhak untuk memperoleh dan memilih pendidikan
dan pengajaran;
9)
Setiap orang berhak mengembangkan dan
memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya untuk
peningkatan kualitas hidup dan kesejahteraan umat manusia;
10) Negara
menjamin penghormatan atas identitas budaya dan hak-hak masyarakat lokal
selaras dengan perkembangan zaman dan tingkat peradaban bangsabangsa;
11) Negara mengakui setiap budaya sebagai bagian dari
kebudayaan nasional;
12) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk
untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut kepercayaannya
itu.
Ketiga,
kelompok hak-hak khusus dan hak atas pembangunan yang meliputi:
1)
Setiap warga negara
yang menyandang masalah sosial, termasuk kelompok masyarakat yang terasing dan
yang hidup di lingkungan terpencil, berhak mendapat kemudahan dan perlakuan
khusus untuk memperoleh kesempatan yang sama;
2)
Hak perempuan
dijamin dan dilindungi untuk mendapat kesetaraan gender dalam kehidupan
nasional;
3)
Hak khusus yang
melekat pada diri perempuan yang dikarenakan oleh fungsi reproduksinya dijamin
dan dilindungi oleh hukum;
4)
Setiap anak berhak
atas kasih sayang, perhatian, dan perlindungan orangtua, keluarga, masyarakat,
dan negara bagi pertumbuhan fisik dan mental serta perkembangan pribadinya;
5)
Setiap warga negara
berhak untuk berperan-serta dalam pengelolaan dan turut menikmati manfaat yang
diperoleh dari pengelolaan kekayaan alam;
6)
Setiap orang berhak
atas lingkungan hidup yang bersih dan sehat;
7)
Kebijakan,
perlakuan, atau tindakan khusus yang bersifat sementara dan dituangkan dalam
peraturan perundang-undangan yang sah yang dimaksudkan untuk menyetarakan
tingkat perkembangan kelompok tertentu yang pernah mengalami perlakuan
diskriminatif dengan kelompok-kelompok lain dalam masyarakat, dan perlakuan
khusus tersebut tidak termasuk dalam pengertian diskriminasi.
Keempat, kelompok yang mengatur mengenai tanggung jawab
negara dan kewajiban asasi manusia yang meliputi:
1)
Setiap orang wajib
menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara;
2)
Dalam menjalankan
hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk pada pembatasan yang ditetapkan
oleh undang-undang dengan maksud sematamata untuk menjamin pengakuan dan
penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain serta untuk memenuhi tuntutan
keadilan sesuai dengan nilainilai agama, moralitas, kesusilaan, keamanan, dan ketertiban
umum dalam masyarakat yang demokratis;
3)
Negara bertanggung
jawab atas perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak-hak asasi
manusia;
4)
Untuk menjamin
pelaksanaan hak asasi manusia, dibentuk Komisi Nasional Hak Asasi Manusia yang
bersifat independen dan tidak memihak yang pembentukan, susunan, dan kedudukannya
diatur dengan undang-undang.
2. Aspirasi tentang Kewajiban Asasi Manusia
Aspirasi mengenai pentingnya
hak asasi manusia selama ini sebenarnya telah berkembang luas di luar paradigma
pemikiran “barat”. Seluruh negeri-negeri Muslim di dunia yang tercermin dalam
pandangan para pemimpinnya ataupun kaum intelektualnya, telah terus menerus
menyuarakan pandangan berbeda dari perspektif yang lazim mengutamakan
prinsip-prinsip Hak
Asasi Manusia (HAM) dan
mengabaikan pentingnya prinsip Kewajiban Asasi Manusia (KAM). Demikian pula di
Republik Rakyat Cina, dan di beberapa negara Amerika Selatan, pada umumnya,
prinsip-prinsip kewajibanlah yang lebih diidealkan di atas hak-hak.
Setidak-tidaknya yang diidealkan adalah hubungan yang seimbang antara hak-hak dan
kewajiban-kewajiban asasi manusia itu.
PARTAI POLITIK DAN PEMILIHAN UMUM
A. PARTAI POLITIK
1. Partai dan Pelembagaan Demokrasi
Partai politik mempunyai posisi
(status) danm peranan (role) yang sangat penting dalam setiap
sistem demokrasi. Partai memainkan peran penghubung yang sangat strategis antara
proses proses pemerintaha dengan warga negara. Bahkan, banyak yang berpendapa bahwa
partai politiklah yang sebetulnya menentukan demokrasi, seperti dikatakan oleh
Schattscheider (1942), “Political parties created democracy”. Oleh
karena itu, partai politik merupakan pilar yang sangat penting untuk diperkuat
derajat pelembagaannya (the degree of institutionalization) dalam setiap
sistem politik yang demokratis. Bahkan, oleh Schattscheider dikatakan pula, “Modern
democracy is unthinkable save in terms of the Parties.
Namun demikian, banyak juga
pandangan kritis dan bahkan skeptis terhadap partai politik. Pandangan yang
paling serius di antaranya menyatakan bahwa partai politik itu sebenarnya tidak
lebih daripada kendaraan politik bagi sekelompok elite yang berkuasa atau
berniat memuaskan “nafsu birahi” kekuasaannya sendiri. Partai politik hanyalah
berfungsi sebagai alatmbagi segelintir orang yang kebetulan beruntung yang
berhasil memenangkan suara rakyat yang mudah dikelabui,untuk memaksakan
berlakunya kebijakan-kebijakan Dalam suatu negara demokrasi, kedudukan dan
peranan setiap lembaga negara haruslah sama-sama kuat dan bersifat saling
mengendalikan dalam hubungan checks and balances. Akan tetapi, jika
lembaga-lembaga negara tersebut tidak berfungsi dengan baik, kinerjanya tidak
efektif, atau lemah wibawanya dalam menjalankan fungsinya masing-masing, maka
yang sering terjadi adalah partai-partai politik yang rakus atau ekstrimlah
yang merajalela menguasai dan mengendalikan segala proses-proses
penyelenggaraan fungsi-fungsi pemerintahan. Oleh karena itu, sistem kepartaian
yang baik sangat menentukan bekerjanya sistem ketatanegaraan berdasarkan
prinsip checks and balances dalam arti yang luas.
Sebaliknya, efektif bekerjanya
fungsi-fungsi kelembagaan negara itu sesuai prinsip checks and balances berdasarkan
konstitusi juga sangat menentukan kualitas sistem kepartaian dan mekanisme
demokrasi yang dikembangkan di suatu negara. Semua ini tentu berkaitan erat dengan
dinamika pertumbuhan tradisi dan kultur berpikir bebas dalam kehidupan
bermasyarakat. Tradisi berpikir atau kebebasan berpikir itu pada gilirannya
mempengaruhi tumbuh-berkembangnya prinsip-prinsip kemerdekaan berserikat dan
berkumpul dalam dinamika kehidupan masyarakat demokratis yang bersangkutan.
2. Fungsi Partai Politik
Pada umumnya, para ilmuwan
politik biasa menggambarkan adanya 4 (empat) fungsi partai politik. Keempat
fungsi partai politik itu menurut Miriam Budiardjo, meliputi sarana:146 (i) komunikasi
politik, (ii) sosialisasi politik (political socialization), (iii)
rekruitmen politik (political recruitment), dan (iv) pengatur konflik (conflict
management).
3 Kelemahan Partai Politik
Adanya organisasi itu, tentu
dapat dikatakan juga mengandung beberapa kelemahan. Di antaranya ialah bahwa
organisasi cenderung bersifat oligarkis. Organisasi dan termasuk juga
organisasi partai politik, kadangkadang bertindak dengan lantang untuk dan atas
nama kepentingan rakyat, tetapi dalam kenyataannya di lapangan justru berjuang
untuk kepentingan pengurusnya sendiri.
Tujuan Pemilihan Umum
Dari uraian di atas, dapat
dikatakan bahwa tujuan penyelenggaraan pemilihan umum itu ada 4 (empat),
yaitu:1
a)
untuk memungkinkan
terjadinya peralihan kepemimpinan pemerintahan secara tertib dan damai
b)
. untuk
memungkinkan terjadinya pergantian pejabat yang akan mewakili kepentingan
rakyat di lembaga perwakilan;
c)
untuk melaksanakan prinsip kedaulatan rakyat;
dan
d)
untuk melaksanakan
prinsip hak-hak asasi warga negara.
2. Pengadilan Sengketa Hasil Pemilu
Hasil pemilihan umum berupa
penetapan final hasil penghitungan suara yang diikuti oleh pembagian kursi yang
diperebutkan, yang diumumkan secara resmi oleh lembaga penyelenggara pemilihan
umum seringkali tidak memuaskan peserta pemilihan umum, yang tidak berhasil
tampil sebagai pemenang. Kadang-kadang terjadi perbedaan pendapat dalam hasil
perhitungan itu antara peserta pemilihan umum dan penyelenggara pemilihan umum,
baik karena kesengajaan maupun karena kelalaian, baik karena kesalahan teknis
atau kelemahan yang bersifat administratif dalam perhitungan ataupun disebabkan
oleh faktor human error. Jika perbedaan pendapat yang demikian itu
menyebabkan terjadinya kerugian bagi peserta pemilihan umum, maka peserta
pemilihan yang dirugikan itu dapat menempuh upaya hukum dengan mengajukan
permohonan perkara per selisihan hasil pemilihan umum ke Mahkamah Konstitusi.
Jenis perselisihan atau
sengketa mengenai hasil pemilihan umum ini tentu harus dibedakan dari sengketa
yang timbul dalam kegiatan kampanye, ataupun teknis pelaksanaan pemungutan
suara. Jenis perselisihan hasil pemilihan umum ini juga harus pula dibedakan
dari perkara-perkara pidana yang terkait dengan subjeksubjek hukum dalam
penyelenggaraan pemilihan umum. Siapa saja yang terbukti bersalah melanggar
hukum pidana, diancam dengan pidana dan harus dipertanggungjawabkan secara
pidana pula menurut ketentuan yang berlaku di bidang peradilan pidana.
Misalnya, A mencuri surat suara, maka hal itu tergolong pelanggaran hukum pidana
yang diadili menurut prosedur pidana.
Sedangkan B melanggar jadwal
kampanye yang menjadi hak calon lain, maka pelanggaran semacam ini harus
diselesaikan secara administratif oleh lembaga penyelenggara pemilihan umum
yang bertanggung jawab di bidang itu. Dengan ada mekanisme peradilan terhadap
sengketa hasil pemilihan umum ini, maka setiap perbedaan pendapat mengenai
hasil pemilihan umum tidak boleh dikembangkan menjadi sumber konflik politik
atau bahkan menjadi konflik sosial yang diselesaikan di jalanan. Penyelesaian
perbedaan mengenai hasil perhitungan suara pemilihan umum menyangkut
pertarungan kepentingan politik antar kelompok warga negara sudah seharusnya
diselesaikan melalui jalan hukum dan konstitusi. Dengan kewenangannya untuk
mengadili dan menyelesaikan perkara perselisihan hasil pemilu ini, dapat
dikatakan bahwa Mahkamah Konstitusi diberi tanggung jawab untuk menyediakan
jalan konstitusibagi para pihak yang bersengketa, yaitu antara pihak
penyelenggara pemilihan umum dan pihak peserta pemilihan umum.
0 comments:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !