Headlines News :

PROFIL

Ujang Murana Wiajya, 23 Juli 1990
Home » » Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II (BOOK REPORT)

Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II (BOOK REPORT)

Written By Unknown on Saturday, February 28, 2015 | 12:36 AM



BOOK REPORT

Judul              : Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II
Pengarang     : Prof. Dr. Jimy Asshiddqie, SH
Jumlah hal   : 190 halaman
Penerbit        : Sekertariat Jendrl dan Kepanitraan Mahkamah Kontitusi  RI      


BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Ada beberapa sebab yang mendorong saya menulis buku ini. Pertama, dunia pustaka kita di tanah air sangat miskin dengan buku-buku yang berisi informasi yang luas dan mendalam dengan perspektif yang bersifat alternatif. Saya berusaha menyajikan informasi dan hasil analisis kritis mengenai berbagai soal dalam bidang ilmu hukum tata negara sebagai alternatif pilihan terhadap semua buku dan karya yang sudah ada selama ini. Kadang-kadang buku-buku yang tersedia hanyalah buku yang berisi kumpulan peraturan perundang-undangan di bidang politik dan ketatanegaraan dengan tambahan komentar dan catatan yang serba sumir, tanpa kedalaman analisis dengan berbasis teori-teori yang telah berkembang pesat di lingkungan negara-negara maju. Oleh karena itu, buku dengan kedalaman pengertian tentang berbagai aspek ilmiah tentang hukum tata negara sungguh sangat banyak diperlukan.
Kedua, dari segi jumlahnya, buku-buku yang tersedia di perpustakaan dan di toko buku pun juga sangat terbatas. Oleh sebab itu, makin banyak buku tentulah diharapkan dapat semakin mendorong peningkatan pengkajian- pengkajian yang lebih intensif oleh para mahasiswa dan peminat masalah ketatanegaraan selanjutnya. Budaya baca di kalangan masyarakat kita sangatlah lemah, dan demikian pula budaya menulis juga sangat terbatas, apalagi untuk menjadi penulis buku-buku yang bermutu. Menjadi penulis yang baik saja pun sekarang ini belumlah dapat dijadikan andalan untuk hidup. Karena tidak ada orang yang mampu hidup hanya dengan mengandalkan kemampuan menulis.
Oleh karena itu, buku yang bermutu juga menjadi sangat kurang jumlahnya. Kata kuncinya tidak lain adalah bahwa konsumen dan konsumsi buku di masyarakat kita masih sangat tipis jumlahnya, sehingga tidak dapat menggerakkan roda industri buku untuk dapat tumbuh sehat. Untuk itu, sebagai seorang guru dalam pendidikan hukum yang kebetulan mendapat kepercayaan menjadi Ketua Mahkamah Konstitusi, di tengah kesibukan kerja sehari-hari, saya merasa bertanggung jawab secara moral untuk terus menulis buku untuk kepentingan mahasiswa dan masyarakat peminat lainnya. Ketiga, perkembangan ketatanegaraan Indonesia sendiri sesudah terjadinya reformasi nasional sejak tahun 1998 yang kemudian diikuti oleh terjadinya Perubahan UUD 1945 secara sangat mendasar sebanyak empat kali, yaitu pada tahun 1999, 2000, 2001, dan 2002, telah mengubah secara mendasar pula cetak biru (blueprint) ketatanegaraan Indonesia di masa yang akan datang. Oleh karena itu, diperlukan banyak buku baru yang dapat menggambarkan perspektif-perspektif baru itu, tidak saja di dunia teori, tetapi juga di bidang hukum positif yang sekarang berlaku.
Keempat, keadaan dunia dewasa ini juga telah mengalami perubahan yang sangat pesat dan mendasar, apabila dibandingkan dengan keadaan di masa-masa lalu pada abad ke-20. Kehidupan kenegaraan di seluruh dunia dewasa ini juga berubah dengan sangat fundamental sehingga teori-teori dan konsep-konsep hukum yang berlaku di masa lalu juga banyak yang menjadi tidak relevan lagi dengan kebutuhan zaman sekarang. Demikian pula halnya dengan bidang hukum tata negara, banyak sekali konsep-konsep baru yang muncul dan pengertian-pengertian lama yang sudah tidak cocok lagi untuk dijadikan pegangan ilmiah. Misalnya saja, teori mengenai susunan organisasi negara yang selama berabad-abad dipahami terdiri atas tiga kemungkinan bentuk, yaitu negara kesatuan (unitary state atau eenheidsstaat), negara serikat atau federal (bondstaat), dan negara konfederasi (confederation). Sekarang kita menyaksikan terbentuknya wadah Uni Eropa (European Union) di antara negara-negara Eropa Bersatu yang dari waktu ke waktu terus menguat derajat integrasinya menjadi suatu komunitas kenegaraan yang sama sekali tidak dapat dikategorikan sebagai salah satu dari ketiga bentuk susunan organisasi negara tersebut di atas. Oleh sebab itu, sangat banyak fenomena baru yang harus dipelajari dengan intensif oleh para mahasiswa hukum yang menaruh minat kepada teori-teori mutakhir tentang hukum tata negara pada umumnya.
Kelima, sebagai akibat dari gelombang globalisasi ekonomi dan kebudayaan umat manusia, meluas pula hubungan saling pengaruh mempengaruhi mengenai pola-pola kehidupan bernegara dan aspek-aspek ketatanegaraan di berbagai negara, sehingga hukum tata negara sebagai bidang ilmu pengetahuan juga tidak lagi terkungkung dalam ruang-ruang nasionalisme norma konstitusi masing-masing negara. Para mahasiswa hukum harus menangkap pula kecenderungan baru dimana hukum tata negara sebagai bidang hukum yang bersifat internal suatu negara mulai menyatu atau setidaknya saling pengaruh mempengaruhi dengan bidang kajian hukum internasional publik. Hukum tata negara meluas dari sempitnya orientasi selama ini yang hanya bersifa internal ke arah orientasi eksternal, sehingga ilmu hukum tata negara di samping harus dipelajari sebagai bidang ilmu hukum tata negara positif, juga harus dipelajari
sebagai bidang ilmu hukum tata negara umum.

BAB II
ORGAN DAN FUNGSI KEKUASAAN NEGARA

A.    PEBATASAN KEKUASAAN
1.      Fungsi-Fungsi Kekuasaan

Salah satu ciri negara hukum, yang dalam bahasa Inggris disebut the rule of law atau dalam bahasa Belanda dan Jerman disebut rechtsstaat, adalah adanya ciri pembatasan kekuasaan dalam penyelenggaraan kekuasaan negara. Pembatasan itu dilakukan dengan hukum yang kemudian menjadi ide dasar paham konstitusionalisme modern. Oleh karena itu, konsep negara hukum juga disebut sebagai negara konstitusional atau constitutional state, yaitu negara yang dibatasi oleh konstitusi. Dalam konteks yang sama, gagasan negara demokrasi atau kedaulatan rakyat disebut pula dengan istilah constitutional democracy yang dihubungkan dengan pengertian negara demokrasi yang berdasarkan atas hukum. Dalam empat ciri klasik negara hukum Eropa Kontinental yang biasa disebut rechtsstaat, terdapat elemen pembatasan kekuasaan sebagai salah satu ciri pokok negara hukum. Ide pembatasan kekuasaan itu dianggap mutlak harus ada, karena sebelumnya semua fungsi kekuasaan negara terpusat dan terkonsentrasi di tangan satu orang, yaitu di tangan Raja atau Ratu yang memimpin negara secara turun temurun. Bagaimana kekuasaan negara itu dikelola sepenuhnya tergantung kepada ke hendak pribadi sang raja atau ratu tersebut tanpa adanya kontrol yang jelas agar kekuasaan itu tidak menindas atau meniadakan hak-hak dan kebebasan rakyat.
Bahkan, ketika kekuasaan Raja itu berhimpit pula dengan paham teokrasi yang menggunakan prinsip kedaulatan Tuhan, maka doktrin kekuasaan para raja berkembang menjadi semakin absolut. Suara dan kehendak raja identik dengan suara dan kehendak Tuhan yang absolut dan tak terbantahkan. Dalam sejarah, kekuasaan Tuhan yang menyatu dalam kemutlakan kekuasaan Raja ini dapat ditemukan dalam semua peradaban umat manusia, mulai dari peradaban Mesir, peradaban Yunani dan Romawi kuno, peradaban Cina, India, serta pengalaman bangsa Eropa sendiri di sepanjang sejarah masa lalu hingga munculnya gerakan sekularisme yang memisahkan secara tegas antara kekuasaan negara dan kekuasaan gereja.
Menurut Montesquieu, dalam bukunya “L’Esprit des Lois” (1748), yang mengikuti jalan pikiran John Locke, membagi kekuasaan negara dalam tiga cabang, yaitu (i) kekuasaan legislatif sebagai pembuat undangundang, (ii) kekuasan eksekutif yang melaksanakan, dan (iii) kekuasaan untuk menghakimi atau yudikatif. Dari klasifikasi Montesquieu inilah dikenal pembagian kekuasaan negara modern dalam tiga fungsi, yaitu legislatif (the legislative function), eksekutif (the executive or administrative function), dan yudisial (the judicial function). Sebelumnya, John Locke juga membagi kekuasaan negara dalam 3 (tiga) fungsi, tetapi berbeda isinya. Menurut John Locke, fungsi-fungsi kekuasaan negara itu
meliputi:
1) Fungsi Legislatif;
2) Fungsi Eksekutif;
3) Fungsi Federatif.
Bagi John Locke, penjelmaan fungsi defencie baru timbul apabila fungsi diplomacie terbukti gagal. Oleh sebab itu, yang dianggap penting adalah fungsi federatif. Sedangkan, fungsi yudisial bagi Locke cukup dimasukkan ke dalam kategori fungsi legislatif, ya itu terkait dengan fungsi pelaksanaan hukum. Tetapi bagi Montesquieu, fungsi pertahanan (defence) dan hubungan luar negerilah (diplomasi) yang termasuk ke dalam fungsi eksekutif, sehingga tidak perlu disebut tersendiri. Justru dianggap penting oleh Montesquieu adalah fungsi yudisial atau fungsi kekuasaan kehakiman. Mirip dengan itu, sarjana Belanda, van Vollenhoven membagi fungsi kekuasaan juga dalam 4 (empat) fungsi, yang kemudian biasa disebut dengan “catur praja”, yaitu:
1)      Regeling (pengaturan) yang kurang lebih identik dengan fungsi legislatif menurut Montesquieu;
2)     Bestuur yang identik dengan fungsi pemerintahan eksekutif;
3)     Rechtspraak (peradilan); dan
4)     Politie yang menurutnya merupakan fungsi untuk menjaga ketertiban dalam masyarakat (social order) dan peri kehidupan bernegara.

2.     Pembagian dan Pemisahan Kekuasaan

Pembatasan kekuasaan (limitation of power) berkaitan erat dengan teori pemisahan kekuasaan (separation of power) dan teori pembagian kekuasaan (division of power atau distri bution of power). Pada umumnya, doktrin pemisahan kekuasaan (separation of power)5 atau pembagian kekuasaan dianggap berasal dari Montesquieu dengan trias politica-nya. Namun dalam perkembangannya, banyak versi yang biasa dipakai oleh para ahli berkaitan dengan peristilahan pemisahan dan pembagian kekuasaan ini. Sebenarnya, konsep awal mengenai hal ini dapat ditelusuri kembali dalam tulisan John Locke, “Second Treaties of Civil Government” (1690) yang berpendapat bahwa kekuasaan untuk menetapkan aturan hukum tidak boleh dipegang sendiri oleh mereka yang menerapkannya. Oleh sarjana hukum Perancis, Baron de Montesquieu (1689-1755), yang menulis berdasarkan hasil penelitiannya terhadap sistim konstitusi Inggris, pemikiran John Locke itu diteruskannya dengan mengembangkan konsep trias politica yang membagi kekuasaan negara dalam 3 (tiga) cabang kekuasaan, yaitu legislatif, eksekutif, dan yudikatif.6 Pandangan Montesquieu inilah yang kemudian dijadikan rujukan doktrin separation of power di zaman sesudahnya. Istilah “pemisahan kekuasaan” dalam bahasa Indonesia merupakan terjemahan perkataan separation of power berdasarkan teori trias politica atau tiga fungsi kekuasaan, yang dalam pandangan Montesquieu, harus dibedakan dan dipisahkan secara struktural dalam organ-organ yang tidak saling mencampuri urusan masing- masing. Kekuasaan legislatif hanya dilakukan oleh lembaga legislatif, kekuasaan eksekutif hanya dilakukan oleh lembaga eksekutif, dan demikian pula kekuasaan. Separation of power diartikan oleh O. Hood Phillips dan yang lainnya sebagai the distribution of the various powers of government among different organs. Dengan perkataan lain, kata separation of power diidentikkan dengan distribution of power.
Dengan demikian, dapat dibedakan penggunaan istilah pembagian dan pemisahan kekuasaan itu dalam dua konteks yang berbeda, yaitu konteks hubungan kekuasaan yang bersifat horizontal atau vertikal. Dalam konteks yang vertikal, pemisahan kekuasaan atau pembagian kekuasaan itu dimaksudkan untuk membedakan antara kekuasaan pemerintahan atasan dan kekuasaan pemerintahan bawahan, yaitu dalam hubungan antara pemerintahan federal dan negara bagian dalam negara federal (federal state), atau antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah provinsi dalam negara kesatuan (unitary state). Perspektif vertikal versus horizontal ini juga dapat dipakai untuk membedakan antara konsep pembagian kekuasaan (division of power) yang dianut di Indonesia sebelum perubahan UUD 1945, yaitu bahwa kedaulatan atau kekuasaan tertinggi dianggap berada di tangan rakyat dan dijelmakan dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai lembaga tertinggi negara. Sistem yang dianut oleh UUD 1945 sebelum perubahan itu dapat dianggap sebagai pembagian kekuasaan (division of power) dalam konteks pengertian yang bersifat vertikal. Sedangkan sekarang, setelah Perubahan Keempat, sistem yang dianut oleh UUD 1945 adalah sistim pemisahan kekuasaan (separation of power) berdasarkan prinsip checks and balances.
Untuk membatasi pengertian separation of powers itu, dalam bukunya Constitutional Theory,14 G. Marshall membedakan ciri-ciri doktrin pemisahan kekuasaan (separation of powers) itu ke dalam 5 (lima) aspek,
yaitu:
1)      differentiation;
2)     legal incompatibility of office holding;
3)     isolation, immunity, independence;
4)     checks and balances;
5)     co-ordinate status and lack of accountability.
Pertama, doktrin pemisahan kekuasaan (separation of powers) itu bersifat membedakan fungsi-fungsi kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudisial. Legislator membuat aturan, eksekutor melaksanakannya, sedangkan pengadilan menilai konflik atau perselisihan yang terjadi dalam pelaksanaan aturan itu dan menerapkan norma aturan itu untuk menyelesaikan konflik atau perselisihan. Kedua, doktrin pemisahan kekuasaan menghendaki orang yang menduduki jabatan di lembaga legislatif tidak boleh merangkap pada jabatan di luar cabang legislatif. Meskipun demikian, dalam praktik sistem pemerintahan parlemen, hal ini tidak diterapkan secara konsisten. Para menteri pemerintahan kabinet di Inggris justru dipersyaratkan harus berasal dari mereka yang duduk sebagai anggota parlemen. Ketiga, doktrin pemisahan kekuasaan juga menentukan bahwa masing-masing organ tidak boleh turut campur atau melakukan intervensi terhadap kegiatan organ yang lain. Dengan demikian, independensi masingmasing cabang kekuasaan dapat terjamin dengan sebaikbaiknya. Keempat, dalam doktrin pemisahan kekuasaan itu, yang juga dianggap paling penting adalah adanya prinsip checks and balances, di mana setiap cabang mengendalikan dan mengimbangi kekuatan cabang-cabang kekuasaan yang lain. Dengan adanya perimbangan yang saling mengendalikan tersebut, diharapkan tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan di masing-masing organ yang bersifat independen itu. Kemudian yang terakhir, kelima, adalah prinsip koordinasi dan kesederajatan, yaitu semua organ atau lembaga (tinggi) negara yang menjalankan fungsi legislatif, eksekutif, dan yudisial mempunyai kedudukan yang sederajat dan mempunyai hubungan yang bersifat co-ordinatif, tidak bersifat sub-ordinatif satu dengan yang lain.
Sekarang setelah UUD 1945 mengalami empat kali perubahan, dapat dikatakan bahwa sistim konstitusi kita telah menganut doktrin pemisahan kekuasaan itu secara nyata. Beberapa bukti mengenai hal ini antara lain adalah:
5)                 Adanya pergeseran kekuasaan legislatif dari tangan Presiden ke DPR. Bandingkan saja antara ketentuan Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 sebelum perubahan dengan Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1) UUD 1945 setelah perubahan. Kekuasaan untuk membentuk undang-undang yang sebelumnya berada di tangan Presiden, sekarang beralih ke Dewan Perwakilan  Rakyat;
6)                Diadopsikannya sistim pengujian konstitusional atas undang-undang sebagai produk legislatif oleh Mahkamah Konstitusi.19 Sebelumnya tidak dikenal adanya mekanisme semacam itu, karena pada pokoknya undang-undang tidak dapat diganggu gugat di mana hakim dianggap hanya dapat menerapkan undangundang dan tidak boleh menilai undang-undang;
7)                 Diakuinya bahwa lembaga pelaku kedaulatan rakyat itu tidak hanya terbatas pada MPR, melainkan semua lembaga negara baik secara langsung atau tidak langsung merupakan penjelmaan kedaulatan rakyat. Presiden, anggota DPR, dan DPD sama-sama dipilih secara langsung oleh rakyat dan karena itu sama-sama merupakan pelaksana langsung prinsip kedaulatan rakyat;
8)                Dengan demikian, MPR juga tidak lagi berstatus sebagai lembaga tertinggi negara, melainkan merupakan lembaga (tinggi) negara yang sama derajatnya dengan lembaga-lembaga (tinggi) negara lainnya, seperti Presiden, DPR, DPD, MK, dan MA;
9)                Hubungan-hubungan antar lembaga (tinggi) negara itu bersifat saling mengendalikan satu sama lain sesuai dengan prinsip checks and balances.

Desentralisasi dan Dekonsentrasi

Di samping terkait dengan persoalan pemisahan kekuasaan (separation of power) dan pembagian kekuasaan (division of power), pembatasan kekuasaan juga dikaitkan dengan desentralisasi dan dekonsentrasi kekuasaan. Menurut Hoogerwarf, desentralisasi merupakan pengakuan atau penyerahan wewenang oleh badanbadan publik yang lebih tinggi kepada badan-badan Jika dikelompokkan, desentralisasi itu dapat dibedakan ke dalam 2 (dua) kelompok besar, yaitu (i) dekonsentrasi yang merupakan ambtelijke decentralisatie atau desentralisasi administratif, dan (ii) desentralisasi politik atau staatskundige decentralisatie. Dalam hubungannya dengan bidang kajian hukum administrasi negara dan hukum tata negara, desentralisasi administrati itu dapat kita namakan sebagai desentralisasi ketatausahanegaraan, sedangkan staatskundige decentralisatie merupakan desentralisasi ketatanegaraan.
Dalam ambtelijke decentralisatie, terjadi pelimpahan kekuasaan dari alat perlengkapan negara tingkat atas kepada alat perlengkapan negara tingkat bawahannya guna melancarkan pelaksanaan tugas pemerintahan. Sedangkan, dalam staatskundige decentralisatie terjadi pelim pahan kekuasaan di bidang perundang-undangan dan di bidang pemerintahan (regelende en besturende bevoegheiden) kepada unit-unit pemerintahan daerah otonom. Namun, secara umum, pengertian desentralisasi itu sendiri biasanya dibedakan dalam 3 (tiga) pengertian, yaitu:
1)      Desentralisasi dalam arti dekonsentrasi;
2)     Desentralisasi dalam arti pendelegasian kewenangan;
3)     Desentralisasi dalam arti devolusi atau penyerahan fungsi dan kewenangan;
Desentralisasi dalam pengertian dekonsentrasi merupakan pelimpahan beban tugas atau beban kerja dari pemerintah pusat kepada wakil pemerintah pusat di daerah tanpa diikuti oleh pelimpahan kewenangan untuk mengambil keputusan. Sebaliknya, desentralisasi dalam arti pendelegasian kewenangan (transfer of authority) berisi penyerahan kekuasaan untuk mengambil keputusan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah atau unit organisasi pemerintahan daerah yang berada di luar jangkauan kendali pemerintah pusat. Sementara itu, desentralisasi dalam arti devolusi merupakan penyerahan fungsi pemerintahan dan kewenangan pusat kepada pemerintahan daerah. Dengan penyerahan itu, pemerintah daerah menjadi otonom dan tanpa dikontrol oleh pemerintah pusat yang telah menyerahkan hal itu kepada daerah.
Pada hakikatnya, desentralisasi itu sendiri dapat dibedakan
dari segi karakteristiknya, yaitu:
1)      Desentralisasi teritorial (territorial decentralization), yaitu penyerahan urusan pemerintahan atau pelimpahan wewenang untuk menyelenggarakan suatu
2)     urusan pemerintahan dari pemerintah yang lebih tinggi kepada unit organisasi pemerintah yang lebih rendah berdasarkan aspek kewilayahan; Desentralisasi fungsional (functional decentralization), yaitu penyerahan urusan-urusan pemerintahan atau pelimpahan wewenang untuk menyelenggarakan suatu urusan pemerintahan dari pemerintah yang lebih tinggi kepada unit-unit pemerintah yang lebih rendah berdasarkan aspek tujuannya (seperti Subak di Bali);
3)     Desentralisasi politik (political decentralization), yaitu pelimpahan wewenang yang menimbulkan hak untuk mengurus diri kepentingan rumah tangga sendiri bagi badan-badan politik di daerah-daerah yang dipilih oleh rakyat. Ini terkait juga dengan
4)     desentralisasi teritorial;
5)     Desentralisasi budaya (cultural decentralization), yaitu pemberian hak kepada golongan-golongan tertentu untuk menyelenggarakan kegiatan kebudayaannya
6)     sendiri. Misalnya, kegiatan pendidikan oleh kedutaan besar negara asing, otonomi nagari dalam menyelenggarakan kegiatan kebudayaannya sendiri, dan sebagainya. Dalam hal ini sebenarnya tidak termasuk urusan pemerintahan daerah;
10) Desentralisasi ekonomi (economic decentralization), yaitu pelimpahan kewenangan dalam penyelenggaraan kegiatan ekonomi;
11)  Desentralisasi administratif (administrative decentralization), yaitu pelimpahan sebagian kewenangan kepada alat-alat atau unit pemerintahan sendiri di daerah.
Pengertiannya identik dengan dekonsentrasi. Beberapa tujuan dan manfaatyang biasa dinisbatkan dengan kebijakan desentralisasi dan dekonsentrasi itu, yaitu:
1)      Dari segi hakikatnya, desentralisasi dapat mencegah terjadinya penumpukan (concentration of power) dan pemusatan kekuasaan (centralised power) yang dapat menimbulkan tirani;
2)     Dari sudut politik, desentralisasi merupakan wahana untuk pendemokratisasian kegiatan pemerintahan;
3)     Dari segi teknis organisatoris, desentrali-sasi dapat menciptakan pemerintahan yang lebih efektif dan efisien;
4)     Dari segi sosial, desentralisasi dapat membuka peluang partisipasi dari bawah yang lebih aktif dan berkembangnya kaderisasi kepemimpinan yang bertanggung jawab karena proses pengambilan keputusan tersebar di pusat-pusat kekuasaan di seluruh
7)     daerah;
5)     Dari sudut budaya, desentralisasi diselenggarakan agar perhatian dapat sepenuhnya ditumpahkah kepada kekhususan-kekhususan yang terdapat di daerah,
8)    sehingga keanekaragaman budaya dapat terpelihara dan sekaligus didayagunakan sebagai modal yang mendorong kemajuan pembangunan dalam
9)     bidang-bidang lainnya;
6)     Dari sudut kepentingan pembangunan ekonomi, karena
10) pemerintah daerah dianggap lebih banyak tahu dan secara langsung berhubungan dengan kepentingan di daerah, maka dengan kebijakan desentralisasi, pembangunan ekonomi dapat terlaksana dengan lebih tepat dan dengan biaya yang lebih murah.
Kegiatan desentralisasi menurut Cohen dan Peterson dapat dikaitkan dengan sistem klasifikasi. Desentralisasi dapat dilihat sebagai konsep dan sebagai alat untuk pembangunan yang berkembang sangat dinamis dalam teori dan praktik. Oleh karena itu, desentralisasi juga dapat dipahami secara lebih luas melalui berbagai pendekatan. Pertama, dari segi historis, konsep dan corak desentralisasi itu sendiri terus berkembang dari waktu ke waktu, sehingga oleh sebab itu, pengertian dan pemahaman baku tentang desentralisasi juga terus berkembang. Kedua, konsep desentralisasi juga biasa dibedakan dari segi desentralisasi teritorial versus desentralisasi fungsional. Ketiga, desentralisasi juga dapat dilihat dari pendekatan produksi, yaitu fungsi produksi dan penetapan barang dan jasa, serta pengiriman barang dan jasa. Namun, keempat, menurut Berkeley, desentralisasi itu dapat dibedakan dalam 8 (delapan) bentuk. Kedelapan bentuk desentralisasi itu adalah: (i) devolusi, (ii) devolusi fungsional, (iii) organisasi permasalahan, (iv) dekonsentrasi prefectoral, (v) dekonsentrasi ministerial, (vi) delegasi kepada unit-unit otonom, (vii) kedermawanan, (viii) marketisasi. Di samping itu, kelima, desentralisasi juga dipandang tidak hanya sekedar memindahkan tanggung jawab, kekuasaan personil, dan resources. Lebih dari itu, dengan desentralisasi, unit-unit pemerintahan di daerah (i) dibentuk oleh badan perwakilan rakyat sehingga menjadi legal unit tersendiri di depan pengadilan, (ii) berada dalam wilayah tertentu dengan unsur masyarakatnya didukung oleh kebersamaan dan kesadaran akan adanya unit pemerintahan dimak sud, (iii) diurus atau dipimpin oleh pejabat yang dipilih di tingkat lokal, (iv) berwenang membuat kebijakan dan peraturan daerah, (v) berwenang memungut pajak, (vi) memiliki kewenangan mengelola anggaran sendiri, penggajian, dan sistem keamanan. Keenam, dari segi tujuannya, desentralisasi dapa pula dibedakan untuk tujuan politik, tujuan perhubungan, tujuan pasar, dan tujuan administratif. Sedangkan dari segi sifatnya, desentralisasi yang bertujuan administratif tersebut dapat dibedakan lagi dalam tiga jenis, yaitu (i) dekonsentrasi, (ii) devolusi, dan (iii) delegasi.

B. CABANG KEKUATAN LEGISLATIF
1. Fungsi Pengaturan (Legislasi)
Cabang kekuasaan legislatif adalah cabang kekuasaan yang pertama-tama mencerminkan kedaulatan rakyat. Kegiatan bernegara, pertama-tama adalah untuk mengatur kehidupan bersama. Oleh sebab itu, kewenangan untuk menetapkan peraturan itu pertama-tama harus diberikan kepada lembaga perwakilan rakyat atau parlemen atau lembaga legislatif. Ada tiga hal penting yang harus diatur oleh para wakil rakyat melalui parlemen, yaitu (i) pengaturan yang dapat mengurangi hak dan kebebasan warga negara, (ii) pengaturan yang dapat membebani harta kekayaan warga negara, dan (iii) pengatura mengenai pengeluaran-pengeluaran oleh penyelenggara negara. Pengaturan mengenai ketiga hal tersebut hanya dapat dilakukan atas persetujuan dari warga negara sendiri, yaitu melalui perantaraan wakil-wakil mereka di parlemen sebagai lembaga perwakilan rakyat. Oleh karena itu, yang biasa disebut sebagai fungsi pertama lembaga perwakilan rakyat adalah fungsi legislasi atau pengaturan. Fungsi pengaturan (regelende functie) ini berkenaan dengan kewenangan untuk menentukan peraturan yang mengikat warga negara dengan norma-norma hukum yang mengikat dan membatasi.
Sehingga, kewenangan ini utamanya hanya dapat dilakukan sepanjang rakyat sendiri menyetujui untuk diikat dengan norma hukum dimaksud. Sebab, cabang kekuasaan yang dianggap berhak mengatur pada dasarnya adalah lembaga perwakilan rakyat, maka peraturan yang paling tinggi di bawah undang-undang dasar haruslah dibuat dan ditetapkan oleh parlemen dengan persetujuan bersama dengan eksekutif Selain itu, fungsi legislatif juga menyangkut empa bentuk kegiatan sebagai berikut:
1)      Prakarsa pembuatan undang-undang (legislative initiation);
2)     Pembahasan rancangan undang-undang (law making process);
3)     Persetujuan atas pengesahan rancangan undang-undang (law enactment approval);
4)     Pemberian persetujuan pengikatan atau ratifikasi atas perjanjian atau persetujuan internasional dan dokumen-dokumen hukum yang mengikat lainnya (Binding decision making on international agreement and treaties or other legal binding documents).

Fungsi Pengawasan (Control)
Seperti dikemukakan di atas, pengaturan yang dapat mengurangi hak dan kebebasan warga negara, pengaturan yang dapat membebani harta kekayaan warga negara, dan pengaturan-pengaturan mengenai pengeluaran-pengeluaran oleh penyelenggara negara, perlu dikontrol dengan sebaik-baiknya oleh rakyat sendiri.
Jika pengaturan mengenai ketiga hal itu tidak dikontrol sendiri oleh rakyat melalui wakil-wakilnya di parlemen, maka kekuasaan di tangan pemerintah dapat terjerumus ke dalam kecenderungan alamiahnya sendiri untuk menjadi sewenang-wenang. Oleh karena itu,  lembaga perwakilan rakyat diberikan kewenangan untuk melakukan kontrol dalam tiga hal itu, yaitu (i) kontrol atas pemerintahan (control of executive), (ii) kontrol atas pengeluaran (control of expenditure), dan (iii) kontrol atas pemungutan pajak (control of taxation). Bahkan, secara teoritis, jika dirinci, fungsi-fungsi kontrol atau pengawasan oleh parlemen sebagai lembaga perwakilan rakyat dapat pula dibedakan sebagai berikut:
a.      Pengawasan terhadap penentuan kebijakan (controof policy making);
b.      Pengawasan terhadap pelaksanaan kebijakan (control of policy executing);
c.       Pengawasan terhadap penganggaran dan belanja negara (control of budgeting);
d.      Pengawasan terhadap pelaksanaan anggaran dan belanj negara (control of budget implementation);
e.      Pengawasan terhadap kinerja pemerintahan (control of government performances);
f.        Pengawasan terhadap pengangkatan pejabat publik (control of political appointment of public officials) dalam bentuk persetujuan atau penolakan, atau pun dalam bentuk pemberian pertimbangan oleh DPR.

3. Fungsi Perwakilan (Representasi)
Fungsi parlemen sebagai lembaga perwakilan rakyat yang paling pokok sebenarnya adalah fungsi representasi atau perwakilan itu sendiri. Lembaga perwakilan tanpa representasi tentulah tidak bermakna sama sekali. Dalam hubungan itu, penting dibedakan antara pengertian representation in presence dan representation in ideas. Pengertian pertama bersifat formal, yaitu keterwakilan yang dipandang dari segi kehadiran fisik. Sedangkan, pengertian keterwakilan yang kedua bersifat substantif, yaitu perwakilan atas dasar aspirasi atau idea. Dalam pengertian yang formal, keterwakilan itu sudah dianggap ada apabila secara fisik dan resmi, wakil rakyat yang terpilih sudah duduk di lembaga perwakilan rakyat.
Untuk menjamin keterwakilan substantif itu, prinsip perwakilan dianggap tidak cukup hanya apabila sesuatu pendapat rakyat sudah disampaikan secara resmi ke lembaga perwakilan rakyat. Untuk menjamin hal itu, masih diperlukan kemerdekaan pers, kebebasan untuk berdemo atau berunjuk rasa, dan bahkan hak mogok bagi buruh, dan sebagainya, sehingga keterwakilan formal di parlemen itu dapat dilengkapi secara substantif. Denga demikian, perwakilan formal memang dapat dianggap penting, tetapi tetap tidak mencukupi (it’s necessary, but not sufficient) untuk menjamin keterwakilan rakyat secara sejati dalam sistem demokrasi perwakilan yang dikembangkan dalam praktik.
Dalam rangka pelembagaan fungsi representasi itu, dikenal pula adanya tiga sistem perwakilan yang dipraktikkan di berbagai negara demokrasi. Ketiga fungsi itu adalah:
1) Sistem perwakilan politik (political representation);
2) Sistem perwakilan teritorial (territorial atau regional representation);
3) Sistem perwakilan fungsional (functional representation).
Dari uraian di atas, dapat diringkaskan bahwa fungsi parlemen atau lembaga perwakilan rakyat itu pada pokoknya ada tiga, yaitu:
1) Fungsi Representasi (Perwakilan):
b)       Representasi formal; dan
c)      Representasi aspirasi.
2) Fungsi Pengawasan (Control):
a)     Pengawasan atas penentuan kebijakan (control ofpolicy making);
b)     Pengawasan atas pelaksanaan kebijakan (control of policy executing);
c)      Pengawasan atas penganggaran dan belanja negara (control of budgeting);
d)     Pengawasan atas pelaksanaan anggaran dan belanja negara (control of budget implementation);
e)     Pengawasan atas kinerja pemerintahan (control of government performances);
f)       Pengawasan terhadap pengangkatan pejabat publik (control of political appointment of public officials) dalam bentuk persetujuan atau penolakan, atau pun dalam bentuk pemberian pertimbangan oleh DPR.
3) Fungsi Pengaturan atau Legislasi menyangkut 4 (empat) bentuk kegiatan, yaitu:
a)     Prakarsa pembuatan undang-undang (legislative initiation);
b)     Pembahasan rancangan undang-undang (law making process);
c)      Persetujuan atas pengesahan rancangan undangundang (law enactment approval);
d)     Pemberian persetujuan pengikatan atau ratifikasi atas perjanjian atau persetujuan internasional dan dokumen-dokumen hukum yang mengikat lainnya (Binding decision making on international agreement and treaties or other legal binding documents).

CABANG KEKUASAAN YUDISIAL
1. Kedudukan Kekuasaan Kehakiman
Kekuasaan kehakiman merupakan pilar ketiga dalam sistim kekuasaan negara modern. Dalam bahasa Indonesia, fungsi kekuasaan yang ketiga ini seringkali disebut cabang kekuasaan “yudikatif”, dari istilah Belanda judicatief. Dalam bahasa Inggris, di samping istilah legislative, executive, tidak dikenal istilah judicative, sehingga untuk pengertian yang sama biasanya dipakai istilah judicial, judiciary, ataupun judicature.
Lembaga peradilan tumbuh dalam sejarah umat manusia dimulai dari bentuk dan sistimnya yang sederhana. Lama-lama bentuk dan sistim peradilan berkembang menjadi semakin kompleks dan modern. Oleh karena itu, seperti dikemukakan oleh Djokosoetono, ada empat tahap dan sekaligus empat macam rechtspraak yang dikenal dalam sejarah, yaitu:
a.      Rechtspraak naar ongeschreven recht (hukum adat), yaitu pengadilan yang didasarkan atas ketentuan hukum yang tidak tertulis, seperti pengadilan adat;
b.      Rechtspraak naar precedenten, yaitu pengadilan yang didasarkan atas prinsip presedent atau putusanputusan hakim yang terdahulu, seperti yang dipraktikkan di Inggris;
c.       Rechtspraak naar rechtsboeken, yaitu pengadilan yang didasarkan atas kitab-kitab hukum, seperti dalam praktik dengan pengadilan agama (Islam) yang menggunakan kompendium atau kitab-kitab ulama ahlussunnah wal-jama’ah atau kitab-kitab ulama syi’ah; dan
d.      Rechtspraak naar wetboeken, yaitu pengadilan yang  didasarkan atas ketentuan undang-undang atau pun kitab undang-undang. Pengadilan demikian ini merupakan penjelmaan dari paham hukum positif atau moderne wetgeving yang mengutamakan peraturan perundang-undangan yang bersifat tertulis (schreven wetgeving).
Dalam sistim peradilan di Indonesia dewasa ini, terdapat 4 (empat) lingkungan peradilan, yang masingmasing mempunyai lembaga lembaga pengadilan tingkat pertama dan pengadilan tingkat banding. Pada tingkat kasasi, semuanya berpuncak pada Mahkamah Agung (MA) Pengadilan tingkat pertama dan kedua dalam keempat lingkungan peradilan tersebut adalah:
1)      Pengadilan Negeri (PN) dan Pengadilan Tinggi (PT) dalam lingkungan peradilan umum;
2)     Pengadilan Agama (PA) dan Pengadilan Tinggi Agama (PTA) dalam lingkungan peradilan agama;
3)     Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara dalam lingkungan peradilan tata usaha negara dan
4)     Pengadilan Militer (PM) dan Pengadilan Tinggi Militer dalam lingkungan peradilan militer.
Di samping itu, dewasa ini, dikenal pula beberapa pengadilan khusus, baik yang bersifat tetap ataupun Ad Hoc, diantaranya yaitu:
1) Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM)
2) Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
3) Pengadilan Niaga;
4) Pengadilan Perikanan
5) Pengadilan Anak
6) Pengadilan Hubungan Kerja Industrial
7) Pengadilan Pajak
8) Mahkamah Syar’iyah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam;
9) Pengadilan Adat di Papua

Beberapa Prinsip Pokok Kehakiman
Secara umum dapat dikemukakan ada 2 (dua) prinsip yang biasa dipandang sangat pokok dalam sistim peradilan, yaitu (i) the principle of judicial independence, dan (ii) the principle of judicial impartiality. Kedua prinsip ini diakui sebagai prasyarat pokok sistem di semu negara yang disebut hukum modern atau modern constitutional state.
Prinsip independensi itu sendiri antara lain harus diwujudkan dalam sikap para hakim dalam memeriksa dan memutus perkara yang dihadapinya. Di samping itu, independensi juga tercermin dalam berbagai pengaturan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan pengangkatan, masa kerja, pengembangan karir, sistim penggajian, dan pemberhentian para hakim. Sementara itu, prinsip kedua yang sangat penting adalah prinsip ketidakberpihakan (the principle of impartiality). Bahkan oleh O. Hood Phillips dan kawankawan mengatakan, “The impartiality of the judiciary is recognized as an important, if not the most important element, in the administration of justice”. Dalam praktik, ketidakberpihakan atau impartiality itu sendiri mengandung makna dibutuhkannya hakim yang tidak saja bekerja secara imparsial (to be impartial), tetapi juga terlihat bekerja secara imparsial (to appear to be impartial). Dalam The Bangalore Principles itu, tercantum adanya 6 (enam) prinsip penting yang harus dijadikan pegangan bagi para hakim di dunia, yaitu prinsip-prinsip independence, impartiality, integrity, propriety, equality, dan competence and diligence. 1) Independensi (Independence Principle) Independensi hakim merupakan jaminan bagi tegaknya hukum dan keadilan, dan prasyarat bagi terwujudnya cita-cita negara hukum. Independensi melekat sangat dalam dan harus tercermin dalam proses pemeriksaan dan pengambilan keputusan atas setiap perkara, dan terkait erat dengan independensi pengadilan sebagai institusi yang berwibawa, bermartabat dan terpercaya.
Independensi hakim dan pengadilan terwujud dalam kemandirian dan kemerdekaan hakim, baik sendiri-sendiri maupun sebagai institusi, dari pelbagai pengaruh yang berasal dari luar diri hakim berupa intervensi yang bersifat mempengaruhi dengan halus, dengan tekanan, paksaan, kekerasan, atau balasan karena kepentingan politik atau ekonomi tertentu dari pemerintah atau kekuatan politik yang berkuasa, kelompok atau golongan, dengan ancaman penderitaan atau kerugian tertentu, atau dengan imbalan atau janji imbalan berupa keuntungan jabatan, keuntungan ekonomi, atau bentuk lainnya.
2) Ketidakberpihakan (Impartiality Principle) Ketidakberpihakan merupakan prinsip yang melekat dalam hakikat fungsi hakim sebagai pihak yang diharap kan memberikan pemecahan terhadap setiap perkara yang diajukan kepadanya. Ketidakberpihakan mencakup sikap netral, menjaga jarak yang sama dengan semua pihak yang terkait dengan perkara, dan tidak mengutamakan salah satu pihak mana pun, disertai penghayatan yang mendalam mengenai keseimbangan antar kepentingan yang terkait dengan perkara. Prinsip ketidakberpihakan senantiasa melekat dan harus tercermin dalam setiap tahapan proses pemeriksaan perkara sampai kepada tahap pengambilan keputusan, sehingga putusan pengadilan dapat benar-benar diterima sebagai solusi hukum yang adil bagi semua pihak yang berperkara dan oleh masyarakat luas pada umumnya. 3) Integritas (Integrity Principle) Integritas hakim merupakan sikap batin yang mencerminkan keutuhan dan keseimbangan kepribadian setiap hakim sebagai pribadi dan sebagai pejabat negara dalam menjalankan tugas jabatannya. Keutuhan kepribadian mencakup sikap jujur, setia, dan tulus dalam menjalankan tugas profesionalnya, disertai ketangguhan batin untuk menepis dan menolak segala bujuk-rayu, godaan jabatan, kekayaan, popularitas, ataupun godaangodaan lainnya. Sedangkan, keseimbangan kepribadian mencakup keseimbangan ruhaniah dan jasmaniah atau mental dan fisik, serta keseimbangan antara kecerdasan spiritual, kecerdasan emosional, dan kecerdasan intelektual dalam pelaksanaan tugasnya.
4) Kepantasan dan Kesopanan (Propriety Principle)
Kepantasan dan kesopanan merupakan norma kesusilaan pribadi dan kesusilaan antarpribadi yang tercermin dalam perilaku setiap hakim, baik sebagai pribadi maupun sebagai pejabat negara dalam menjalankan tugas profesionalnya, yang menimbulkan rasa hormat, kewibawaan, dan kepercayaan. Kepantasan tercermin.

D. CABANG KEKUASAAN EKSEKUTIF
1. Sistim Pemerintahan
Cabang kekuasaan eksekutif adalah cabang kekuasaan yang memegang kewenangan administrasi pemerintahan negara yang tertinggi. Dalam hubungan ini, di dunia dikenal adanya 3 (tiga) sistem pemerintahan negara, yaitu (i) sistem pemerintahan presidentil, (ii) sistem pemerintahan parlementer atau sistim kabinet, dan (iii) sistem campuran. Sistem pemerintahan itu dikatakan bersifat parlementer apabila (a) sistem kepemimpinannya terbagi dalam jabatan kepala negara dan kepala pemerintahan sebagai dua jabatan yang terpisah, dan (b) jika sistem pemerintahannya ditentukan harus bertanggung jawab kepada parlemen, sehingga dengan demikian (c) kabinet dapat dibubarkan apabila tidak mendapat dukungan parlemen, dan sebaliknya (d) parlemen juga dapat dibubarkan oleh pemerintah, apabila dianggap tidak dapat memberikan dukungan kepada pemerintah. Sistem pemerintahan itu dikatakan bersifat presidentil apabila (a) kedudukan kepala negara tidak terpisah dari jabatan kepala pemerintahan, (b) kepala negara tidak bertanggung jawab kepada parlemen, melainkan langsung bertanggung jawab kepada rakyat yang memilihnya, (c) Presiden sebaliknya juga tidak berwenang membubarkan parlemen, (d) kabinet sepenuhnya bertanggung jawab kepada Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan negara atau sebagai administrator yang tertinggi. Dalam sistim presidentil, tidak dibedakan apakah Presiden adalah kepala negara atau kepala pemerintahan. Tetapi yang ada hanya Presiden dan Wakil Presiden saja dengan segala hak dan kewajibannya atau tugas dan kewenangannya masing-masing. Sementara itu, dalam sistem campuran, terdapat ciri-ciri presidentil dan ciri-ciri parlementer secara bersamaan dalam sistem pemerintahan yang diterapkan. Sistem campuran ini biasanya oleh para ahli disebut sesuai dengan kebiasaan yang diterapkan oleh masingmasing negara. Misalnya, sistem yang dipraktikkan di Perancis biasa dikenal oleh para sarjana dengan sebutan hybrid system. Kedudukan sebagai kepala negara dipegang oleh Presiden yang dipilih langsung oleh rakyat, tetapi juga ada kepala pemerintahan yang dipimpin oleh seorang Perdana Menteri yang didukung oleh parlemen seperti dalam sistem parlementer yang biasa. Oleh karena itu, sistem Perancis ini dapat pula kita sebut sebagai sistim quasi-parlementer.

2. Kementerian Negara
Dalam sistem pemerintahan kabinet atau parlementer, Menteri tunduk dan bertanggung jawab kepada parlemen. Sedangkan dalam sistem presidentil, para menteri tunduk dan bertanggung jawab kepada Presiden. Dalam sistem parlementer jelas sekali bahwa kedudukan menteri adalah bersifat sentral. Perdana Menteri sebagai menteri utama, menteri koordinator, atau menteri yang memimpin para menteri lainnya dalam kabinet adalah kepala pemerintahan, yaitu yang memimpin pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan secara operasional seharihari. Kinerja pemerintahan sepenuhnya berada di tangan para menteri yang dipimpin oleh seorang Perdana Menteri itu. Dikarenakan sangat kuatnya kedudukan para menteri, parlemen pun dapat dibubarkan oleh mereka. Sebaliknya, kabinet juga dapat dibubarkan oleh parlemen apabila mendapat mosi tidak percaya dari parlemen. Demikianlah perimbangan kekuatan di antara kabinet dan parlemen dalam sistem pemerintahan parlementer.


BAB III
HAK ASASI MANUSIA DAN
MASALAH KEWARGANEGARAAN

A. Hak Asasi Manusia
1. Selintas Sejarah HAM
Doktrin tentang Hak Asasi Manusia sekarang ini sudah diterima secara universal sebagai a moral, political, legal framework and as a guideline dalam membangun dunia yang lebih damai dan bebas dari ketakutan dan penindasan serta perlakuan yang tidak adil. Oleh karena itu, dalam paham negara hukum, jaminan perlindungan hak asasi manusia dianggap sebagai ciri yang mutlak harus ada di setiap negara yang dapat disebut rechtsstaat. Bahkan, dalam perkembanga selanjutnya, jaminan-jaminan hak asasi manusia itu juga diharuskan tercantum dengan tegas dalam undangundang dasar atau konstitusi tertulis negara demokrasi konstitusional (constitutional democracy). Jaminan ketentuan tersebut dianggap sebagai materi terpenting yang harus ada dalam konstitusi, di samping materi ketentuan lainnya, seperti mengenai format kelembagaan dan pembagian kekuasaan negara serta mekanisme hubungan antar lembaga negara. Setelah kedua covenant ini, berbagai instrumen hukum internasional diadopsikan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk melengkapinya lebih lanjut. Sampai sekarang, instrumen-instrumen PBB dimaksud dapat kita susun secara berturut-turut sebagai berikut:
5)     Universal Declaration of Human Rights, 1948;
6)     Convention on the Prevention and Punishment of the Crime of Genocide, 1948;
7)     International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination, 1965 ;
8)    International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights, 1966;
9)     International Covenant on Civil and Political Rights, 1966;
10) Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women, 1979;
11)  Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman, and Degrading Treatment or Punishment,1984 ;
12) Convention on the Rights of the Child, 1989.

HAM MENURUT UUD 1945
Dengan disahkannya Perubahan Kedua UUD 1945 pada tahun 2000, dan apabila materinya digabung dengan berbagai ketentuan yang terdapat dalam undangundang yang berkenaan dengan hak asasi manusia, maka keseluruhan norma hukum mengenai hak asasi manusia itu dapat kita kelompokkan dalam empat kelompok yang berisi 37 butir ketentuan. Kelompok yang pertama adalah kelompok ketentuan yang menyangkut hak-hak sipil yang meliputi:
1)      Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan kehidupannya;
2)     Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan, perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat kemanusiaan;
3)     Setiap orang berhak untuk bebas dari segala bentuk perbudakan;
4)     Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya;
5)     Setiap orang berhak untuk bebas memiliki keyakinan, pikiran, dan hati nurani;
6)     Setiap orang berhak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum;
7)     Setiap orang berhak atas perlakuan yang sama d hadapan hukum dan pemerintahan;
8)    Setiap orang berhak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut;
9)     Setiap orang berhak untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah;
10) Setiap orang berhak atas status kewarganegaraan;
11)  Setiap orang berhak untuk bertempat tinggal di wilayah negaranya, meninggalkan, dan kembali ke negaranya;
12) Setiap orang berhak memperoleh suaka politik;
13) Setiap orang berhak bebas dari segala bentuk perlakuan diskriminatif dan berhak mendapatkan perlindungan hukum dari perlakuan yang bersifa diskriminatif tersebut. Kedua, kelompok hak-hak politik, ekonomi, sosial dan budaya yang meliputi:
1)      Setiap warga negara berhak untuk berserikat, berkumpul, dan menyatakan pendapatnya secara damai;
2)     Setiap warga negara berhak untuk memilih dan dipilih dalam rangka lembaga perwakilan rakyat;
3)     Setiap warga negara dapat diangkat untuk menduduki jabatan-jabatan publik;
4)     Setiap orang berhak untuk memperoleh dan memilih pekerjaan yang sah dan layak bagi kemanusiaan;
5)     Setiap orang berhak untuk bekerja, mendapat imbalan, dan mendapat perlakuan yang layak dalam hubungan kerja yang berkeadilan;
6)     Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi;
7)     Setiap warga negara berhak atas jaminan sosial yang dibutuhkan untuk hidup layak dan memungkinkan pengembangan dirinya sebagai manusia yang bermartabat;
8)     Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi; Setiap orang berhak untuk memperoleh dan memilih pendidikan dan pengajaran;
9)      Setiap orang berhak mengembangkan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya untuk peningkatan kualitas hidup dan kesejahteraan umat manusia;
10)  Negara menjamin penghormatan atas identitas budaya dan hak-hak masyarakat lokal selaras dengan perkembangan zaman dan tingkat peradaban bangsabangsa;
11)  Negara mengakui setiap budaya sebagai bagian dari kebudayaan nasional;
12) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut kepercayaannya itu.
Ketiga, kelompok hak-hak khusus dan hak atas pembangunan yang meliputi:
1)      Setiap warga negara yang menyandang masalah sosial, termasuk kelompok masyarakat yang terasing dan yang hidup di lingkungan terpencil, berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan yang sama;
2)     Hak perempuan dijamin dan dilindungi untuk mendapat kesetaraan gender dalam kehidupan nasional;
3)     Hak khusus yang melekat pada diri perempuan yang dikarenakan oleh fungsi reproduksinya dijamin dan dilindungi oleh hukum;
4)     Setiap anak berhak atas kasih sayang, perhatian, dan perlindungan orangtua, keluarga, masyarakat, dan negara bagi pertumbuhan fisik dan mental serta perkembangan pribadinya;
5)     Setiap warga negara berhak untuk berperan-serta dalam pengelolaan dan turut menikmati manfaat yang diperoleh dari pengelolaan kekayaan alam;
6)     Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang bersih dan sehat;
7)     Kebijakan, perlakuan, atau tindakan khusus yang bersifat sementara dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan yang sah yang dimaksudkan untuk menyetarakan tingkat perkembangan kelompok tertentu yang pernah mengalami perlakuan diskriminatif dengan kelompok-kelompok lain dalam masyarakat, dan perlakuan khusus tersebut tidak termasuk dalam pengertian diskriminasi.
Keempat, kelompok yang mengatur mengenai tanggung jawab negara dan kewajiban asasi manusia yang meliputi:
1)      Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara;
2)     Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk pada pembatasan yang ditetapkan oleh undang-undang dengan maksud sematamata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain serta untuk memenuhi tuntutan keadilan sesuai dengan nilainilai agama, moralitas, kesusilaan, keamanan, dan ketertiban umum dalam masyarakat yang demokratis;
3)     Negara bertanggung jawab atas perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak-hak asasi manusia;
4)     Untuk menjamin pelaksanaan hak asasi manusia, dibentuk Komisi Nasional Hak Asasi Manusia yang bersifat independen dan tidak memihak yang pembentukan, susunan, dan kedudukannya diatur dengan undang-undang.

2. Aspirasi tentang Kewajiban Asasi Manusia
Aspirasi mengenai pentingnya hak asasi manusia selama ini sebenarnya telah berkembang luas di luar paradigma pemikiran “barat”. Seluruh negeri-negeri Muslim di dunia yang tercermin dalam pandangan para pemimpinnya ataupun kaum intelektualnya, telah terus menerus menyuarakan pandangan berbeda dari perspektif yang lazim mengutamakan prinsip-prinsip Hak
Asasi Manusia (HAM) dan mengabaikan pentingnya prinsip Kewajiban Asasi Manusia (KAM). Demikian pula di Republik Rakyat Cina, dan di beberapa negara Amerika Selatan, pada umumnya, prinsip-prinsip kewajibanlah yang lebih diidealkan di atas hak-hak. Setidak-tidaknya yang diidealkan adalah hubungan yang seimbang antara hak-hak dan kewajiban-kewajiban asasi manusia itu.


PARTAI POLITIK DAN PEMILIHAN UMUM
A. PARTAI POLITIK
1. Partai dan Pelembagaan Demokrasi
Partai politik mempunyai posisi (status) danm peranan (role) yang sangat penting dalam setiap sistem demokrasi. Partai memainkan peran penghubung yang sangat strategis antara proses proses pemerintaha dengan warga negara. Bahkan, banyak yang berpendapa bahwa partai politiklah yang sebetulnya menentukan demokrasi, seperti dikatakan oleh Schattscheider (1942), “Political parties created democracy”. Oleh karena itu, partai politik merupakan pilar yang sangat penting untuk diperkuat derajat pelembagaannya (the degree of institutionalization) dalam setiap sistem politik yang demokratis. Bahkan, oleh Schattscheider dikatakan pula, “Modern democracy is unthinkable save in terms of the Parties.
Namun demikian, banyak juga pandangan kritis dan bahkan skeptis terhadap partai politik. Pandangan yang paling serius di antaranya menyatakan bahwa partai politik itu sebenarnya tidak lebih daripada kendaraan politik bagi sekelompok elite yang berkuasa atau berniat memuaskan “nafsu birahi” kekuasaannya sendiri. Partai politik hanyalah berfungsi sebagai alatmbagi segelintir orang yang kebetulan beruntung yang berhasil memenangkan suara rakyat yang mudah dikelabui,untuk memaksakan berlakunya kebijakan-kebijakan Dalam suatu negara demokrasi, kedudukan dan peranan setiap lembaga negara haruslah sama-sama kuat dan bersifat saling mengendalikan dalam hubungan checks and balances. Akan tetapi, jika lembaga-lembaga negara tersebut tidak berfungsi dengan baik, kinerjanya tidak efektif, atau lemah wibawanya dalam menjalankan fungsinya masing-masing, maka yang sering terjadi adalah partai-partai politik yang rakus atau ekstrimlah yang merajalela menguasai dan mengendalikan segala proses-proses penyelenggaraan fungsi-fungsi pemerintahan. Oleh karena itu, sistem kepartaian yang baik sangat menentukan bekerjanya sistem ketatanegaraan berdasarkan prinsip checks and balances dalam arti yang luas.
Sebaliknya, efektif bekerjanya fungsi-fungsi kelembagaan negara itu sesuai prinsip checks and balances berdasarkan konstitusi juga sangat menentukan kualitas sistem kepartaian dan mekanisme demokrasi yang dikembangkan di suatu negara. Semua ini tentu berkaitan erat dengan dinamika pertumbuhan tradisi dan kultur berpikir bebas dalam kehidupan bermasyarakat. Tradisi berpikir atau kebebasan berpikir itu pada gilirannya mempengaruhi tumbuh-berkembangnya prinsip-prinsip kemerdekaan berserikat dan berkumpul dalam dinamika kehidupan masyarakat demokratis yang bersangkutan.

2. Fungsi Partai Politik
Pada umumnya, para ilmuwan politik biasa menggambarkan adanya 4 (empat) fungsi partai politik. Keempat fungsi partai politik itu menurut Miriam Budiardjo, meliputi sarana:146 (i) komunikasi politik, (ii) sosialisasi politik (political socialization), (iii) rekruitmen politik (political recruitment), dan (iv) pengatur konflik (conflict management).

3 Kelemahan Partai Politik
Adanya organisasi itu, tentu dapat dikatakan juga mengandung beberapa kelemahan. Di antaranya ialah bahwa organisasi cenderung bersifat oligarkis. Organisasi dan termasuk juga organisasi partai politik, kadangkadang bertindak dengan lantang untuk dan atas nama kepentingan rakyat, tetapi dalam kenyataannya di lapangan justru berjuang untuk kepentingan pengurusnya sendiri.

Tujuan Pemilihan Umum
Dari uraian di atas, dapat dikatakan bahwa tujuan penyelenggaraan pemilihan umum itu ada 4 (empat), yaitu:1
a)     untuk memungkinkan terjadinya peralihan kepemimpinan pemerintahan secara tertib dan damai
b)     . untuk memungkinkan terjadinya pergantian pejabat yang akan mewakili kepentingan rakyat di lembaga perwakilan;
c)       untuk melaksanakan prinsip kedaulatan rakyat; dan
d)     untuk melaksanakan prinsip hak-hak asasi warga negara.

2. Pengadilan Sengketa Hasil Pemilu
Hasil pemilihan umum berupa penetapan final hasil penghitungan suara yang diikuti oleh pembagian kursi yang diperebutkan, yang diumumkan secara resmi oleh lembaga penyelenggara pemilihan umum seringkali tidak memuaskan peserta pemilihan umum, yang tidak berhasil tampil sebagai pemenang. Kadang-kadang terjadi perbedaan pendapat dalam hasil perhitungan itu antara peserta pemilihan umum dan penyelenggara pemilihan umum, baik karena kesengajaan maupun karena kelalaian, baik karena kesalahan teknis atau kelemahan yang bersifat administratif dalam perhitungan ataupun disebabkan oleh faktor human error. Jika perbedaan pendapat yang demikian itu menyebabkan terjadinya kerugian bagi peserta pemilihan umum, maka peserta pemilihan yang dirugikan itu dapat menempuh upaya hukum dengan mengajukan permohonan perkara per selisihan hasil pemilihan umum ke Mahkamah Konstitusi.
Jenis perselisihan atau sengketa mengenai hasil pemilihan umum ini tentu harus dibedakan dari sengketa yang timbul dalam kegiatan kampanye, ataupun teknis pelaksanaan pemungutan suara. Jenis perselisihan hasil pemilihan umum ini juga harus pula dibedakan dari perkara-perkara pidana yang terkait dengan subjeksubjek hukum dalam penyelenggaraan pemilihan umum. Siapa saja yang terbukti bersalah melanggar hukum pidana, diancam dengan pidana dan harus dipertanggungjawabkan secara pidana pula menurut ketentuan yang berlaku di bidang peradilan pidana. Misalnya, A mencuri surat suara, maka hal itu tergolong pelanggaran hukum pidana yang diadili menurut prosedur pidana.
Sedangkan B melanggar jadwal kampanye yang menjadi hak calon lain, maka pelanggaran semacam ini harus diselesaikan secara administratif oleh lembaga penyelenggara pemilihan umum yang bertanggung jawab di bidang itu. Dengan ada mekanisme peradilan terhadap sengketa hasil pemilihan umum ini, maka setiap perbedaan pendapat mengenai hasil pemilihan umum tidak boleh dikembangkan menjadi sumber konflik politik atau bahkan menjadi konflik sosial yang diselesaikan di jalanan. Penyelesaian perbedaan mengenai hasil perhitungan suara pemilihan umum menyangkut pertarungan kepentingan politik antar kelompok warga negara sudah seharusnya diselesaikan melalui jalan hukum dan konstitusi. Dengan kewenangannya untuk mengadili dan menyelesaikan perkara perselisihan hasil pemilu ini, dapat dikatakan bahwa Mahkamah Konstitusi diberi tanggung jawab untuk menyediakan jalan konstitusibagi para pihak yang bersengketa, yaitu antara pihak penyelenggara pemilihan umum dan pihak peserta pemilihan umum.

Share this article :

0 comments:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

Recent Post

Mampir Dulu
 
Support : Creating Website | UJANG MURNA WIJAYA Template | AA UJANG
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2011. Ujang Murana Wijaya - All Rights Reserved
Template Design by CREATIVE Published by JAMUR