BAB
I
HAKIKAT
DAN PENGERTIAN PERILAKU POLITIK
A.
Pengertian Perilaku Politik
Perilaku politik dapat
dirumuskan sebagai kegiatan yang berkenaan dengan proses pembuatan dan
pelaksanaan keputusan politik. Interaksi
antara pemnerintah dan masyarakat, antar lembaga pemerintah dan antar
kelompokdan individu dalam masyarakat dalam rangka proses pembuatan,
pelaksanaan dan penegakkan keputusan politik pada dasarnya merupakan perilaku
politik. Sejalan dengan pengertian politik, perilaku politik berkenaan dengan
tujuan suatu masyarakat, kebijakan untuk mencapai suatu tujuan, serta sitem
kekuasaan yang memungkinkan adanya suatu
otoritas untuk mengatur kehidupan masyarakat kearah pencapaian tujuan
tersebut.
Perilaku politik dapat dijumpai
dalam berbagai bentuk. Dalam suatu Negara misalnya, ada fihak yang memerintah
dan ada fihak yang diperintah. Terhadap kebijakan pemerintah yang di keluarkan
pemerintah ada yang setuju dan ada yang kurang setuju. Perilaku politik
tidaklah merupakan sesuatu yang berdiri sendiri tetapi mengandung keterkaitan
dengan hal-hal lain. Perilaku politik yang ditunjukkan oleh individu merupakan
hasil poengaruh beberapa factor, baik factor internal maupun factor eksternal,
yang menyangkut lingkungan alam lingkungan social budaya.
Berkaitan dengan perilaku
politik, satu hal yang perlu dibahas adalah apa yang disebut sikap politik.
Walaupun antara sikap dan perilaku terdapat kaitan yang sangat erat , keduanya
perlu dibedakan. Sikap merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap obyek
lingkungan tertentu sebagai suatu penghayatan terhadap obyek tersebut. Sikap
mengandung tiga komponen yaitu kognisi, afeksi dan konasi. Kognisi berkenaan
dengan ide, afeksi menyangkut kehidupan emosional, sedangkan konasi merupakan
kecenderungan bertingkah laku.
Dengan munculnya sikap
politik tertentu akan dapat diperkirakan perilaku politik apa yang sekiranya
akan muncul. Ketidaksetujuan terhadap kebijakan
pemerintah merupakan suatu sikap politik. Dengan adanya ketidaksetujuan
tersebut perilaku yang diperkirakan
muncul adalah peninjauan
pernyataan keberatan, protes atau unjuk rasa. Walaupun dalam kenyataannya bisa
saja perilaku itu tidak muncul, akan tetapi sekurang-kurangnya ada
kecenderungan untuk itu.
Disamping perilaku
politik, ada istilah lain yang hamper memiliki arti yang sama yaitu partisipasi
politik. Partisipasi politik adalah keikutsertaan warga Negara biasa dalam
menentukan segala keputusan yang menyangkut atau mempengaruhi
kehidupannya.kegiatan yang termasuk dalam pengertian partisipasi politik
mencakup hal-hal sebagai berikut :
1.
Partisipasi politik terwujud sebagai
kegiatan atau perilaku luar individu warga Negara biasa yang dapat diamati dan
bukan berupa sikap dan orientasi.
2.
Kegiatan itu diarahkan untuk mempengaruhi pemerintah selaku pembuat dan
pelaksana keputusan politik.
3.
Kegiatan yang berhasil maupun yang gagal dalam mempengaruhi keputusan politik
pemerintah termasuk dalam partisipasi politik.
4.
Kegiatan mempengaruhi politik pemerintah
dapat dilakukan secara langsung tanpa melalui perantara dan secra tidak
langsung
5.
Kegiatan mempengaruhi pemerintah dapat
dilakukan melalui prosedur yang wajar tanpa kekerasan, dan dengan cara-cara
yang tidak wajar
6.
Kegiatan individu untuk mempengaruhi
pemerintah ada yang dilakukan atas dasar kesadaran sendiri dan atas desakan
atau paksaan dari pihal lain
Dilihat
dari kegiatannya, partisipasi politik dapat dibedakan menjadi partisipasi
politik aktif dan partisipasi politik pasif. Partisipasi aktif dapat dilakukan
melalui pengajuan alternative mengenai kebijakan umum, mengajukan kritik,
mengajukan petisi, membayar pajak dan sebagainya. Partisipasi
politik pasif ditunjukkan melalui kegiatan yang mencerminkan ketaatan dan
penerimaan atas hal-hal yang telah
menjadi keputusan pemerintah.
Partisipasi
politik juga dapat digolongkan sesuai tingkatannya, yaitu apatis, spectator, dan gladiator. Apatis artinya
tidak menaruh perhatian sama sekali pada kegiatan politik dan bersikap masa
bodoh. Spectator berarti bahwa orang yang
bersangkutan setidak-tidaknya ikut menggunakan hak pilihnya dalam
pemilihan ulum. Gladiator adalah tingkatan partisipasi politik sampai pada
keikutsertaan secara aktif dalam proses politik.
Partisipasi
politik dapat pula digolongkan sesuai dengan jumlah pelaku yang terlibat
didalamnya. Atas dasar itu , partisipasi politik dapat digolongkan kedalam
partisipasi individual dan partisipasi kolektif. Partisipasi individual adalah
partisipasi yang dilakukan secara perorangan, sedangkan partisipasi kolektif
adalah kegiatan warga Negara Negara secara serempak untuk mempengaruhi
penguasa, seperti kegiatan dalam pemilihan umum.
Penggolongan
yang lain mengenai partisipasi politik
berdasar pada tinggi rendahnya kesadaran politik dan kepercayaan kepada
pemerintah atau suatu system politik. Atas dasar itu partisipasi politik dapat
dibedakan menjadi partisipasi yang aktif, partisipasi yang pasif (apatis),
partisipasi militant radikal, dan partisifasi yang tidak aktif akan timbul
apabila masyarakat memiliki tingkat kesadarn politik yang tinggi dan percaya
pada sistem yang ada.
B. Ruang
Lingkup
Kajian perilaku politik
dapat dilakukan dengan menggunakan tiga unit dasar analisis, yaitu:
a.
Individu sebagai aktor politik
Tipe
aktor politik yang
lebih memiliki pengaruh dalam proses politik
adalah pimpinan politik dan pemerintahan.oleh karena itu, tipe pemimpin
politik dan pemerintahan akan sangat mempengaruhi suasana kehidupan politik.
b.
Agregasi politik
Adalah
kelompok individu yang tergabung dalam suatu organisasi seperti partai politik,
kelompok kepentingan, birokrasi dan lembaga-lembaga pemerintahan.
c.
Tipologi kepribadian politik
Adalah
tipe-tipe kepribadian pemimpin seperti pemimpin otoriter, pemimpin demokratis,
dan leissfeir.
Adapun
lembaga-lembaga politik pemerintahan (suprastruktur politik) terdiri dari
lembaga-lembaga yang menjalankan tugas legislatif, eksekutif dan yudikatif ,
Sedangkan lembaga politik kemasyarakatan (infrastruktur politik ) merupakan
lembaga yang bersangkut paut dengan pengelompokkan warga Negara atau anggota
masyarakat kedalam berbagai macam golongan yang biasa disebut sebagai kekuatan
social politik dalam system masyarakat.
C.
Faktor-faktor
yang mempengaruhi perilaku politik
Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku
politik aktoir politik adalah sebagai
berikut :
a. Lingkungan
social politik tak langsung seperti system politik, system ekonomi, system budaya dan media massa
b. Lingkungan
social politik langsung yang mempengaruhi dan membentuk kepribadian actor
politik seperti keluarga, agama, sekolah dan kelompok pergaulan
c. Struktur
kepribadian yang tercermin dalam sikap individu
d. Faktor sosial politik langsung yang berupa situasi,
yaitu keadaan yang mempengaruhi actor
secara langsung ketika akan melakukan kegiatan seperti cuaca, keadaan keluarga,
kehadiran seseorang, keadaan ruang, susunan kelompok dan ancaman dengan segala
bentuknya.
Keempat
faktor
ini saling mempengaruhi aktor
politik dalam kegiatan dan perilaku politiknya baik langsung maupun tidak
langsung. Dengan demikian, perilaku politik seseorang tidak hanya didasarkan
pada pertimbangan politik saja, tetapi juga disebabkan banyak factor yang
mempengaruhi.
Status
sosial berarti
kedudukan seseorang dalam kelompoknya yang disebabkan baik oleh tingkat
pendidikan maupun oleh pekerjaan. Tingkat status sosial yang tinggi memungkinkan perilaku
politik yang lebih berkualitas daripada seseorang yang berada dalam status
sosila dibawahnya. Status social ekonomi ialah kedudukan seorang warga Negara
dalam pelapisan sosial
yang disebabkan oleh pemilikan kekayaan. Dengan status sosial ekonomi yang tinggi diperkirakan seseorang akan
memilki tingkat pengetahuan politik, minat dan perhatian pada politik, serta
sikap dan kepercayaan yang tinggi pada pemerintah.
Karakteristik
pribadi seseorang yang memiliki pengaruh dalam partisipasi politik warga Negara. Kepribadian yang terbuka,
sosiabel, ekstrovert ( lebih suka memikirkan orang lain) cenderung melakukan
kegiatan politik dibandingkan kepribadian yang introvert. Kepribadiaan yang
terbuka memungkinkan seseorang menerima informasi dan perangsang-perangsang
politik dari lingkungannya. Dengan demikian factor karakteristik pribadi
seseorang berpengaruhterhadap perilaku politiknya.
Terbentuknya
perilaku politik masyarakat merupakan hasil akumulasi dari faktor-faktor secara integral. Munculnya
perilaku politik paternalistis atau “bapakisme” dalam aktivitas politik tidak
dapat hanya dijelaskan dengan alas an structural seperti system politik,
mekanisme birokrasi, dan konteks konstitusui saja. Hal itu hendaknya dilakukan
melalui pendekatan budaya politik dan dengan analisis berbagai konsep dari
disiplin ilmu social lain.
Sejarah
perpolitikan di Indonesia telah mkenjelaskan banyak hal, system politik, proses
politik, sepanjang sejarah perpolitikan di Indonesia.lembaga-lembaga politik,
pertentangan berbagai pemikiran politik dan instabilitas politik telah terjadi sepanjang
sejarah perpolitikan di Indonesia. Hal-hal itu telah mempengaruhi perilaku
politik masyarakat.
Kemajuan
budaya di Indonesia mempengaruhi budaya budi bangsa. Dari beragamnya budaya
daerah yang memiliki fungsi, sifat dan kekhasan masing-masing telah memunculkan
sub-sub budaya politik Indonesia. Hal itu tentu berimplikasi pada terciptanya
sebuah bentuk perilaku politik. Perkembangan budaya politik nasional dibentuk
oleh dukungan dari pemikiran dan tingkah laku politik dan interaksi antar
budaya politik.
Perilaku
politik masyarakat, selain dipengaruhi oleh faktor-faktor tersebut juga dipengaruhi oleh
agama dan keyakinan. Agama telah memberikan nilai-nilai etika dan moral politik
yang memberikan pengaruh bagi masyarakat dalam perilaku politiknya. Keyakinan
dan agama papun merupakan pedoman dan acuan yang penuh dengan norma-norma dan kaidah-kaidah
yang dapat mendorong dan mengarahkan perilaku politik sesuai dengan agama dan
keyakinannya. Proses prtoses politik dan partisipasi warga negara paling tidak dipengaruhi oleh tinggi
rendahnya pemahaman agama seseorang.
Pandangan
hidup merupakan salah satu faktor
yang dapat mempengaruhi perilaku masyarakat dalam tingkah laku politiknya.
Sebagai cirri khas bagi bangsa Indonesia, kepribadian kolektif itu dilembagakan
dalam bentuk formal dengan wujud nilai-nilai pancasila.disamping kedudukannya
secara ideologis telah mapan, secara politis nilai-nilai tersebut telah
disepakati sebagai acuan dasar perilaku politik di Indonesia. Di sisi lain
secara psikologis nilai-nilai pancasila merupakan kekuatan moral dalam
melakukan kegiatan politik di Indonesia.
Tingkat
pendidikan memiliki peran penting dalam meningkatkan kesadaran politik .makin
tinggi pendidikan masyarakat menjadi makin tinggi kesadaran politiknya.
Demikian sebaliknya, makin rendah tingkat pendidikannya, makin rendah pula
tingkat kesadaran politiknya.
D.
Konsep
Dasar
Ada
dua aliran / faham yang sangat berpengaruh
dalam ilmu politik, yakni :
1.
Paham kelembagaan
Paham
kelembagaan menempatkan peran lembaga-lembaga politik pada posisi yang lebih
penting daripada individu-individu actor
politik. Menurut paham ini lembaga-lembaga politik melakukan kegiatan sesuai
dengan fungsinya masing-masing, sedangkan individu yang ada dalam lembaga itu
hanya menjadi pelaksana semata-mata. Menurut paham ini, lembaga-lembaga politik
mewujudkan tujuan filosofis dalam praktek pemerintahan. Lembaga-lembaga itu
menertibkan kehidupan social dengan cara-cara politik, dan dengan tindakan
semacam itu mereka mempengaruhi politik.
2.
Paham behavioral , konsep pokok paham ini
adalah :
·
Tingkah laku politik memperlihatkan keteraturan yang dapat dirumuskan dalam
generalisasi-generalisasi
·
Generalisasi-generalisasi itu pada asasnya
harus dapat dibuktikan kebenarannya dengan menunjuk pada tingkah laku yang
relevan.
·
Untuk pengumpulan dan penafsiran data
diperlukan teknik penelitian yang cermat
·
Untuk mencapai kecermatan dalam penelitian
diperlukan teknik penelitian yang cermat
·
Dalam membuat analisis politik,
nilai-nilai pribadi peneliti sedapat-dapatnya mungkin tidak main peranan
(value-free)
·
Penelitian politik mempunyai sikap terbuka
terhadap konsep-konsep, teori-teori dan ilmu-ilmu social lainnya.
Dari uraian demikian,
paham kelembagaan mendapatkan predikat sebagai paham tradisional sedangkan
paham behavioral dikatakan sebagai paham yang modern.
BAB
II
BUDAYA
POLITIK
A.
Pengertian
Budaya Politik
Almond dan
Verba mengartikan kebudayaan politik suatu bangsa vsebagai didtribusi pola-pola
orientasi khusus menuju tujuan politik diantara masyarakat bangsa itu. Tidak
lain adalah pola tingkah laku individu yang berkaitan dengan kehidupan politik
yang dihayati oleh para anggota suatu system politik.
Setiap masyarakat dari suatu Negara memiliki budaya
politik. Demikian pula individu-individu yang hidup di tengah-tengah masyarakat
yang senantiasa memiliki orientasi, persepsi terhadap system politiknya. Hal
itu terjadi dalam masyarakat modern dan masyarakat tradisional., bahkan
masyarakat primitive sekalipun. Secara umum dapatlah dikatakan bahwa dalam
kaitan dengan budaya politik, individu-individu dalam masyarakat itu menilai
tempat dan perannya didalam system politik. Pengertian budaya politik seperti
itu menggerakkan pemahaman pada perpaduan antara dua tingkat orientasi politik,
yaitu system dan individu.
Selanjutnya Almond dan Verba melihat bahwa dalam
pandangan tentang obyek politik terdapat tiga komponen. Komponen pertama adalah
komponen kognitif, yaitu komponen yang menyangkut pengetahuan tentang politik
dan kepercayaan terhadap politik, peranan dan segala kewajibannya. Komponen
kedua adalah orientasi afektif yakni perasaan terhadap system politik,
peranannya, para actor, dan penampilannya. Sementara itu, komponen ketiga
adalah orientasi evaluative, yakni keputusan dan praduga tentang obyek-obyek
politik yang secara tipikal melibatkan kombinasi standar nilai dan criteria
dengan informasi dan perasaan.
Terdapat salah
satu factor yang memiliki arti penting pada pandangan terhadap suatu system
politik, yaitu perasaan percaya (trust) dan pemehaman (hostility). Perasaan itu
dalam realitas social berwujud dalam kerjasama dan konflik yang merupakan dua
bentuk kualitas politik.
Rasa percaya mendorong kelompok masyarakat untuk
bekerjasama dengan kelompok lain. Sebaliknya kelompok yang bermasalah dengan
kelompok lain memungkinkan timbulnya konflik-konflik.Selanjutnya dapat dinyatakan
bahwa budaya politik suatu masyarakat dengan sendirinya berkembang dalam dan
dipengaruhi oleh kompleks nilai yang ada
dalam masyarakat tersebut.
B.
Tipe-tipe
Budaya Politik
Berdasarkan sikap, nilai-nilai, informasi dan
kecakapan politik yang dimiliki, orientasi warga Negara terhadap kehidupan
politik dan pemerintahan negaranya dapat digolongkan kedalam kebudayaan
politiknya. Suatu model budaya politik tertentu tak dapat dihubungkan secara
kaku dengan system politik, apalagi hal itu menyangkut budaya politik yang
lingkupnya luas, terutama bila subkultur juga disertakan. Adapun objek-objek
politik orientasi politik tersebut meliputi keterlibatan seseorang terhadap :
a. System
politik secara keseluruhan
Hal itu meliputi intensitas
pengetahuan, ungkapan perasaan yang ditandai dengan orientasi terhadap sejarah,
ukuran lingkup lokasi, interaksi kekuasaan, karakteristik kjonstitusional
Negara, atau system politiknya.
b. Proses
masukan
Proses ini meliputi intensitas
pengetahuan dan perbuatan tentang proses penyaluran segala tuntutan yang
diajukan atau diorganisasi oleh masyarakat.
c. Diri
sendiri
Objek meliputi intensitas pengetahuan
dan frekuensi perbuatan seseorang dalam mengambil peranan dalam system politik
C.
Budaya
Politik Parokial
Budaya politik parokial biasanya terdapat dalam system
politik tradisional dan sederhana , dengan cirri khas spesialisasi masih sangat
kecil, sehingga pelaku-pelaku politik belumlah memiliki pengkhususan tugas.
Tetapi peranan yang satu dilakukan
bersamaan dengan peranan yang lain seperti aktivitas dan peranan pelaku
politik dilakukan bersamaan dengan perannya baik dalam bidang ekonomi, social
maupun keagamaan.
Disebabkan system politik yang relative sederhana dan
terbatasnya areal wilayah dan diferensisasinya, tidak terdapat peranan politik
yang bersifat khas dan berdiri sendiri-sendiri. Masyarakat secara umum tidak
menaruh minat begitu besar terhadap objek politik yang luas, tetapi hanya dalam
batas tertentu, yakni keterikatan pada objek yang relative sempit seperti
keterikatan pada profesi.
D.
Budaya
Politik Subjek
Tipe kedua dari budaya politik warga Negara adalah
budaya politk subjek. Tipe ini memiliki
frekuensi yang tinggi terhadap system politiknya, yang perhatian dan
frekuensi orientasi terhadap aspek masukan dan partisipasinya dalam aspek
keluaran sangat rendah.hal itu berarti bahwa
masyarakat dengan tipe budaya subjek menyadari telah adeanya otoritas
pemerintah.
Orientasi budaya subyek yang murni sering terwujud
dalam masyarakat yang tidak terdapat struktur masukan yang diferensiasi.
Demikian pula dalam budaya subjek orientasi dalam system politik lebih bersifat
normative dan afektif daripada kognitif. Oleh karena itu, dapat difahami bila
mereka memiliki sikap yang demikian.
E.
Budaya
Politik Partisipan
Masyarakat dengan budaya politik partisipasi, memiliki
orientasi politik yang secara eksplisit ditujukan kepada system secara keseluruhan,
bahkan terhadap struktur, proses politik dan administratif. Klasifikasi
tersebut bukanlah klasifikasi akhir, tetapi justru merupakan awal klasifikasi
kebudayaan politik itu sendiri. Klasifikasi itu tidaklah harus disimpulkan
bahwa orientasi yang satu akan menggantikan orientasi yang lain.
Demikian pula dengan kebudayaan partisipatif, ia tidak
lantas menggantikan subjek dan pola-pola parokial. Dengan demikian, warga
Negara dengan budaya partisipatif, tidak
sebagai subjek dihadapan hukum partisipasi aktif diorientasikan terhadap
partisipasi aktif dalam politik tetapi juga terhadap partisipasi aktif sebagai
subjek dihadapan hokum dan kekuasaan yang sekaligus juga merupakan
anggota-anggota kelompok utama yang bervariasi.
Berdasarkan klasifikasi parokial, subjek dan
partisipan, Almond membuat tiga model tentang
kebudayaan politik atau disebut model orientasi terhadap pemerintahan dan politik. Model pertama adalah masyarakat
demokratis industrial. Dalam system ini terdapat cukup banyak aktivitas politik
yang akan menjamin adanya kompetisi partai-partai politik dan kehadiran pemberi
suara yang besar. Model kedua adalah system otoriter. Dalam model itu terdapat
beberapa kelompok masyarakat yang memilki sikap politik yang berbeda. Model
ketiga adalah system demokrasi praindustriil. Dalam Negara dengan model seperti
itu hanya sedikit sekali partisipan yang terutama dari professional terpelajar,
usahawan dan tuan tanah. Sebagian besar
warga negaranya seperti pegawai, buruh dan petani bebas secara langsung
terpengaruh atau terkena system perpajakan dan kebijakan resmi pemerintah
lainnya.
F.
Perilaku
Politik dan Budaya Politik
Perilaku yang dimaksudkan adalah keseluruhan tingkah
laku politik para actor politik dan
warga Negara yang dalam manifestasi
konkretnya telah saling memiliki hubungan dengan kultur politik itu. Pembahasan
lingkup budaya politik itu meliputi pula orientasi individu yang diperoleh dari
pengetahuan yang luas dan yang sempit orientasinya yang dipengaruhi oleh
perasaan keterlibatan, keterlekatan ataupun penolakan, serta orientasinya yang
bersifat menilai terhadap objek dan peristiwa politik. Artinya sikap-sikap
warga Negara , respon-respon dan aktivitasnya terhadap system politik yang ada
tersebut dipengaruhi budaya politik yang membentuknya.
Perilaku politik ( politic behavior) dinyatakan
sebagai suatu telah mengenai tindakan manusia dalam situasi politik. Interaksi
antara pemerintah dan masyarakat, antara lembaga-lembaga pemerintah dan antara
kelompok dan individu dalam masyarakat dalam rangka proses pembuatan,
pelaksanaan dan penegakkan keputusan politik pada dasarnya merupakan perilaku
politik.
Persoalannya adalah bagaimana perilaku politik
tersebut dilakukan dalam konteks budaya politik. Perilaku politik pemimpin
maupun warga Negara tidak dapat dipisahkan dari pengaruh budaya politik.dapat
dikatakan misalnya dalam melaksanakan penyusunan rencana keputusan politik,
mengawasi dan dalam menjalankan fungsi yudikatif, semuanya itu tidak dapat
terlepas dari pengaruh budaya politik seperti norma-norma, tata nilai,
subbudaya, adat kebiasaan,tradisi dansebagainya.
Tingkah laku poltik merupakan pencerminan dari budaya
politik suatu masyarakat yang penuh dengan aneka bentuk karakter dan aneka
bentuk kelompok dengan berbagai macam tingkah lakunya. Perilaku politik tidak
ditentukan oleh situasi temporer tetapi mempunyai pola yang berorientasi pada
pola umum yang tampak secara jelas sebagai pencerminan budaya politik yang
sering sekali disebut sebagai peradaban politik.
Kaum behavioralis menyampaikan pokok-pokok konsepnya
tentang pendekatan politik dari segi tingkah laku. Adapun pokok-pokok konsepnya
adalah sebagai berikut :
a. Tingkah
laku politik memperlihatkan kesatuan (integritas) yang dirumuskan dalam
generalisasi
b. Generalisasi-generalisasi
pada asasnya harus dapat dibuktikan kebenarannya dengan menunjuk pada tingkah
laku yang relevan
c. Untuk
mengumpulkan dan menafsirkan data diperlukan teknik-teknik penelitian yang
cermat.
d. Untuk
mencapai kecermatan dalam penelitian diperlukan pengukuran dan kuantifikasi
e. Dalam
membuat analisis politik nilai-nilai pribadi si peneliti sedapatmungkin tidak
main peran (value free)
f. Penelitian
politik mempunyai sikap terbuka terhadap konsep-konsep, teori-teori dan ilmu
social lainnya.
Untuk mempelajari perilaku politik dalam kaitan dengan
budaya politik itu melalui pendekatan tingkah laku didapatkan beberapa
keuntungan. Pertama memberikan kesempatan untuk mempelajari kegiatan dan
susunan politik di beberapa Negara yang berbeda dalam berbagai latar
belakangnya, baik latar belakang sejarah, kebudayaan maupun latar belakang
ideology. Kedua dapat mempelajari mekanisme yang menjalankan fungsi-fungsi
tertentu. Yang ketiga pendekatan tingkah laku yang mendorong perkembangan dalam pembinaan teori dan
penelitian komparatif dari Negara-negara yang sedang berkembang.
Secara kontekstual perilaku politik warga Negara
ataupun peran sector politik (elit politik) didasarkan pada persepsi budaya
politik . persepsi terhadap budaya politik tersebut kemudian akan mempengaruhi
keikhlasan dan penerimaan warga Negara terhadap keputusan-keputusan politik,
dan dalam menciptakan sikap-sikap mendukung atau penolakan warga Negara
terhadap system politik tersebut.
Untuk itulah
perilaku masyarakat Indonesia yang multietnis diharapkan memiliki
kepatuhan dan kesetiaan terhadap Negara atau paling tidak harus ada sikap
terhadap sub budaya politik mereka. Apabila keterikatan terhadap subbudaya
local sangat kuat, tampaknya sulit hal itu dapat tercapai. Salah satu jalan
untuk mengurangi hambatan adalah dengan menjauhi subbudaya politik mereka
sebagai bagian dari budaya politik.
BAB
III
PARTISIPASI
POLITIK
A.
Hakikat
Partisipasi Politik
Partisipasi politik merupakan aspek penting dalam
sebuah tatanan Negara demokrasi, sekaligus merupakan ciri khas adanya modernisasi
politik. Secara umum dalam masyarakat tradiusional yang sifat
kepemimpinan politiknya lebih ditentukan oleh segolongan elit penguasa,
keterlibatan warga Negara dalam ikut serta mempengharuhi pengambilan keputusan
, dan mempengaruhi kehidupan bangsa relative sangat kecil.
Huntington dan Nelson dalam bukunya yang berjudul
Partisipasi Politik di Negara Berkembang
berusaha mencari batasan partisipasi politik. Mereka mendefinisikan
partisipasi politik sebagai kegiatan warga Negara preman (private citizen) yang
bertujuan mempengaruhi pengambilan keputusan oleh pemerintah . di pihak lain
Budiarjo secara umum mengartikan partisipasi politik sebagai kegiatan seseorang atau kelompok
orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik yaitu dengan jalan
memilih pimpinan Negara secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi
kebijaksanaan pemerintah ( public policy). Dengan demikian , pengertian
Huntington dan Nelson dibatasi pada beberapa hal :
1. Mereka
mengartikan partsisipasi politik
hanyalah mencakup kegiatan-kegiatan dan bukan sikap-sikap. Dalam hal ini,
mereka tidak memasukkan komponen-komponen subjektifseperti pengetahuan tentang
politik, minat terhadap politik, pereasaan-perasaan mengenai politik,
keefektifan politik dan keefektifan-keefektifan politik.
2. Yang
dimaksudkan dalam partisipasi politik itu adalah warga Negara preman (biasa),
bukan pejabat-pejabat pemerintah.
3. Kegiatan
partsisipasi politik itu hanyalah
kegiatan yang dimaksudkan untuk mempengaruhi pengam,bilan keputusan pemerintah.
Partisipasi politik yang demikian merupakan tindakan-tindakan yang berusaha
mempengaruhi kebijaksanaan pemerintah, terlepas apakah itu legal atau tidak.
4. Partisipasi
poliutik juga mencakupi semua kegiatan yang mempengaruhi pemerintah , terlepas
tindakan itu efektif atau tidak, berhasil atau gagal.
5. Partisipasi
politik berupa kegiatan mempengaruhi pemerintah yang dilakukan langsung atau tidak
langsung artinya langsung oleh pelakunya itu sendiri tanpa menggunakan
perantara, tetapi adapula yang tidak langsung melakui orang-orang yang dianggap
dapat menyalurkan pemerintah.
Di Negara-negara berkembang partisipasi cenderung digerakkan secara meluas dan
diarahkan untuk kepentingan pembangunan. Dari unsure Partisipasi bahkan sulit
dibedakan .Apabila dilakukan oleh pelakunya sendiri, partisipasi politik
dinamakan partisipasi otonon, sedangkan jika menggerakkan orang lain dinamakan
partisipasi yang dimobilisasi.
Parisipasi politik memiliki lingkup dan keleluasaan
tersendiri. Kontribusi partisipasi
politik tidaklah dapat disamaratakan dalam semua system politik. System
politik yang satu lebih menekankan arti pentingnya partsisipasi politik dari
yang lain dalam sebuah system politik yang berbeda, meskipun perbedaannya
tidaklah selalu formal.
Dalam masyarakat yang primitive yang politiknya
cenderung terintegrasi dalam kegiatan masyarakat, umumnya partisipasinya cenderung tinggi bahkan mungkin sulit untuk
dibedakan dari kegiatan lain. Dengan demikian perlu diketahui pula
tingkat-tingkat partisipasi politik warga Negara dalam sebuah system politik.
Dalam menganalisis tingkat-tingkat partisipasi itu nampaknya perlu dibedakan
antara dua subdimensi , yaitu :
a. Lingkup
atau proporsi dari suatu kategori
penduduk yang diberi definisi, yang melibatkan diri dalam kegiaatan partisipasi yang khsusus
b. Intensitas
atau ukuran lamanya dan arti pentingnya kegiatan khsusus itu bagi system
politik
Di Negara-negara berkembang pola partisipasi
masyarakat memiliki kecenderungan yang berkaitan dengan proses modernisasi
dengan proses pembangunan. Dalam konteks tertentu partisipasi yang terjadi tidaklah dapat lepas
dari persoalan budaya politik yang ikut serta memberikan arti bagi akutalisasi
politiknya secara nyata.
B.
Bentuk-bentuk
partisipasi politik
Partisipasi politik dapat dilihat dari beberapa sisi.
Sebagai suatu kegiatan, partiasipasi dibedakan menjadi :
a. Partisipasi
aktif, mencakup kegiatan warga Negara mengajukan usul mengenai suatu kebijakan
umum, mengajukan alternative kebijakan umum yang berbeda dengan kebijakan
pemerintah, mengajukan kritik dan saran perbaikan untuk meluruskan
kebijaksanaan, membayar pajak, dan ikut serta dalam kegiatan pemilihan pimpinan
pemerintah .
b. Partiasipasi
pasif, antara lain berupa kegiatan mentaati peraturan/perintah, menerima dan
melaksanakan begitu saja setiap keputusan pemerintah.
Sementara itu Milbrath dan Goel membedakan partisipasi
menjadi beberapa kategori, yakni :
a. Apatis,
yakni orang yang menarik diri dari proses politik
b. Spectator,
orang-orang yang setidaknya pernah ikut dalam pemilihan umum
c. Gladiator,
orang-orang yang secara aktif terlibat dalam proses politik, yakni sebagai
komunikator dengan tugas khusus mengadakan kontak tatap muka, aktivis partai
dan pekerja kampanye, serta aktivis masyarakat.
d. Pengkritik,
yaitu orang-orang yang berpartisipasi dalam bentuk yang tidak konvensional
Beberapa julukan diberikan kepada orang-orang yang
tidak ikut serta dalam politik, seperti apastis, sinis, alienasi (terasing),
dan anomie (terpisah). Apatis (masa bodoh) dapat diartikan sebagai tidak punya
minat atau tidak punya perhatian terhadap orang lain, situasi, atau
gejala-gejala . adapun cirri-ciri apatis antara lain ketidakmampuan untuk
mengakuyi tanggung jawab pribadi, untuk
menyelidiki, atau untuk menerima emosi dan perasaan sendiri, yaitu perasaan
samar-samar dan tak dapat difahami, rasa susah, tidak aman dan merasa terancam,
menerima secara mutlak tanpa ta ntangan
otoritas nilai-nilai konvensional, membentuk suatu pola yang cocok dengan diri
sendiri, yang di situasi klinis disebut kepastian.
Mengenai keadaan ini, Rosenberg menyebutkan tiga alas
an adanya partisipasi politik, yakni :
a. Individu
memandang bahwa aktivitas politik merupakan ancaman terhadap beberapa aspek
kehidupannya
b. Individu
menganggap aktivitas politik merupakan kegiatan yang sia-sia belaka.
Individu-individu beranggapan bahwa ia tidak akan mungkin dapat mengubah keadaan
dan melakukan control politik.
c. Ketidakadaan
pesaing politik.hal itu didasarkan atas pemikiran bahwa buah pikiran
politikhanyalah memberikan kepuasan sedikit dan tak langsung, sedang hasil
langsung yang diterimanya sangat sedikit.
Goel dan Olsen memandang partisipasi sebagai dimensi
utama kehidupan stratifikasi social . mereka membagi partisipasi politik
menjadi enam lapisan. Adapun bagian-bagian tersebut adalah pemimpin politik,
aktivitas politik, komunikator, warga Negara marginal dan orang-orang yang
terisolasi.
Partisipasi politik berdasarkan sifatnya dapat
dibedakan menjadi partisipasi yang bersifat sukarela (otonom) dan atas desakan
orang lain (dimobilisasi). Nelson membedakannya dengan dua sifat yaitu
autonomous participation (partisipasi otonom) dan mobilized participation (
partisipasi yg dimobilisasikan )
Bentuk-bentuk partisipasi politik berdasarkan jumlah
pelakunya dikategorikan menjadi dua, yakni
partisipasi individual berwujud
kegiatan seperti menulis surat yang berisi tuntutan atau keluhan pada
pemerintah, sedangkan partisipasi kolektif adalah bahwa kegiatan warga Negara
secara serentak dimaksudkan untuk mempengaruhi penguasa seperti kegiatan dalam
pemilihan umum.
Partisipasi kolektif dapat dibedakan menjadi dua yakni
partsisipasi kolektif yang konvensional meliputi pemberian suara (voting),
aktivitas diskusi politik, kegiatan kampanye, aktivitas bergabung dengan
kelompok kepentingan lain, dan komun ikasi individu dengan pejabat politik dan
administrative. Dan partisipasi kolektif yang tak konvensional, meliputi
pengajuan petisi, demonstrasi, konfrontasi, pemogokan dan serangkaian tindakan
kekerasan, seperti kekerasan politik terhadap benda-benda, yang berupa
perusakan, pemboman dan pembakaran. Selain itu gerilya revolusi dan kudeta dapat
pula dimasukkan dalam kategori ini.
C.
Fungsi
Partisipasi Politik
Partisipasi politik merupakan bentuk tingkah laku baik
menyangkut aspek social maupunpolitik. Tindakan-tindakan dan aktivitas politik
tidak hanya menyangkut apa yang telah dilakukan saja, tetapi juga menyangkut
hal-hal apa yang mendorong individu berpartisipasi. Artinya motif-motif apa
yang telah mendorong individu untuk berpartisipasi. Hal itu penting, karena tindakan-tindakan politk
itu memiliki kaitan dengan partisipasi
politik itu sendiri.
Diakui bahwa terdapat hambatan dalam mengkaji
motif-motif yang mendorong tingkah laku
social dan politik itu. Hal itu antara lain disebabkan beberapa hal, antara
lain
a. Motif
yang sebenarnya dimiliki individu telah disembunyikan dan pengamat tersesat
terhadap informasi yang sesungguhnya.
b. Motif
yang sesungguhnya mungkin tidak jelas bagi individu dan mungkin ia
merasionalkan tindakannya sendiri, sebelum, sesudah atau selama berlangsungnya
peristiwa tersebut
c. Motif
yang sebenarnya tidak jelas, bukan bagi individu yang tindakannya telah
diselidiki, akan tetapi juga bagi orang lauin yang telah dipengaruhi
tindakannya.
Meskipun terdapat kualitas dalam memiliki motivasi
itu, Weber berusaha mengemukakan empat motif yang berarti. Motif itu oleh Weber
dinyatakan sebagai berikut :
a. Motif
yang rasional-bernilai, yaitu motif yang didasarkan atas penerimaan secara
rasional tas nilai-nilai suatu kelompok
b. Motif
yang afektual-emosional yaitu motif yang didasarkan atas kebenaran (
enthusianisme) terhadap suatu ide, organisasi atau individu
c. Motif
yang tradisional, yaitu motif yang didasarkan atas penerimaan norma, tingkah
laku individu dari suatu kelompok social
d. Motif
yang rasional bertujuan , yaitu motif yang didasarkan atas kepntingan pribadi
Sanit
membagi partisipasi politik di Indonesia dapat menjadi tiga tujuan :
a. Memberikan
dukungan kepada penguasa dan pemerintah yang dibentuknya beserta system politik
yang dibentuknya . partisipasi politik
ini sewring terwujud dalam bentuk pengiriman wakil-wakil/ utusan pendukung ke
pusat pemerintahan.
b. Usaha
untuk menunjukkan kelemahan dan kekurangan pemerintah. Langkah itu
dilakukan dengan harapan agar pemerintah meninjau kembali, memperbaiki atau
mengubah kelemahan tersebut.
c. Sebagai
tantangan terhadap penguasa dengan maksud menjatuhkannya sehingga diharapkan
terjadi perubahan structural dalam pemerintahan dan dalam system politik.
Bagi pemerintah, partisipasi politik warga Negara
dapat dikemukakan dalam berbagai fungsi , yakni :
a. Partisipasi politik masyarakat untuk mendukung
program-program pemerintah, hal itu berarti bahwa peran serta masyarakat
diwujudkan untuk mendukung program politik dan program pembangunan.
b. Partisipasi
masyarakat berfungsi sebagai organisasi yang menyuarakan kepentingan masyarakat
untuk masukan bagi pemerintah dalam mengarahkan dan meningkatkan pembangunan.
c. Sebagai
sarana untuk memberikan masukan, saran dan kritik terhadap pemerintah dalam
perencanaan dan pelaksanaan pembangunan
Salah satu sarana sosialisasi politik yang penting
apalagi dalam era globalisasi dan keterbukaan ini adalah media massa. Media
massa adalah sarana yang kuat untuk membentuk sikap-sikap dan
keyakinan-keyakinan politik, disamping membentuk opini masyarakat tentang
kebijakan pemerintah.
D.
Faktor-faktor
yang berpengaruh
Weiber
menyebutkan ada lima hal yang dapat menyebabkan timbulnya kearah
partisipasi yang luas dalam proses politik, yakni :
1. Modernisasi di segala bidang berimplikasi pada
komersialisasi pertanian, industrialisasi, meningkatkan arus urbanisasi,
peningkatan kemampuan baca tulis, perbaikan pendidikan dan pengembangan media
massa / media komun ikasi secara lebih luas.
2. Terjadinya
perubahan-perubahan struktur kelas social, ini sebagai akibat dari terbentuknya
kelas menengah dan pekerja baru yang makin meluas dalam era industrialisasi dan
modernisasi.
3. Pengaruh
kaum intelektual dan meningkatnya komunikasi massa. Ide-ide baru seperti
nasionalisme, liberalism, dan egakliterisme membangkitkan tuntutan-tuntutan
untuk berpartisipasi dalam pengembilan kepuutusan.
4. Adanya
konflik diantara pemimpin-pemimpin politik.
5. Adanya
keterlibatan pemerintah yang semakin meluas dalam urusan social, ekonom I dan
kebudayaan.
Sementara itu, Milbrath memberikan empat alas an bervariasinya partisipasi politik seseorang, yakni :
1. Berkenaan
dengan penerimaan perangsang politik. Milbrath menyatakan bahwa keterbukaan dan
kepekaan seseorang terhadap perangsang politik melalui kontak-kontak pribadi,
organisasi dan media massa akan memberikan pengaruh bagi keikutsertaan
seseorang dalam kegiatan politik.
2. Berkenaan
dengan karakteristik seseorang . Dapat dikatakan bahwa status ekonomi,
karakter, suku, usia, jenis kelamin dan keyakinan / agama. Faktor-faktor
tersebut merupakan karakteristik social tersebut memiliki pengaruh terhadap
partsisipasi seseorang dalam politik.
3. Menyangkut
sifat system partai tempat seseorang individu itu hidup. Hal itu menyangkut
system politik dan system kepartaian yang terdapat di lingkungan politiknya.
4. Perbedaan
regional merupakan aspek lingkungan yang berpengaruh terhadap pernedaan watak
dan tingkah laku. Dengan perbedaan regional indibvidu ini pula yang ikut
mendorong perbedaan perilaku politik dan partisipasi politik seseorang.
Sanit menyebutkan ada lima factor yang mendorong
partisipasi politik masyarakat Indonesia secara meluas , yakni :
1. Adanya
kebebasan kompetisi dalam segala bidanbg, termasuk dalam bidang politik
2. Adanya
kenyataan berpolitik secara luas dan ternbuka
3. Adanya
keleluasaan untuk mengorganisasi diri sehingga organisasi masyarakat dan partai
dapat tumbuh dengan subur.
4. Adanya penyebaran sumber daya politk di
kalangan masyarakat yang berupa kekayaan dalam masyarakat
5.
Adanya distribusi kekuasaan di
kalangan masyarakat sehingga tercipta suatu perimbangan kekuasaan.
E.
Partisipasi
Politik dalam Pembangunan
Dengan memahami model pembangunan, akan difahami
bagaimana partisipasi warga Negara dalam model pembangunan. Huntington dalam
hal ini mengemukakan empat model pembangunan yakni :
1. Model
borjuis / liberal , terdapat asumsi bahwa sebab ketimpangan social ekonomi,
kekerasan politik yang demokratis terletak pada keterbelakangan ekonomi yang
bersangkutan.
2. Model
otokratis, berusaha memusatkan kekuasaan dan ditingkatkannya pertumbuhan
ekonomi dengan menggairahkan pemerataan sosio ekonomi masyarakat untuk mrendapatkan
dukungan dari masyarakat bawah
3. Model
populis, bahwa dalam model ini terjadi lingkaran setan yang disebabkan model
tersebut menghasilkan eksplosi partisipasi sekalipun inflasi partisipasi
4. Model
tekhnokratis, didasarkan pada asumsi bahwa partisipasi harus ditekan agar tetap
rendah sehingga memungkinkan upaya untuk memajukan pembangunan
Tekanan
–tekanan pemerintah terhadap partisipasi (departisiupasi) dapat berakibat pada
suatu kondisi yang oleh Huntington disebut sebagai “ledakan partisipasi” yang
dapat menggulingkan system poltik, yang ada sekaligus pula akan memungkinkan
timbulnya perubahan fundamental dengan struktur social dan struktur ekonomi.
Sementara itu model polulasi ditandai dengan :
1. Tingklat
partisipasi poltik yang tinggi
2. Perluasan
kebijaksanaan dan kesejahteraan social
3. Peningkatan
pengusaha social
4. Pertumbuhan
ekonomi yang lamban
Berkaitan antara pembangunan sosioekonomi dengan
partisipasi politIk, Huntington menyelaraskan
koulasi antara keduanya. Pertama bahwa tingkat partisipasi politik
masyarakat cenderung berlainan atas dasar status ekonomi. Umumnya mereka yang
memiliki tingkat pendidikan yang lebih tinggi, cenderung lebih berpartisipasi
daripa yang miskin, tidak berpendidikan dan memiliki kualitas pendidikan
rendah. Kedua bahwa pembangunan ekonomi dan social secara tidak
langsung telah meningkatkan ketegangan dan tekanan antar kelompok. Ketiga
berkembangnya perekonomian yang
semakin kompleks menyebabkan banyaknya organisasi dan perkumpulan sehingga
melibatkan banyak orang dalam kelompok-kelomnpok itu. Keempat pembangunan ekonomi disamping sebagian
memerlukan perluasan-perluyasan penting dari fungsi-fungsi pemerintah,
sebagian yang lain bahkan menghasilkan. Kelima
modernisasi ekonomi yang
biasanya berlangsung bentuk pembangunan nasional. Seringkali orang perorang
memiliki loyalitas terhadap Negara cenderung mengabaikan loyalitas lain.
BAB
1V
STRUKTUR
POLITK
Secara umum struktur yang terdapat dalam suatu system
politik terdiri dari kelompok-kelompok
kepentingan partai-partai politik, badan legislative, eksekutif, birokrasi dan
badan-badan peradilan. Selanjutnya ada yang memilah struktur politik ini
menjadi struktur yang sifatnya informal dan styruktur yang sifatnya formal.
Yang termasuk dalam struktur politik
yang sifatnya informal adalah sebagai berikut :
1. Pengelompokkan masyarakat atas dasar persamaan social
ekonomi seperti golongan tani, golongan buruh, kelas
menengah, kelompok cendikiawan dan sebagainya.
2. Pengelompokkan
masyarakat atas dasar perbedaan cara, gaya di satu fihak dan pengelompokkan
atas dasar kesadaran akan adanya persamaan jenis-jenis tujuan di fihak lain,
sehingga dapat dikatakan sebagai kelompok asosiasional politik.
3. Pengelompokkan
masyarakat atas dasar kenyataan dalam
kehidupan politik rakyat.masing-masing mengemban fungsi dan peranan politik
tertentu, dan secara konvensional dikenal dalam system politik.
Yang termasuk lembaga formal adalah lembaga
legislative, eksekutif, dan yudikatif (Montesquieu), lembaga yang menjalankan
fungsi legislative, eksekutif, yudikatif dan kepolisian ( Van Vollenhoven).
Termasuk pula dalam lembaga politik formal ini adalah kelompok birokrasi, yang
terutama berfungsi sebagai pelaksanaan kebijaksanaan politik yang diambil oleh
pemerintah.
A.
Supra
Struktur Politik
Adalah struktur politik pemerintahan atau struktur
politik kenegaraan. Supra struktur politik ini
berkenaan dengan suasana
kehidupan politik pemerintah yang merupakan kompleks hal yang bersangkut paut
dengan lembaga-lembaga Negara yang ada, fungsi dan wewenang lembaga-lembaga
tersebut serta hubungan kerja antara lembaga dengan lembaga lainnya.
Yang termasuk supra struktur politik adalah
lembaga-lembaga Negara yang menurut trias politica adlah lembaga legislative,
lembaga eksekutif dan lembaga yudikatif. Tentang hubungan ketiga lembaga
tersebut adalah bahwa satu dengan yang
lainnya harus dipisahkan secara tegas. Dengan kata lain, prinsip yang dipakai
adalah prinsip pemisahan kekuasaan. UUD 1945 tidak menganut prinsip pemisahan
kekuasaan tetapi prinsip pembagian kekuasaan . ini berarti bahwa kekuasaan
dalam Negara itu dibagi, akan tetapi tidak dipisahkan secara tegas.
Kemudian apabila dihubungkan dengan UUD 1945, lembaga
supra struktur politik itu meliputi lembaga-lembaga, baik lembaga tertinggi
maupun lembaga tinggi Negara yang ditentukan keberadaannya dalam UUD. Dengan
demikian supra struktur politik itu
meliputi :
1. Majelis
Permusyawaratan Rakyat ( MPR) sebagai lembaga tertinggi Negara pemegang
kedaulatan rakyat
2. Presiden,
sebagai kepala Negara dan sebagai kepala pemerintahan yang bersama-sama dengan
DPR merupakan lembaga pembuat Undang-undang
3. Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai pemegang kekuasaan membuat undang-undang
4. Dewan
Pertimbangan Agung (DPA) yang bertugas memberikan berbagai pertimbangan kepada
presiden baik diminta maupun tidak
5. Badan
Pemeriksa Keuangan (BPK) yang bertugas memeriksa tanggung jawab keuangan Negara
untuk kemudian melaporkan hasil pemeriksaan itu kepada DPR
6. Mahkamah
Agung (MA) sebagai lembaga pemegang kekuasaan kehakiman
B.
Infra
Struktur Politik
Adalah struktur politik kemasyarakatan, komponen infra
struktur politik berkenaan dengan suasana kehidupan politik rakyat (
socio-political sphare) yaitu kompleks
hal-hal yang bersangkut paut dengan pengelompokkan warga Negara dan
anggota masyarakat ke dalam berbagai macam golongan yang biasanya disebut
sebagai kekuatan social politik dalam masyarakat, infrastruktur politik terdiri
atas komponen-komponen sebagai berikut :
1. Partai
politik / political party
2. Kelompok
kepentingan / interest group
3. Kelompok
penekan / pressure group
4. Media
komunikasi politik/ political conmmunication media
5. Tokoh
politik / political figure
Dalam system politik di Indonesia,
komponen organisasi infrastruktur politik meliputi :
1. Yang
secara formal diakui pemerintah dan ikut serta menjadi kontestan pemilihan umum
2. Yang
secara formal tidak ikut serta menjadi kontestan dalam pemiulu, akan tetapi
sedikit banyak mempengaruhi hasil-hasil pemilu
3.
Tokoh-tokoh masyarakat, yang dengan
penunjukkan presiden/ pemerintah banyak
yang ikut duduk dalam lembaga tertinggi Negara atau lembaga tinggi Negara
C.
Fungsi
Sosialisasi Politik
Sosialisasi politik
adalah suatu proses yang dilalui
seseorang dalam memperoleh sikap dan orientasi terhadap fenomena politik yang
ada dalam masyarakat tempat orang itu berada. Sosialisasi politik juga
mencakupi proses penyampaian norma-norma dan nilai-nilai dari satu generasi ke
generasi berikutnya.
Fungsi sosialisasi politik itu sangat penting sebab
sosialisasi dapat meningkatkan pengetahuan dan pemahaman masyarakat tentang
kehidupan politik yang pada gilirannya dapat mendorong tumbuhnya partisipasi
secara maksimal dalam system politiknya.
Proses sosialisasi politik
diharapkan terjadi secara merata di seluruh lapisan masyarakat agar pengetahuan
dan pemahaman tentang kehidupan politik tidak hanya menjadi monopoli kalangan
elit politik.
D.
Fungsi
Rekruitmen Politik
Merupakan fungsi penyeleksian rakyat untuk kegiatan
politik dan jabatan pemerintahan melalui penampilan dalam media komunikasi,
menjadi anggota organisasi, mencalonkan diri untuk jabatan tertentu dan
sebagainya. Fungsi rekruitmen politik itu dapat juga disebut sebagai fungsi
seleksi kepemimpinan. Seleksi
kepemimpinan dalam suatu struktur politik dilakukan secara teratur dan
terencana sesuai dengan kaidah/ norma-norma yang ada serta harapan masyarakat. Dalam hubungan
dengan masalah kepemimpinan ini, Finer menyebutkan beberapa sifat ideal seorang
pemimpin , yaitu ;
1. Kesadaran/
conscsiousness
2. Kebulatan
pandangan/ coherence
3. Ketetapan
jiwa / constancy
4. Keyakinan/
convictrion
5. Kreativitas
/ creativiness
6. Keberanian/
courage
7. Kemampuan
memukau , dan
8. Kepandaian.
E.
Fungsi
Komunikasi Politik
Komunikasi politik merupakan jalan mengalirnya
informasi melalui masyarakat dan melalui berbagai struktur yang ada dalam
system politik. Dengan lain perkataan, fungsi komunikasi politik itu adalah
fungsi struktur politik menyerap berbagai aspirasi, pandangan-pandangan dan
gagasan-gagasan yang berkembang dalam masyarakat dan menyalurkan sebagai
bahan dalam penentuan kebijaksanaan.
Selain itu, fungsi komunikasi politik
juga merupakan fungsi penyebarluasan rencana-rencana atau
kebijaksanaan-kebijaksanaan pemerintah kepada rakyat.
Fungsi komunikasi politik itu terutama dijalankan oleh
media massa, baik itu media cetak maupun media elektronik. Dengan demikian,
media massa itu memiliki peranan yang strategis dalam suatu system politik.
Peranan media massa bukan hanya sebatas penyaluran informasi timbal balik
sebagaimana disebutkan diatas, akan tetapi
juga berperan dalam membentuk pendapat massa
( public opinion ).
F.
Fungsi
Artikulasi Kepentingan
Artikulasi kepentingan dapat dikatakan sebagai suatu
proses yang mengolah aspirasii masyarakat yang bercorak ragam yang disaring dan
dirumuskan dalam bentuk rumusan yang teratur. Dengan demikian aspirasi yang
beranekaragam itu dapat difahami untuk selanjutnya dicerminkan dalam
kebijaksanaan.
G.
Fungsi
Agregasi Kepentingan
Yakni fungsi
menggabungkan berbagai kepentingan yang sama atau hampir sama untuk dituangkan
dalam rumusan kebijaksanaan. Jadi, dengan
proses agregasi kepentingan ini,
yang muncul bukan lagi kepentingan orang perorang atau kepentingan kelompok
orang saja, akan tetapi kepentingan masyarakat. Kepentingan masyarakat Ini kemudian disalurkan pada penentu
kebijaksanaan dengan maksud agar dapat dituangkan dalam suatu kebijaksanaan
politik.
H.
Fungsi
Pembuatan Kebijaksanaan
Merupakan fungsi yang dijalankan oleh lembaga
legislative. Untuk menjalankan fungsi itu legislative dapat bekerjasama dengan lembaga
eksekutif. Fungsi lembaga legislative secara umum dapat dirumuskan sebagai
berikut :
1. Membuat
undang-undang bersama eksekutif
2. Menyusun
anggaran penerimaan belanja Negara
3. Mengawasi
pelaksanaan undang-undang serta penerimaan dan penggunaan anggaran Negara.
4. Menulis,
menyetujui atau mengusulkan seseorang atau lebih pejabat Negara
I.
Fungsi
penerapan kebijaksanaan
Fungsi penerapan kebijaksanaan atau peraturan
dijalankan oleh lembaga eksekutif beserta jajaran birokrasinya. Fungsi
penerapan peraturan tidak hanya berarti pelaksanaan peraturan, tetap[I juga
berarti pembuatan rincian dan pedoman
pelaksanaan peraturan, malahan dalam banyak hal harus membeberkan penafsiran
atas peraturan tersebut sehingga mudah difahami dan ditaati oleh warga Negara.
J.
Fungsi
Penghakiman Kebijaksanaan
Merupakan
fungsi untuk menyelesaikan pertikaian atau persengketaan yang menyangkut
persoalan peraturan, pelanggaran peraturan, dan penegasan fakta-fakta yang
perlu untukmendapatkan keadilan. Dengan
kata lain fungsi penghakiman ini merupaka fungsi untuk membuat suatu keputusan
yang mencerminkan rasa keadilan apabila terjadi penyelenggaraan atau
penentangan terhadap peraturan perundangan.
Penghakiman peraturan pada dasarnya bertujuan menjamin
kepastian hokum tercipta suasana tertib
dalam masyarakat. Tetapi, fungsi penghakiman peraturan itu dalam
perkembangannya juga menjadi fungsi pembuatan peraturan
K.
Perilaku
Suprasrtruktur
Fungsi yang secara khusus melekat pada suprastruktur
atau lembaga-lembaga pemerintah adalah tiga fungsi yang disebutkan terakhir
yaitu, fungsi pembuatan kebijaksanaan,
fungsi pelaksanaan kebijaksanaan, dan fungsi penghakiman kebijaksanaan. Ada
tiga unsure yang perlu diperhatikan dalam proses pembuatan keputusan, yaitu
jumlah orang yang ikut mengambil keputusan, peraturan pembuatan keputusan atau formula
pengambilan keputusan dan informasi.
L.
Perilaku
Infra Struktur Politik
Dalam suatu system politik infrastruktur politik
menjalankan fungsi masukan. Fungsi masukan itu memberikan bahan masukan atau
informasi yang harus diproses oleh system tersebut serta tenaga yang dibutuhkan
untuk kelangsungan hidup system itu. Fungsi masukan mencakup dua unsure yaitu
tuntutan dan dukungan . Yang dimaksud dengan tuntutan itu tidak lain adalah
keinginan-keinginan atau aspirasi masyarakat yang terorganisasi dalam berbagai
organisasi baik berupa partai politik maupun kelompok-kelompok kepentingan.
Sedangkan unsure dukungan merpakan pandangan-pandangan atau tindakan-tindakan
yang memberikan support untuk bekerjanya system politik.
Fungsi masukan itu dijalankan oleh komponen-komponen
infrastruktur politik yang didalamnya
terdiri dari partai-partai politik, kelompok-kelompok kepentingan , tokoh-tokoh
politik dan media masa.
BAB V
ELIT POLITIK
A.
Teori
Klasik tentang Elit
Mosca , dalam karya klasiknya “
The Rulling Class” mengemukakan bahwa …Dalam
setiap istmasyarakat, terdapat dua kelas
penduduk, satu kelas yg menguasai dan
satu kelas yang dikuasai . Kelas pertama yang jumlahnya selalu lebih kecil,
menjalankan semua fungsi politik, memonopoli kekuasaan dan menikmati keuntungan
yang diberikan oleh kekuasaan itu, sedangkan kelas kedua yang jumlahnya jauh
lebih besar , diatur dan dikendalikan oleh kelas pertama itu….
Istilah elit digunakan pada abad ke
tujuh belas untuk menyebut barang-barang dagangan yg mempunyai keutamaan
khusus. Istilah itu juga kemudian digunakan untuk menyebut kelompok-kelompok
social tinggi, seperti kesatuan-kesatuan militer yang utama atau kalangan
bangsawan atas.
Pareto mendeskripsi pengertian elit dengan berbagai
penuturan dan con toh yang bervariasi, tetapi sebenarnya yang dimaksudkan
adalah bahwa bakat dan kemampuan setiap individu berbeda-berbeda dalam setiap
lapisan social. Untuk itulah kemudian
sering dikenal pengelompokkan struktur social kedalam dua kelompok. Pertama
lapisan yang lebih rendah, yakni sekelompokj massa yang tidak merupakan
golongan elit yang mungkin berpengaruh juga dalam pemerintahan. Kedualapisan
yang lebih tinggi yakni golongan elit yang terdiri dari elit memerintah dan
elit yang tidak memerintah.
Dalam konsep klasik, elit ini oleh
Pareto dan Mosca telah dikaitkan dengan pengertian kelompok orang-orang secara
langsung atau karena posisinya sangat kuat pengaruhnya dalam menjalankan
kekuasaan politik. Secara umum, mereka
memberikan konsep-konsep mengenai elit. Mereka berpendapat bahwa dalam setiap
masyarakat senantiasa ada dan harus ada suatu kelompok minoritas yang
memerintah masyarakat itu. Kelompok yang kecil itu merupakan “kelas politik “,
elit yang menduduki kelas-kelas komando
yang memerintah dan memegang kendali
atas pemegang keputusan politik.
B.
Konsep
elit dan kekuasaan
Berbagai konsep dalam teori-teori
klasik tentang elit, nampaknya struktur tidak dapat dilepaskan dengan
kekuasaan. Hal itu dapat difahami karena kelompok elit merupakan unsure penting
dalam menjalankan kekuasaan. Ia berada dalam bangunan yang rapi, solid dan
tidak mudah disentuh oleh rakyat kebanyakan. Istilah elit ini sekarang telah
difahami dan umumnya digunakan untuk menyuebut kelompok-kelompok fungsional dan
pemangku-pemangku jabatan yang memiliki status tinggi ( karena alas an apapun )
dalam masyarakat. Dalam kerangka itulah, maka dalam pembahasan ini elit
merupakan bagian integral dari struktur kekuasaan.
Untuk mengkaji kedudukan elit
dalam masyarakat elemen yang penting
ialah konsep kekuasaan. Hal itu disadari bahwa elit dan kekuasaan merupakan dua
variable yang tidak dapat dipisahkan, karena eliut adalah sekelompok orang yang
menguasai kekuasaan dan sebaliknya kekuasaan merupakan tempat bagi muncul dan
berkembangnya elit.
Putman membagi stratifikasi politik dalam
enam lapisan , yakni terdiri dari :
1. Kelompok
pembuat keputusan/kaum berpengaruh
2. Aktivis
3. Public
peminat
4. Politik
5. Kaum
pemilih
6. Non
partisipan
Konsep pelapisan
kekuasaan tersebut merupakan salah satu konsep yang meletakkan elit dalam
struktur politik, dan tidak dalam struktur social lainnya.dengan dasar itu,
makin tinggi tingkat partisipasi
kelompok masyarakat tertentu dalam politik akan makin tinggi pulalah kedudukannya
dalam pelapisan sosial
itu.
C.
Elit
yang memerintah
Pandangan elitisme secara tegas
membagi masyarakat menjadi dua, yakni sekelompok kecil masyarakat yang
mempunyai kekuasaan dan sekelompok besar orang dalam masyarakat yang tidak
memiliki kekuasaan. Dalam model elit yang memerintah itu, sekelompok kecil
masyarakat itu berhak untuk melakukan pengalokasian sumber-sumber kekuasaan
yang atau nilai-nilai dalam masyarakat sekaligus membuat dan melaksanakan
keputusan-keputusan politik.
Sifat dan karakter elit politik
dikemukakan oleh Dye dan Zeigler dengan cukup jelas. Dengan memahami karakter
dan sifat-sifatnya itu dapat pula dimengerti bagaimana perilaku npolitik elit
politik tersebut dalam sebuah system politiknya. Ia pada prinsipnya
mengemukakan tiga perbedaan karakter dasar dalam model elit ini.
1. Elit
politk yang selalu berusaha memenuhi kepentingannya sendiri. Hal itu dapat
diartikan bahwa apa-apa yang dilakukan oleh elit politik itu senantiasa
diorientasikan dan ditujukan untuk pemenuhan kepentingannya sendiri atau demi
kepentingan golongannya.
2. Elit
politik yang segala perilaku politiknya berorientasi pada masyarakat umum.
Dengan demikian umumnya model ini memiliki sifat yang terbuka kepada golongan masyarakat yang bukan elit. Mereka memiliki kecenderungan untuk
membiarkan kondisi yang kompetitif dalam masyarakat untuk menduduki elit
politik sehingga lapisan politik ini cenderung bersifat pluralistic.
3. Golongan
“counter elit” yakni pemimpin-pemimpin yang berorientasi pada masuarakat banyak
dengan cara menentang segala bentuk kemapanan dan segala bentuk perubahan.
Kelompok ini memiliki cirri-ciri yaitu ekstrim, tidak toleran, anti
intelektualisme, mempunyai identitas rasial, menuntut persamaan, dan menggunakan
kekerasan dalam memperjuangkan aspirasinya.
D.
Model
Pluralis
Dalam model pluralis,pemerintah
berperan sebagai sasaran dari tuntutan-tuntutan kelompok dan organisasi masyarakat. Tuntutan-tuntutan
itu selanjutnya oleh pemerintah ditampung dan dipertimbangkan untuk dijadikan
sebagai bahan dalam pembuatan keputusan-keputusan politik. Dengan kata lain,
pemerintah hanyalah bertugas untuk memelihara berbagai kepentingan baik antar
kelompok dan golongan maupun organisasi-organisasi social kemasyarakatan dan
organisasi social politik. Hal itu dijalankan pemerintah antar antara
organisasi-organisasi dan kelompok-kelompok tersebut tidak terjadi
pertentangan.
E.
Model
Kerakyatan
Dalam model ini yang menjadi
perhatian utama dari kekuasaan adalah rakyat. Partisipasi rakyat dalam
mengalokasikan kekuasaan pada masyarakat merupakan hak rakyat sepenuhnya. Untuk
itulah model ini seringkali disebut
dengan model demokrasi, meskipun sesuai dengan tatanilai yang terdapat
dalam masyarakat, akhirnya muncul pula pandangan yang berbeda mengenai demokrasi, seperti dalam masyarakat
rakyat yang lebih memandang bahwa rakyat
adalah individu-individu warga Negara, cenderung memiliki pandangan kea rah
demokrasi liberal, sedangkan pengertian yang mendasarkan bahwa rakyat adalah
keseluruhan warga Negara secara kolektif sering nampak dalam system
pemerintahan Asia dan Eropa.
Paling tidak terdapat tiga asumsi
dari model kerakyatan ini berdasarkan pemahaman demokrasi, yakni :
1. Setiap
warga Negara yang telah dewasa secara potensial memiliki kekuasaan politik
seperti hak memilih dalam pemilihan umum.
2. Setiap
warga Negara mempunyai perhatian dan minat yang besar pada proses politik, karena itu setiap warga Negara
mempunyai motivasi untuk aktif dalam politik.
3. Setiap
warga Negara mempunyai kemampuan untuk mengadakan penilaian terhadap politik,
karena mereka mempunyai informasi politik yang memadai.
4. Warga
Negara memiliki peranan yang besar dalam pembuatan keputusan politik.
F.
Interaksi
Elit Massa
Elit politik berhubungan erat
sekali dengan kekuasaan, bila dikaitkan dengan variable tujuan , cara
penggunaan sumber-sumber pengaruh dan hasil penggunaan sumber-sumber tersebut,
kekuasaan memiliki beberapa cirri yang oleh Aldrian dikemukakan sebagai berikut
:
1. Kekuasaan
terutama merupakan hubungan antar manusia
2. Pemegang
kekuasaan mempengaruhi pihak lain
3. Pemegang
kekuasaan itu bisa seorang individu, sekelompok orang, kelompok social,
kelompok budaya atau bisa juga pemerintah
4. Sasaran
kekuasaan bisa berupa individu, kelompok atau pemerintah
5. Seorang
yang mempunyai sumber-sumber kekuasaan belum tentu mempunyai kekuasaan
6. Penggunaan
sumber-sumber mungkin secara paksaan, consensus atau kombinasi
7. Hasil
penggunaan sumber-sumber itu bisa menguntungkan seluruh masyarakat atau bisa
juga hanya menguntungkan sekelompok kecil masyarakat
8. Umumnya
kekuasaan politik mempunyai makna bahwa sumber-sumber itu digunakan dan
dilaksanakan untuk masyarakat umum
9. Kekuasaan
yang beraspek politik adalah penggunaan sumber-sumber untuk mempengaruhi proses
pem,buatan dan pelaksanaan keputusan politik.
Dengan demikan, sebenarnya interaksi
antara elit dengan massa bukanlah suatu hal yang sangat istimewa dalam proses
politik. Hal itu juga bukan pula sebagai proses yang aneh, tetapi sebenarnya
sebagai proses yang alami dalam suatu kekuasaan atau pemerintahan yang harus
ada dan diadakan.
Kekuatan massa sebagai bagian dari actor politik memiliki arti yang
penting karena jumlahnya yang sangat besar.
Kekuatan massa itu makin penting jika dihubungkan dengan konteks proses
politk yang dilembagakan seperti dalam pemilihan umum. Dalam hal ini suara
rakyat secara individu sekalipun memiliki nilai politik yang tinggi dalam ikut
mennentukan munculnya elit politik.
BAB VI
KELAS
MENENGAH DAN POLITIK
A. Pengertian
Lev, menggunakan istilah “ kelompok tengah “ (middle groups),
sedangkan Johnson dkk lebih menyukai penggunaan kata “kelompok menengah”
(intermediate groups), sebuah kumpulan dinamis yang tumbuh dalam ruang diantara
dua kelas yang terpolarisasi . mereka yang terlibat , yang bukan dating dari
kalangan petani atau pekerja kota di satu fihak ataupun elit Negara di fihak
lain, menempati strata wiraswastawan komersial, financial dan professional
dalam ekonomi.
Sulitnya memberikan definisi tentang kelas menengah
juga disampaikan oleh Robinson yang mengatakan bahwa pendefinisian “kelas
menengah” dalam pengertian politik yang
manapun merupakan proporsi yang sulit, karena walaupun digunakan secara umum,
istilah itu telah digunakan secara tidak hati-hati. Dalam tingkat yang lebih
popular dan luas, istilah itu biasanya diartikan sebagai suatu kelas yang
mencakupi kelompok-kelompok social yang berkembang, yang dianggap berada
diantara buruh dan petani, atau kelas bawah disatu fihak dan kelas yang
berkuasa.
Dua pandangan tentang pengertian kelas menengah
seperti masih agak kabur dan belum memadai. Mereka hanya mengatakan bahwa kelas menengah merupakan kelas atau
kelompok masyarakat yang berada diantara kelas bawah (buruh dan tani) dan kelas
atas (elit penguasa) tanpa memberikan batasan-batasan rinci yang memberikan
pemahaman yang lebih lengkap dan jelas mengenai persoalan tersebut.
Huntington , dalam penjelasannya tentang kelas
menengah dan pengembangna demokrasi,merinci kelas menengah dengan menunjuk pada
kelompok masyarakat yang memiliki mata pencaharian sebagai pengusaha, kaum
professional, guru, pegawai negeri, manager, teknisi, klerek dan pekerja di
bidang penjualan. Keadaan kelas itu oleh Huntington dipandang semakin membesar,
sebagai akibat dari pertumbuhan ekonomi global.
B. Pertumbuhan Kelas Menengah
Satu atribut yang penting dari kelompok menengah
adalah bahwa ia berdiri independen dari otoritas pemerintah,bahkan lebih
bersifat antagonistic terhadap otoritas belanda. Kendatipun, jumlah mereka itu
sedikit , mereka berhasil menciptakan perubahan-perubahan yang berarti.
Memasuki masa kemerdekaan, kelompok-kelompok menengah setelah berhasil
membangun gerakan nasionalis dan memimpin revolusi dan mendominasi Negara baru
tersebut.
Pertumbuhan kelas menengah di Indonesia, atau di
setiap Negara berkembang yang lain,
dipengaruhi oleh sejumlah variable. Secara konseptual, kita dapat mengatakan
bahwa tingkat pertumbuhan kelas menengah setidak-tidaknya berkaitan dengan
variable-variabel sebagai berikut :
1.
Tingkat urbanisasi di Indonesia yang
meningkat dari waktu ke waktu
2.
Perluasan pendidikan, khususnya pendidikan
menengah dan kejuruan
3.
Perluasan industry-industri manufaktur dan
tersier serta tingkat lapangan kerja
4.
Pemilikan rumah mewah khususnya di
perkotaan
5.
Penghasilan-penghasilan bisnis dari
kegiatan-kegiatan komersil dan industry
6.
Penghasilan investasi
7.
Kredit-kredit murah yang disediakan
pemerintah
C. Perilaku Politik Kelas Menengah
Secara historis kelas menengah telah menjadi sumber
desakan bagi terjadinya perubahan baik dalam bidang ekonomi, budaya, social
maupun politik. Kepemimpinan dari suatu gerakan nasionalis dan antikolonial
umumnya muncul dari golongan strata menengah baru. Mereka umumnya telah
menunjukkan kepedulian yang sungguh-sungguh untuk memperbaikikeadaan yg mereka
perjuangkan dan memiliki prasarana yang cukup untuk mewujudkan perubahan.
Tentang kelas menengah secara umum, Huntington
memperlihatkan adanya gejala bahwa pertumbuhan ekonomi global yang luar biasa
pada tahun 1960-an mengakibatkan meningkatnya standar hidup, taraf pendidikan,
dan sangat membesarnya kelas menengah di perkotaan.
Mengenai peran yang dijalankan oleh kelas menengah, ia
mengatakan bahwa hamper disetiap Negara pendukung demokratisasi yang paling
aktif berasal dari kelas menengah perkotaan. Tentang kaitan dengan pertumbuhan
ekonomi , kelas menengah dan demokratisasi dapat dijelaskan bahwa dengan adanya
pertumbuhan ekonomi, masyarakat secara umum akan mengalami peningkatan taraf
hidup. Peningkatan taraf hidup berarti membawa pergeseran struktyur kelas,
antara lain Nampak dengan munculnya kelas menengah yang baru dalam masyarakat.
Di Indonesia, partumbuhan kelas menengah telah menjadi
aspek penting selama pemerintahan orde baru. Hal itu tidak lain merupakan
pengaruh dari pembangunan nasional yang dilaksanakan selama ini. Dengan
pembangunan yang telah dilaksanakan itu telah terjadi pertumbuhan ekonomi yang
cuk,up pesat, termasuk di pedesaan.
Mengenai nilai-nilai tertentu yang berkenaan dengan
keberadaan kelas menengah, Dick mengemukakan adanya nilai-nilai berupa komitmen
bersama terhadap pembangunan, pemerataan, dan terhadap kemajuan (seperti
penghargaan, kemajuan karir melalui pendidikan dan pengalaman).Kelas menengah semakin menaruh perhatian terhadap
ide-ide dmokrasi yang liberal, peraturan hokum dan kebebasan berbicara.
D. Kelas Menengah dan Perubahan
Salah satu karakteristik penting yang dimiliki kelas
menengah bahwa ia muncul sebagai akibat dari perubahan dan kemudian
keberadaannya mendorong terjadinya perubahan dalam masyarakat. Golongan
masyarakat yang menempati struktur diantara golongan tani dan buruh dengan
golongan elit penguasa ini memiliki jumlah yang besar dan terus bertambah.
Perkembangan modernisasi, industrialisasi, serta bertambahnya tingkat
pendidikan merupakan sebab makin berkembangnya kelompok social ini.
Dalam struktur social, kelompok social ini memiliki
peran-peran penting meskipun tidak dapat dikatakan menentukan . keadaan social
ekonomi yang makin baik dan kedudukan social yang makin tinggi merupakan salah
satu factor meningkatnya partisipasi politik warga Negara. Kesadaran akan
kedudukan dan perananya itu membawa konsekuensi terhadap makin meningkatnya
tuntutan-tuntutan masyarakat terhadap pembangunan dan kesadaran terhadap
peranannya dalam proses-proses politik.
Golongan menengah membawa iklim perubahan baik karena
kedudukannya maupun karena peranannya. Berdasarkan kedudukannya mereka berada
pada kelompok menengah kebawah yang kehidupan ekonominya relative terbatas,
seperti pekerja, kaum professional, karyawan, pegawai dan sebagainya yang
jumlahnya hingga kini terus bertambah.
Dengan demikian, dalam struktur dan system politik
kelompok ini memiliki peran strategis jika tidak boleh dikatakan mementukan.
Lapisan social ini merupakan lapisan yang dinamis dalam membawakan
aspirasi-aspirasi perubahan serta berusaha mewujudkan perubahan itu. Dengan itu
kelompok social ini keberadaan maupun peranannya tetap diperhitungkan dalam
sebuah system politik demokratis.
BAB
VII
BIROKRASI
DALAM POLITIK
Istilah birokrasi dipandang selalu berkaitan dengan
gejala prosedur yang berbelit-belit, mekanisme kerja yang tak jelas, berliku-liku serta sarana
penyalahgunaan status dan wewenang. Birokrasi yang sering dipandang secara simultan
menampilkan citra yang kontradiktif dari efisiensi dan ancaman kekuasaan.
Inkompetensi , korupsi, dan pemborosan di satu fihak, manipulasi pengrusakkan
dan intrik2 di fihak lain merupakan contoh kebobrokan.
Meskipun demikian, sulit rasanya untuk mendefinisikan
pengertian birokrasi karena tiap-tiap disiplin ilmu memiliki pengertiannya
sendiri-sendiri berdasarkan pendekatan yang digunakan. Beetham paling tidak
membedakan terminology birokrasi menurut penggunaannya, yakni :
1.
Pengertian birokrasi abad ke-19 adalah
untuk mengindikasi tipe-tipe system politik yang secara harfiah berarti pemerintahan oleh biro, sedangkan dalam abad
ke-20, pemerintahan birokrasi dianggap sebagai sebuah cirri kediktatoran
militer atau pemerintahan satu partai.
2.
Dipelopori oleh Weber dlam sosiologi
organisasi. Ia menegaskan bahwa birokrasi pemerintahan yang dilakukan secara
terus menerus oleh para professional terlatih sesuai peranan-peranan yang sudah dilakukan bukanlah
tipe pemerintahan
3.
Penggunaan yang berakar pada disiplin administrasi Negara. Dalam konteks
ini birokrasi berarti administrasi Negara yang jelas dibedakan secara tegas
dengan administrasi swasta. Muaranya adalah pada upaya mengidentifikasi
perbedaan antara keduanya dan untuk menekankan secara kualitatif karakter yang berbeda yang dimiliki oleh
system administrasi berdasarkan situasi dalam bidang pemerintahan.
A. Teori dan Perkembangan Birokrasi
Secara etimologis istilah birokrasi berasal dari kata
bureau ( bahasa Prancis) yang berarti meja tulis dan kratos (bahasa yunani)
yang berarti pemerintahan. Secara sederhana dapatlah dikatakan bahwa birokrasi
adalah orang-orang yang bekerja dibelakang meja tulis di kantor-kantor.
Pengertian itu kemudian berkembang. Dalam konteks politik birokrasi diartikan sebagai wujud dari aparat
pemerintahan Negara dalam melaksanakan kebijakan-kebijakan tersebut melalui
serangkaian tahapan atau biro-biro yang masing-masing diberi mandat atau dalam
menentukan suatu tahap kebijakan yang disesuaikan dengan kondisi d an situasi
tentang kasus yang dihadapi.
Dalam teori sosiologi organisasi ini, Weber memberikan
konsep birokrasi “tipe ideal” yang memiliki cirri-ciri pokok sebagai berikut :
1.
Kegiatan sehari-hari yang dibutuhkan untuk
mencapai tujuan-tujuan organisasi didistribusi melalui cara yang telah
ditentukan dan dianggap sebagai tugas-tugas resmi.
2.
Pengorganisasian kantor mengikuti prinsip
hierarkis. Hal itu berarti bahwa setiap pejabat yang berada dalam hierarki
administrasi itu diberi kepercayaan oleh
atasan-atsannya untuk bertanggung jawab atas semua keputusan dan tindakan yang
dilakukan oleh bawahannya dan pekerjaannya sendiri.
3.
Pelaksanaan tugas diatur oleh suatu system
peraturan-peraturan abstrak yg konsisten dan mencakup juga penerapan
aturan-aturan ini dalam kasus-kasus tertentu.
4.
Seorang pejabat yg ideal , melaksanakan
tugas-tugasnya dengan semangat “Sine ira et studio “
(formal
dan tidak bersifat pribadi) tanpa perasaan-perasaan dendam atau nafsu dan
tetapi dengan perasaan kasih saying atau antusiasme.
5.
Pekerjaan dalam suatu organisasi
birokratis didasarkan pada kualifikasi teknis dan dilindungi dari kemungkinan
pemecatan oleh sepihak.
6.
Pengalaman secara universal cenderung
mengungkapkan bahwa tipe orga nisasi administrative yang murni berciri
birokratis dilihat dari sudut pandangan yang semata-mata bersifat teknis mampu
mencapai tingkat efisiensi yg tertinggi.
Munculnya birokrasi dapat dijelaskan dari beberapa
sudut pandang . Sudut pandang pertama
adalah –kondisi historis yang mendorong munculnya birokrasi. Satu hal yang
menyebabkan suburnya birokrasi ialah dikenalnya system ekonomi uang.
Ketergantungan ekonomi seorang pegawai upahan pada pekerjaan dan kebebasan
untuk memajukan diri dalam karir menciptakan orientasi terhadap kerja yang
mengharuskan seseorang bersikap disiplin dan bertanggung jawab.
Sementara itu
dalam masa colonial birokrasi tidak juga diabdikan pada kepentingan
rakyat, melainkan sebatas pada kepentingan elit. Meskipun birokrasi telah
mengalami pemoderennan, para anggotanya tidak diajar bagaimana mengembangkan
dan meningkatkan partisipasi rakyat. Pada masa itu birokrasi dijadikan alat
bagi pemerintah colonial dengan memanfaatkan sumber daya pribumi.
Satu bentuk yg menonjol dari birokrasi adalah adanya wewenang antara
persyaratan dinas dengan kenyataan yang terjadi. Kewenangan atasan birokratis
adalah mengadakan pengawasana terhadap pegawai pada tingkat dibawahnya secara
ketat dan objektif.
B. Birokrasi dalam Pembangunan Politik
Berangkat dari tujuan awalnya bahwa birokrasi
diciptakan untuk memudahkan pekerjaan dan dalam beberapa hal akan membantu
proses perkembangan yang lebih efisien, analisis mengenai konteks pembangunan
politik diarahkan pada kerangka tersebut. Dengan kerangka itu, pertama-tama
akan dikenal istilah birokrasi politis dan birokrasi administratif.
Birokrasi
politis berasal dari organisasi-organisasi di luar pemerintahan dan
memperjuangkan pandangan dan tujuan-tujuan praktis politis suatu golongan atau beberrapa golongan dalam masyarakat.
Birokrasi ini berorientasi pada
kepentingan masyarakat yang sekaligus merupakan cirri yang membedakannya dengan
birokrasi administrative.
Birokrasi melahirkan birokrat-birokrat adalah premis
yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Tetapi persoalannya bukanlah mengapa
birokrasi mesti melahirkan birokrat, akan tetapi bagaimanakah peranan
birokrat-birokrat tersebut dalam kehidupan politik. Diakui atau tidak kaum
birokrat dalam pembangunan politik
memiliki peranan yang strategis . ia merupakan organ politik yang memiliki
kewenangan dalam pembuatan kebijakan dan pembuatan produk-produk keputusan yg
berpengaruh terhadap masyarakat luas.
Peranan birokrat dalam proses pemerintahan terutama
dalam penentuan keputusan secara actual dan formal ialah sebagai agen dari para
pembuat keputusan , bukan anggota pembuat keputusan , yang bberperan hanya
alatnyabukan fihak yg bebas berfikir menurut kemauannyadan merupakan pelaksana
netral dari rencana-rencana yang ditetapkan fihak lain.
Di Negara-negara berkembang terdapat birokrasi yg
sering berlawanan arah. Ia justru menjadi perangkat yg bukannya mempermudah,
melainkan justru mempersulit warga Negara dengan berkedok setia pada hukum dan
peraturan yang berbelit-belit atau
bahkan diciptakannya sendiri. Mereka bersikap seperti orang-orang penting yang
setiap saat beranggapan tandatangannya diburu orang banyak dan mengharapkan
penghormatan yang berlebih-lebihan serta sambutan –sambutan yang meriah dari
rakyat dari setiap kedatangannya.
Dari keadaan demikian seperti itu nampaknya terjadi perkembangan yang berbanding terbalik
arah dari substansi birokrasi itu sendiri. Mereka yang sebenarnya digaji untuk
mengabdi pada rakyat, justru menguasai rakyat dan rakyat yang mengabdi padanya.
Keadaan menjadi “up side down”
C. Birokrasi dan Sistem Kepartaian
Sistem kepartaian telah menjadi mesin bagi terciptanya
birokrat-birokrat melalui proses seleksi maupun cara-cara procedural yang biasa
dipakai dalam system itu. Aturan-aturan yang disusun dalam sebuah system
kepartaian merupakan perangkat lunak yang dapat dipergunakan bagi terciptanya
standar kualitas dan criteria baku terbentuknya birokrasi yang mendukung system
politik, apabila dijalankan.
Birokrat yang muncul dengan dukungan partai politik
tertentu, dalam praktek-praktek politiknya akan cenderung untuk melindungi bahkan
menciptakan peluang bagi berkembangnya organisasi politik tempat ia dimunculkan
, meskipun secara hati-hati. Birokrat-birokrat yang menduduki posisi yang tinggi, yang memiliki kewenangan cukup
besar umumnya memberikan perlindungan terhadap partai politiknya dalam bentuk
seperti menciptakan produk-produk peraturan yang dapat menciptakan iklim
kestabilan politik, agar system politik dapat berjalan dengan wajar dan keadaan
yang oleh mereka dianggap telah mapan itu tidaklah berubah.
Birokrasi dalam pembangunan dengan demikian memiliki
arti dan peranan yang pentibng. Sebab proses-proses pengambilan keputusan dapat
dipertimbangkan dan ditetapka. Pengorganisasian masalah melalui
organisasi-organisasi yg rapih dan sitematis
memungkinkan penyelesaian dalam bentuk
penetapan kebijakan yang dilakukan melalui
mekanisme yang tertib.
D. Birokrasi dan Kelompok Kepentingan
Salah satu aspek
yang penting dalam politik adalah kelompok-kelompok yang memiliki
kemampuan-kemampuan untuk mengartikulasi
kepentingan masyarakat untuk dikomunikasikan dengan aparat pengambil keputusan.
Kelompok-kelompok ini umumnya berharap bahwa penentuan kebijakan dan
pengambilan keputusan itu melibatkan suara masyarakat atau paling tidak mereka
cukup memiliki pengaruh terhadap proses pengambilan keputusan itu.
Almond mengartikan kelompok kepentingan
yaitu bahwa setiap organisasi yang berusaha mempengaruhi kebijakan
pemerintah, pada saat yang bersamaan mempunyai kehendak memperoleh jabatan
public. Selanjutnya Rose memberikan pandangannya bahwa kelompok kepentingan itu
dalam kerangka lembaga-lembaga dan nilai-nilai politik. Sebenarnya
kelompok-kelompok kepentingan ini mengharapkan empat hal dari pemerintah, yakni
:
1.
Informasi tentang sikap-sikap dan
perubahan kebijakan pemerintah yang mempengaruhi kepentingan kelompok itu.
2.
Jasa baik dari para administrator yang
melaksanakan kebijakan-kebijakan pemerintah
3.
Pengaruh terhadap kebijakan pemerintah,
4.
Status simbolis bagi pemimpinnya.
Kelompok-kelompok kepentingan ini dalam aktivitas
penyampaian tuntutan-tuntutan kepentingannya melakukan berbagai cara yang oleh
mereka dipandang efektif. Melakukan kontak-kontak hubungan pribadi, melalui
saluran perwakilan langsung, melalui saluran formal dan institusi lain seperti
media massa, partai politik dan lembaga legislative serta dengan cara kekerasan
dan demonstrasi seperti yg dilakukan oleh kelompok anomie.
E. Perilaku Politik Birokrasi
Sasaran utama birokrasi sebenarnya bukanlah birokrasi
itu sendiri, melainkan aparat-aparat perilaku birokrasi. Aspek manusia atau
dengan kata lain pegawai-pegawai birokrasi itulah yang menurut persepsi
masyarakat yang telah menyebabkan hal itu. Para birokrat pengambil
kebijaksanaan politik tidak luput pula dari tuduhan-tuduhan yg pada prinsipnya
mengkritik birokrasi.belum lagi munculnya persepsi bahwa birokrasi sangat
memungkinkan terjadinya korupsi, kolusi dan manipulasi.
Dalam birokrasi discretionary
corruption merupakan bentuk korupsi yg dilakukan karena adanya kebebasan
untuk menentukan kebijaksanaan. Meskipun nampaknya kegiatan ini bersifat sah,
sebenarnya kurang dapat diterima oleh para anggota organisasi yang lain. Jenis
korupsi ini dapat pula dilakukan terhadap seseorang atau sekelompok yang satu dengan kelompok
yang lain,seperti dalam hal memberikan janji untuk audensi terhadap yang lain
atas dasar persepsi yg kurang tepat.
Yang dimaksud illegal corruption adalah suatu tindakan
yg bermaksud untuk mengacaukan bahasa,
pengertian, ataupun maksud-maksud hokum peraturan dan regulasi tertentu. Tindakan-tindakan pemutarbalikkan fakta,
dengan pengertian untuk berlindung dibalik hokum dan mengatasnamakan hokum dan
peraturan seringkali dilakukan untuk menutupi pelanggaran-pelanggaran yang
dilakukannya.
Jenis korupsi yg paling popular adalah mercenary
corruption dan barangkali jenis ini difahami oleh masyarakat sebagai korupsi
itu sendiri. Jenis korupsi ini bertujuan untuk memperoleh keuntungan pribadi
seperti pemberian uang sogok, uang semir. Namun demikian korupsi ini seringkali
disebut sebagai penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan yg dimaksudkan untuk
memperoleh keun tungan materiil dan politis.
Sementara itu terdapat pula korupsi ideology
(ideological corruption) yaitu jenis korupsi yg dimaksudkan untuk mengejar
tujuan-tujuan kelompok. Korupsi jenis ini barangkali hamper terjadi disetiap
kegiatan-kegiatan politik, yg bertujuan untuk mendukung seseorang atau kelompok
lain dalam memperoleh jabatan atau
pengaruh yg lebih luas.
Hal-hal itu adalah salah satu bentuk perilaku politik
yg dilakukan oleh birokrasi pemerintahan atau organisasi
birokratif.perilaku-perilaku politik yg dilakukan aparat birokrasi dapatlah
dikatakan parallel dengan sikap-sikap yg dimiliki aparat tersebut terhadap
system politik. Bahkan perilaku politik warga Negara dalam hal ini termasuk birokrasi
dipengaruhi oleh nilai-nilai dan tradisi
yang berkembang.
Fenomena perilaku birokrasi ialah kecenderungan untuk
mengabaikan dan sekaligus kurang menyukai kritik. Hal itu dilatarbelakangi oleh
suatu konsep kebersamaan yg berakibat
terhadap kaburnya antara hak, kewajiban dan tanggung jawab seseorang.
BAB
VIII
BERBAGAI
DIMENSI PERILAKU POLITIK
A. Perilaku Politik dalam konteks
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara
Manusia merupakan makhluk yang berpolitik. Hal itu
mengandung arti bahwa manusia tidak sekedar bersifat instingtif, tetapi juga
mengaktualisasi dirinya ditengah-tengah masyarakatnya dalam bentuk tingkah laku
politik. Dalam kehidupan bermasyarakat, bernbangsa dan bernegara tingkah laku
politik manusia itu diwujudkan dalam proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan
politik.
Proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan politik itu
diselenggarakan untuk mewujudkan tujuan bersama dalam bermasyarakat, berbangsa
dan bernegara. Tujuan masyarakat dan
bangsa secara umum pertama-tama adalah pembentukan identitas bersama. Melalui
identitas bersama, masyarakat, dan bangsa yang bersangkutan akan mudah membawa
dirinya dan menyesuaikan dirinya sejalan dengan kesepakatan dan identitas yang dibangun.
Terdapat beberapa factor yg biasanya muncul sebagai
factor pembentukan identitas bersama. Faktor-faktor tersebut menurut Surbakti
mencakup :
1.
Factor primordial, termasuk didalamnya
adalah ikatan kekerabatan, suku bangsa, daerah, bahasa, dan adat istiadat.
Factor primordial ini dapat melahirkan
persepsi yg sama tentang masyarakat dan bangsa yang dicita-citakan.
2.
Factor sacral, yakni seperti ketaatan
terhadap suatu agama atau ikatan yang kuat terhadap ideology doktrin tertentu
3.
Tokoh, dapat diartikan sebagai panutan
karena masyarakat dan bangsa mengidentifikasikan diri kepada pribadi seseorang
tokoh tersebut.
4.
Sejarah,
pengalaman masa lalu dapat membentuk solidaritas, teklad dan tujuan
bersama. Perasaan kolektif senasib sepenanggungan dalam penderitaan masa lalu
merupakan landasan psikologis yg kuat
dalam ikut membentuk identitas bersama masyarakat dan bangsa.
5.
Kebinekaan, faktor ini menjadi landasan pembentukan
identitas bersama karena adanya kesadaran terhadap manfaat persatuan dan
kesatuan.
6.
Perkembangan ekonomi, merupakan faktor
yang penting dalam membentuk identitas bersama.dalam hal ini perkembangan
industry akan membawa pengaruh bagi
terciptanya spesialisasi pekerjaan dalam masyarakat.
7.
Kelembagaan, lembaga-lembaga pemerintahan
dan politik menjkadi penggerak dan wahana bagi terbinanya rasa persatuan dan
kesatuan anggota masyarakat.
Perkembangan masyarakat Indonesia pascakemerdekaan pun menjadi factor
menguatrnya identitas nasional. Modernisasi yg berdampak pada kemajuan dan
perubahan di segala bidang kehidupan serta industrialisasi telah menciptakan kaum
professional, kelompok-kelompok social baruyg memiliki keahlian dalam bidangnya
masing-masing.
B. Norma-norma Perilaku Politik
Membicarakan norma perilaku politik berarti
mempersoalkan apa yang menjadi landasan wewenang politk atau apa yang menjadi
dasar pembuatan dan pelaksanaan keputusan politik itu diberlakukan secara sah.
Hal itu sejalan dengan pengertian wewenang, yaitu kekuasaan yang
dilembagakan.jadi perilaku politik yang etis secara umum hendaknya dilaksanakan
dalam suasana Negara demokratis dan Negara hukum. Pengaruh perilaku politik terhadap kehidupan
berbangsa dan bernegara pada masa orde baru di Indonesia dapat digun akan
sebagai contoh pelaksanaan demokratis dan praktek Negara hukum.
C. Pengaruh Perilaku
Politik
terhadap Kehidupan
Berbangsa
dan Bernegara
Perilaku politik selalu mengacu kepada tujuan Negara.
Tiap-tiap Negara memiliki rumusan yang berbeda-beda tentang tujuan negaranya.oleh
karena itu, perilaku politik warga Negara yang satu akan berbeda dengan
perilaku politik warga Negara yang lainnya. Bahkan perilaku warga Negara dari
suatu Negara dapat berbeda dalam suatu
kurun waktu tertentu dengan perilaku
warga Negara yang sama dalam kurun waktu yang berbeda . hal itu disebabkan oleh
penafsiran tentang tujuan Negara yang berbeda.
Dalam posisi demikian, perilaku politik akan menentukan system politik
dari bangsa dan Negara yang bersangkutan.
BAB
IX
DINAMIKA
KEHIDUPAN POLITIK
A. Perubahan Politik
Perubahan politik secara umum merupakan hal yang
bersifat alamiah. Perubahan politik merupakan istilah yang disejajarkan dengan
pembangunan politik dan modernisasi politik. Pembangunan dan modernisasi
politik merupakan perubahan politik, tetapi perubahan politik belum tentu
sebagai pembangunan politik atau
modernisasi politik. Istilah
pembangunan politik merupakan usaha disengaja, terencana, adanya sasaran yang
jelas, evolusioner dan tidak dilaksanakan dengan kekerasan dalam penataan
kehidupan politik.
Perubahan politik menyangkut persoalan-persoalan
system nilai politik, struktur kekuasaan, serta strategi mengenai kebijakan
umum yang berkenaan dengan lingkungan masyarakat dan lingkungan alam yang
mempengaruhi dan dipengaruhi system politik. Membahas system nilai politik
berarti mambahas ideology politik ,
yaitu apa yang menjadi dasar untuk memberikan pemikiran terhadap kehidupan
politik. Melalui ideology politik yg disepakati kemudian disusun system politik
yg diharapkan, seperti apa yang menjadi tujuan Negara , dan bagaimana aturan
permainan dalam kehidupan politik.
Dalam menangani proses kebijakan, setiap sitem politik
memiliki strategi sendiri. Strategi kebijakan selalu diputuskan berdasarkan
system nilai politik yg dianut, struktur kekuasaan yg sedang berlaku dan lingkungan masyarakat beserta lingkungan
fisik yang melingkupinya. Lingkungan masyarakat dan lingkungan fisik memiliki
hubungan interdependensi dengan strategi kebijakan , lingkungan masyarakat dan
lingkungan fisik akan mempengaruhi dan dipengaruhi strategi kebijakan.oleh
karena itu strategi kebijakan di suatu wilayah (Negara) tidak akan sama dengan
strategi kebijakan di wilayah (Negara) lain.
Atas dasar ketiga objek perubahan politik tersebut,
perubahan politik dapat dilihat dari tiga bentuk yaitu :
1.
Perubahan politik secara keseluruhan,
biasanya bersifat radikal dan dicapai dengan revolusi. Perubahan system politik
ini berarti terjadinya perybahan system nilai politik, struktur kekuasaan, dan
strategi kebijakan.
2.
Perubahan yang terjadi dalam system
politik ,menyebabkan terjadinya sejumlah modifikasi dalam ketiga elemen system
politik.biasanya terjadi dalam suasana damai dengan tetap berpegang pada system
nilai politik, struktur kekuasaan dan
strategi kebijakan yang telah dilaksanakan sebelumnya.
3.
Perubahan yg disebabkan oleh dampak
berbagai kebijakan umum yaitu apakah kebijakan umum tersebut menaikkan kondisi
ndan kualitas hidup masyarakat dan lingkungan fisik yg atau tidak. Bentuk
perubahan politik semacam ini berhubungan dengan strategi pembangunan politik
yg dianut.
Menurur Pye,ada
sepuluh konsep pembangunan yang dianut dalam menentukan strategi kebijakan umum
suatu Negara. Kesepuluh kebijakan tersebut adalah :
1.
Pembangunan politik sebagai prasyarat bagi
pembangunan
2.
Pembangunan politik sebagai tipe politik
masyarakat sendiri
3.
Pembangunan politik sebagai modernisasi politik
4.
Pembangunan politik sebagai operasi Negara
bangsa
5.
Pembangunan politik sebagai pembangun
administrasi dan hokum
6.
Pembangunan politik sebagai mobilisasi dan
partisipasi massa
7.
Pembangunan politik sebagai pembinaan
bangsa
8.
Pembangunan politik sebagai stabilitas dan
perubahan yang teratur
9.
Pembangunan politik sebagai mobilisasi dan
kekuasaan
10.
Pembangunan politik sebagai satu aspek
proses perubahan social yg multidimensional
B. Konflik dan Konsensus
Arus besar pendekatan ilmu-ilmu social berpangkal pada
dua pendekatan yang saling bertentangan, yaitu pendekatan consensus dan
pendekatan konflik.pendekatan consensus disebut juga pendekatan
structural-fungsional. Asumsi pendekatan consensus menurut Nasikun sebagai berikut :
1.
Masyarakat merupakan sebuah system yang terdiri
atas bagian-bagian yang saling berhubungan
2.
Hubungan pengaruh mempengaruhi diantara
bagian bagian fungsi dalam masyarakat bersifat ganda dan timbal balik
3.
System social cenderung bergerak kea rah
equilibrium yang bersifat dinamis
4.
Integrasi nasional pada tingkatannya yang
sempurna tidak akan pernah tercapai, akan tetapi setiap system nasinal
senantiasa berproses kearah-arah penyesuaian-penyesuaian dan institusional
5.
Perubahan-perubahan dalam system social
pada umumnya terjadi secara gradual,
melalui proses penyesuaian-penyesuaian dan tidak secara revolusioner
6.
Perubahan-perubahan social terjadi melalui
tiga kemungkinan yaitu penyesuaian yg
dilakukan oleh setiap system social tersebut terhadap perubahan yang dating
dari luar, pertumbuhan melalui proses diferensiasi struktur dan fungsional,
serta penemuan-penemuan baru dalam anggota masyarakat
7.
Factor terpenting yang memiliki daya
mengintegrasi suatu system social adalah consensus diantara anggota-anggota
masyarakat mengenai nilai-nilai kemasyarakatan tertentu.
Disamping sebagai sumber perubahan, konflik dapat
berfungsi untuk menghilangkan pengganggu dalam sutu hubungan . dalam hal ini
Lewis Coser, menyatakan bahwa konflik dapat berfungsi sebagai penyelesaian
ketegangan antara unsure-unsur yg bertentangan mempunyai fungsi sebagai
stabilisator dan menjadi komponen pemersatu hubungan.
Konflik tidak selamanya mengandung muatan politis.
Konflik yang terjadi antara dua orang karena perbedaan pendapat tidak selalu menyangkut lembaga-lembaga
politik. Di fihak lain konflik menyangkut politik karena perbedaan yang terjadi
itu melibatkan lembaga-lembaga politik.
Secara substansi konflik dapat dibedakan menjadi dua,
yakni :
1.
Zero-sum conflik, berupa konflik yang
bersifat antagonis dan tidak mungkin diadakan kerjasama atau kompromi diantara
keduanya
2.
Zero-sum conflik, yakni konflik yang dapat
diselesaikan baik dengan kompromi maupun denbgan kerjasama dan menguntungkan
kedua belah fihak, meskipun hasilnya
tidak optimal.
Konflik-konflik politik yang muncul dalam proses
politik pada kehidupan berbangsa dan bernegara penting dalam kerangka makin
mendewasakan diri. Selain itu , konflik tersebut dalam porsi tertentu
diperlukan untuk menyatukan dan memperkuat system politik . bahkan konflik akan
memacu kehidupan politik menjadi makin dinamis kerah terciptanya
perubahan-perubahan yang makin membaik berdasarkan pemikiran-pemikiran baru,
apabila dapat dikelola dan diarahkan.
0 comments:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !