BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Brlakang Masalah
Pendidikan
merupakan usaha yang dilakukan manusia untuk menumbuhkan dan mengembangkan
potensi-potensi pembawaan baik jasmani maupun rohani sesuai dengan nilai-nilai
yang ada dalam masyarakat dan kebudayaan. Dengan kata lain majunya atau
mundurnya suatu bangsa tidak terlepas dari faktor pendidik, karena pendidikan
mempunyai peranan penting dalam usaha meningkatkan sumber daya manusia (SDM)
yang berkualitas, sehingga menjadi unsur penting dalam pemban gunan suatu bangsa. Dalam hal ini pemerintah mengambil peranan penting dalam
menciptakan sistem pendidikan yang tepat bagi rakyatnya, selain itu
Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 telah mengamanatkan pentingnya sebuah pendidikan
bagi seluruh lapisan masyarakat demi menjamin perkembangan dan kelangsungan
kehidupan bangsa dalam usaha membentuk manusia yang cerdas dan terampil,
mewujudkan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas dan kreatif serta mampu
bersaing dalam menghadapi tantangan dan kemajuan ilmu pengetahuan serta tekhnologi.
Tujuan pendidikan pada
dasarnya menghantarkan para siswa menuju pada perubahan-perubahan tingkah laku
baik intelektual, moral maupun sosial agar dapat hidup mandiri sebagai individu
dan makhluk sosial sehingga menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas.
Menurut John Dewey (12:1934 )
“The
purpose of education has always been to every one, inessence, the same—to give
the young the things they need in order to develop in an orderly, sequential
way into members of society. This was the purpose of the education given to a
little aboriginal in the Australian bush before the coming of the white man. It
was the purpose of the education of youth in the golden age of Athens. It is
the purpose of education today, whether this education goes on in a one-room
school in the mountains of Tennessee or in the most advanced, progressive
school in a radical community. But to develop into a member of society in the
Australian bush had nothing in common with developing into a member of society
in ancient Greece, and still less with what is needed today. Any education is,
in its forms and methods, anoutgrowth of the needs of the society in which it
exists.”
Usaha dalam rangka mencapai
tujuan pendidikan, maka penyelenggaraan pendidikan perlu disesuaikan dengan
pembangunan dan perubahan masyarakat yang sedang berkembang. Sekolah sebagai
lembaga pendidikan formal satu-satunya yang diselenggarakan pemerintah memegang
peranan penting dalam mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Salah satu cara
untuk mencapai tujuan tersebut adalah melalui interaksi dalam proses
pembelajaran di sekolah yang dilakukan secara sadar, sistematik dan terarah
menuju ke arah perubahan tingkah laku peserta didik sesuai dengan yang
diharapkan. Sebagai negara yang besar dan menganut sistem demokrasi tentunya
perkembangan politik Indonesia begitu pesat. Perkemabangn politik Indonesia
berkembang setelah penceusan kemerdekaan sebagai negara yang berdaulat dengan
dilakukannya Pemilu pertama pada bulan Juli 1955. Dalam mencapai negara
demokrasi yang bersih tentunya harus dimulai dengan sistem politik yang bersih
pula, yaitu dengan memperdalamnya pengetahuan masyarakatnya tentanng politik
itu sendiri. Dalam menjalankan dan mengoptimalkan proses soialisasi politik
maka perlu strategi dan tempat yang tepat di mana sosilisasi politk itu
dilaksanakan, salah satu contoh bahwa sebagai salah satu sarana atau agen
tempat sosioalisai politik itu adalah di lingkungan sekolah. Sekolah merupakan
suatu wahan yang luas untuk sosialisasi politik, tetapi lebih mengarah terhadap
pendidikan politik yang bertujuan agar anak didiknya (siswa) menjadi insan yang
melek politik (sadar politik). Sosialisasi politik terkait dengan konsep dimana
indivi-individu dapar memperoleh pengetahuan, sikap dan nilai-nila tentang
sistem politik masyarakat, umumnya Negara.
Pendidikan Politik adalah
proses pembelajaran dan pemahaman tentang hak, kewajiban, dan tanggung jawab
setiap warga negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebagai bentuk kesadaran akan pentinngnya berpolitik
tentunya sosialisasi politik dan strategi dan tempat yang tepat di mana
sosilisasi politk itu dilaksanakan, salah satu contoh bahwa sebagai salah satu
sarana atau agen tempat sosioalisai politik itu adalah di lingkungan sekolah.
Sekolah merupakan suatu wahana yang luas untuk sosialisasi politik. Sebagai
institusi pendidikan formal, sekolah memiliki potensi yang sangat besar dalam
meletakkan pondasi dasar bagi terciptanya kehidupan masyarakat ataupun politik
yang demokratis. Selama ini kita
kebanyakan menganggap bahwa politik dan pendidikan adalah dua hal dengan kutub
yang berbeda. Politik berorientasi kepentingan sedangkan pendidikan justru
mengajarkan untuk merangkul semua kepentingan sehingga menjadi seperti tanpa
kepentingan.
Istilah
pendidikan politik dalam Bahasa Inggris sering disamakan dengan istilah
political sucialization. Istilah political sosialization jika diartikan secara
harfiah ke dalam bahasa Indonesia akan bermakna sosialisasi politik. Oleh
karena itu, dengan menggunakan istilah political sosialization banyak yang
mensinonimkan istilah pendidikan politik dengan istilah Sosialisasi Politik,
karena keduanya memiliki makna yang hampir sama. Dengan kata lain, sosialisasi
politik adalah pendidikan politik dalam arti sempit. Menurut David Easton dan
Jack Dennis (2000:39) berpendapat bahwa “Political sosialization is development
process which persons acquire arientation and paternsof behaviour and Political
sosialization is all political learning formal and informal, delibrete and
unplanne, at every stage of the life cycle inchiding not only explicit
political tearning but also nominally nonpolitical learning of political lie
relevant social attitudes and the acquistion of politically relevant personality
characteristics.
Maksudnya
adalah pendidikan politik suatu bentuk
pendidikan yang dijalankan secara terencana dan disengaja baik dalam bentuk
formal maupun informal yang mencoba untuk mengajarkan kepada setiap individu
agar sikap dan perbuatannya dapat sesuai dengan aturan-aturan yang berlaku
secara sosial. Dalam hal ini dapat terlihat bahwa pendidikan politik tidak
hanya mempelajari sikap dan tingkah laku individu. Namun pendidikan politik
mencoba untuk mengaitkan sikap dan tingkah laku individu tersebut dengan
stabilitas dan eksistensi sistem politik. Konsep pendidikan politik dalam sekolah bisa dilakukan
dengan cara-cara sederhana. Pendidikan politik di sekolah lebih mengarah pada
pembentukan kultur/budaya sederhana yang mencirikan demokrasi dan kemandirian.
Inilah yang menjadi landasan dasar terwujudnya kehidupan yang demokratis nantinya.
Politik di sekolah tidak perlu ditafsirkan sebagai secara langsung menghadapkan
siswa pada tataran politik praktis seperti layaknya konteks perebutan
kekuasaan, hubungan penguasa dengan yang dikuasai.
Dalam hal
ini pendidikan politik di sekolah bisa dimulai dari hal-hal yang kecil dan
sederhana dengan lebih menonjolkan tumbuhnya budaya positif dalam pergaulan.
Diantaranya sebagai berikut: Pertama, adanya kebebasan yang besar bagi siswa untuk
menyampaikan pendapat dalam forum-forum kelas. Metode-metode diskusi harus
dilakukan sesering mungkin dan tidak hanya berangkat dari buku-buku teks. Dalam
hal ini, harus disadari bahwa secara ilmiah tidak ada sesuatu yang memiliki
kebenaran absolut. Kedua, adanya
komunikasi dua arah yang cair antara guru dan siswa. Bila kita terbiasa dengan
cara-cara komunikasi yang serba resmi dan kaku, seperti saat guru mengajar di
kelas, maka konsep pendidikan politik yang harus diterapkan adalah menciptakan
ruang-ruang komunikasi yang tidak kaku. Dengan begitu siswa bisa menyampaikan
ide-ide secara bebas, terbuka dan kritis. “Komunikasi yang berjalan dua arah
dan tidak kaku tersebut jelas berujung pada tumbuhnya rasa percaya diri pada
siswa yang pada gilirannya nanti akan melatih kreativitas dan kemandirian
mereka. Ketiga, keteladanan dalam kehidupan berorganisasi. Sekolah merupakan
sistem organisasi yang meliputi hubungan antara kepala sekolah, pegawai, guru
hingga para siswa. Meskipun berbagai teori mengenai kehidupan berorganisasi dan
bermasyarakat telah disampaikan oleh para guru, namun tanpa contoh langsung
walaupun dalam sekup kecil, maka teori-teori akan menguap dan hanya sekedar
membekas di catatan raport para siswa. Para siswa berkesempatan bisa
berkompetensi politik untuk menjadi omo
satu sebagai ketua organisasi yang resmi di sekolah yaitu OSIS.
Dengan demikian suasana
politik dan pembelajaran politik yang sesungguhnya bisa dirasakan langsung,
dengan persaingan dengan kandidat yang lain. Disinilah nilai yang bisa di
kembangkan sekolah dalam mendidik siswa-siwanya dalam memahami sistem politik
yang bersih dengan mengedepankan tujuan politik yang sesungguhnya. Melalui konsep-konsep sederhana itulah pendidikan
politik bisa dimulai dari sekolah. Dengan terciptanya ruang-ruang aktualisasi
bagi siswa, maka kelak ketika sudah semakin matang, mereka sudah terbiasa
dengan budaya/kultur keterbukaan, menghargai pluralitas, menghayati proses
dialektika, saling memberi respon/umpan balik, menganalisis persoalan secara
rasional, dan saling menghargai pendapat orang lain tanpa harus merasa selalu
benar sendiri.
Kekeliruan
Pengajaran Politik di Sekolah, John Dewey menjelaskan bahwa salah satu kesalahan dari
pengajaran yang terjadi di sekolah adalah ketika materi sekolah tidak
mengarahkan para siswa untuk hidup di dunia nyata. Memang benar demikian,
keberhasilan pendidikan adalah ketika para peserta didik benar-benar belajar
untuk hidupnya dan bahkan berpikir menyelesaikan permasalahan yang ada di
sekelilingnya. Itulah mengapa kebangkitan nasional diawali dari dunia
pendidikan yang memang memiliki potensi kekuatan pengubah masyarakat yang
sangat besar.
Pendidikan politik bukan berarti mengarahkan anak-anak pada kepentingan-kepentingan politik tertentu. Pendidikan ini justru mengenalkan anak pada nilai-nilai penting politik dimulai dari kehidupan sekolah. Mereka diajarkan bagaimana sebenarnya kebebasan berpendapat dan tanggung jawab sebagai warga negara melalui contoh nyata yang dilakukan oleh para pengajar maupun dalam sistem sekolah itu sendiri.
Pendidikan politik bukan berarti mengarahkan anak-anak pada kepentingan-kepentingan politik tertentu. Pendidikan ini justru mengenalkan anak pada nilai-nilai penting politik dimulai dari kehidupan sekolah. Mereka diajarkan bagaimana sebenarnya kebebasan berpendapat dan tanggung jawab sebagai warga negara melalui contoh nyata yang dilakukan oleh para pengajar maupun dalam sistem sekolah itu sendiri.
Alber
Bandura (1977) menyatakan bahwa pendidikan utamanya terjadi melalui komunikasi
dan keteladanan (modelling). Demikian pula dengan pendidikan politik, hal
tersebut dapat diajarkan tanpa harus membuat mata pelajaran baru, tapi melalui
keteladana seperti yang telah dicontohkan di atas. Pendidikan merupakan wadah
dimana pembentukan kultur generasi baru terjadi. Pendidikan adalah rahim dari
setiap karakter yang akan dimiliki oleh anak-anak kita di masa depan. Dengan
demikian secara sederhana kita dapat membangun sebuah asumsi bahwa perbaikan
pada diri masyarakat secara ideal akan terjadi jika kita benar-benar
memperhatikan pendidikan, termasuk dalam bidang politik.
Sistem
pemerintahan yang sehat dan bersih harus dimulai dari sistem politik yang juga
bersih. Untuk mewujudkan ini dibutuhkan reformasi sistem politik dan hukum yang
menyeluruh. Tugas ini sangat berat dan butuh waktu. Namun dengan
perbaikan di ranah politik, hukum dan pendidikan sekaligus kita masih memiliki
harapan untuk munculnya kebangkitan nasional kembali. Pada akhirnya, generasi muda yang terdidik berbudaya
politik diharapkan kelak akan mampu menempatkan diri mereka sebagai
pionir-pionir yang mandiri, mampu memberikan respon secara tepat pada kebijakan
pimpinan dan mengerti akan hak dan kewajibannya tanpa mennginjak-injak hak
orang lain. Selanjutnya, bila ia menjadi pemimpin, ia sudah terbiasa dengan
kultur demokratis, menghargai perbedaan dan memperlakukan rakyat yang
dipimpinnya dengan bijak dan baik pula.
Demokrasi yang selama ini
kita kenal dengan pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat dapat
diartikan sebagai mekanisme sistem pemerintahan negara sebagai upaya mewujudkan
kedaulatan rakyat. Salah satu pilar demokrasi adalah membagi ketiga kekuasaan
politik negara (eksekutif,yudikatif dan legislatif). Untuk mewujudkan dalam
tiga lembaga yang independen dan kedudukannya saling sejajar. Kesejajaran dan
independensi ketiga lembaga negara ini diperlukan agar ketiga lembaga negara
ini bisa saling mengawasi dan saling mengontrol berdasarkan prinsip checks and
balances. Suatu negara yang menerapkan demokrasi memiliki kharakteristik dasar
sebagai wujud penerapan prinsip demokrasi. Prinsip demokrasi meliputi
keterlibatan warga negara dalam pembentukan keputusan politik, kesetaraan di
antara warga negara, adanya supremasi hukum dan kegiatan pemilu berkala yang
bebas jujur dan adil. Namun rupaya penomena dilapangan sangatlah jauh dari yang
dihrapkan, berbagai kecurangan masih mewarnai jalanya demokrasi dan politik di
Indonesia. Pengurangan dari potret buruknya sistem demokrasi dan politik itu
bisa di tekan dengan cara masyarakat sebagai pelaku menyadari konsep utama
demokrasi yang bersih itu. Pendidikan demokrasi adalah cara bagaimana suatu
bangsa mentransfer budaya demokrasinya dari generasi yang satu ke generasi
kemudian. Pendidikan demokrasi menempati posisi yang sangat sentral. Melalui
pendidikan demokrasi, pemerintah dapat menyadarkan rakyat bahwa rakyat memiliki
hak politik dalam menentukan jalannya masa depan bangsa melalui pilihan yang
cerdas bukan berdasarkan semata-mata pada janji tetapi juga track record serta
kapasitas. Peran Pemerintah dan partisipasi masyarakat sekitar terhadap sekolah
sebagai ranah demokrasi merupakan faktor yang turut menentukan. Dengan demikian
ada dua aspek strategis yang perlu dikedepankan yaitu terkait dengan pola dan
kebijakan pengelolaan sekolah yang berbasis pada partisipasi banyak pihak. dan
berhubungan dengan praktik pembelajaran yang inovatif sehingga lebih merangsang
kemampuan intelektual,kepedulian sosial,dan keterampilan hidup komunitas
pembelajar di suatu sekolah. Pengembangan nilai-nilai demokratis di sekolah
juga perlu diterapkan untuk menghadapi era globalisasi yang kini diyakini
menghadirkan banyak perubahan global seiring dengan akselerasi keluar masuknya
berbagai kultur dan peradaban baru dari berbagai bangsa di dunia. Salah satu
contoh yaitu menerapkan budaya demokrasi di lingkungan sekolah sebagai miniatur
perjalanan demokrasi dalam kehidupan masyarakat yang sebenarnyaa. Salah satu
contoh penerapan demokrasi di sekolah sebagai media belajar berdemokrasi adalah
melalui kegiatan pemilihan OSIS. OSIS (Organisasi Siswa Intra Sekolah)
merupakan satu-satunya organisasi kesiswaan yang berada di lingkungan sekolah.
Tujuan didirikannya OSIS adalah untuk melatih siswa dalam berorganisasi dengan
baik dan menjalankan kegiatan sekolah yang berhubungan dengan siswa. Sebagai
satu-satunya wadah organisasi siswa di sekolah untuk mencapai tujuan pembinaan dan
pengembangan kesiswaan yang selaras dengan visi misi sekolah maka organisasi
ini bersifat intra sekolah,artinya tidak ada hubungan organisatoris dengan OSIS
di sekolah lain, dan tidak menjadi bagian dari organisasi lain yang ada di luar
sekolah. Keberadaannya menjadi sorotan publik sebagai penilaian awal untuk
sekolah. Oleh karena itu OSIS haruslah mempunyai pengurus yang berkompeten,
mempunyai jiwa kepemimpinan dan bertangung jawab. Sehingga diperlukan sistem
pemilihan pengurus OSIS yang sistematis dan benar benar selektif.
Sealain mempelajari sistem
politik dan demokrasi sekolah juga dalam hal ini OSIS bisa dijadikan
pembelajaran konkrit tentang sistem
pemerintahan. Dalam hal ini pembelajaran
dimulai setelah ketua dan wakil ketua OSIS terpilih maka dilakukan pembentukan
struktur eksekutif OSIS. Dalam
pendidikan demokrasi di sekolah,yang dilakukan dalam proses pemilihan OSIS
adalah membentuk KPO ( Komisi Pemilihan OSIS ),sebuah komisi yang bersifat
sementara untuk melaksanakan pemilihan majelis perwakilan kelas dan badan
eksekutif OSIS. Pembentukan KPO ( Komisi Pemilihan OSIS ), dilaksanakan oleh
OSIS yang akan berakhir masa pengabdiannya yang dibantu oleh kesiswaan dengan
rekomendasi surat keputusan dari kepala sekolah. Selanjutya KPO akan
melaksanaan tugasnya yang telah disusun dalam program kerja Ketika semua tugas
dan sudah terbentuknya OSIS sudah terlaksana maka KPO sudah tidak berfungsi
lagi dan bisa dibubarkan. Beberapa tugas KPO dapat dijelaskan sebagai berikut:
Tahap pertama,sosialisasi tentang pemilihan pengurus OSIS. KPO akan menjelaskan
kepada semua warga sekolah betapa pentingnya arti demokrasi terhadap penerapan
kehidupan berbangsa dan bernegara dalam arti luas dan dalam kehidupan di
lingkungan sekolah. Tahap kedua,berkoordinasi dengan wali kelas terkait dengan
musyawarah perwakilan kelas (MPK), yang bertugas untuk mengawasi kinerja OSIS.
Dalam hal ini, KPO akan dibantu oleh wali kelas untuk mencari dalam perekrutan
calon MPK sampai pada tahap pengesahan. Tahap ketiga,membantu proses pemilihan
pengurus MPK. KPO membantu dan menyediakan fasilitas fasilitas yang diperlukan
untuk memperlancar proses kegiatan tersebut. Tahap keempat,melakukan proses
seleksi calon calon pengurus OSIS. MPK melakukan penjaringan terhadap calon
calon badan eksekutif OSIS, dengan pemantauan langsung dari KPO, dengan
kriteria dasar yaitu Kemauan, Nilai Raport dan Perilaku. Kemauan dapat
diartikan,sanggup menjadi calon ketua OSIS,karena tidak setiap siswa mau untuk
menjadi pengurus OSIS dengan berbagai alasan, meskipun secara kemampun masuk
dalam kriteria penilaian. Penilaian raport berfungsi untuk menjaring siswa yang
mempunyai prestasi,karena menjadi ketua OSIS akan mempunyai tanggungjawab besar
dalam mengatur aktifitas disekolah. Selanjutnya dengan mengadakan tes calon
ketua OSIS. Test tersebut untuk mengukur bakat, minat, kemampuan, kesungguhan
dan ketrampilan mereka secara individual. Hasil seleksi diumumkan berdasarkan
peringkat sesuai kebutuhan jumlah personal dalam kepengurusan badan eksekutif
OSIS. Tahap kelima,melaksanakan Latihan Dasar Kepemimpinan Sekolah (LDKS) calon
badan eksekutif OSIS. Materi yang diberikan dalam LDKS diantaranya adalah :
Kepemimpinan, Organisasi, Dinamika Kelompok. Mekanisme pemilihan dan
penghitungan dilakukan di tempat terbuka yang bisa disaksikan oleh unsur unsur
KPO,MPK,saksi,pembina OSIS maupun seluruh warga sekolah.
Dalam struktur eksekutif
OSIS tersebut juga terdiri dari 10 orang anggota. Dilanjutkan dengan pelantikan
oleh Kepala Sekolah dan serah terima jabatan dari OSIS lama kepada OSIS baru.
Tahap ketujuh,melaksanakan rapat penyusunan program kerja (OSIS dan MPK) dengan
agenda membuat program kerja baru OSIS masa bhakti baru. Pembuatan program
kerja ini dimaksudkan supaya OSIS baru mempunyai arah kegiatan yang jelas dan
telah disepakati bersama. Tahap kedelapan, KPO membuat laporan
pertanggungjawaban atas semua kegiatan yang telah dilakukan dalam bentuk
portofolio yang dilengkapi dengan dokumentasi kegiatan sesuai dengan urutan
kegiatan. Tahapan tahapan pelaksanaan pemilihan kepengurusan OSIS diatas
merupakan tahapan umum yang dilaksanakan dalam pemilihan OSIS di sekolah.
Tahapan tahapan tersebut sudah menerapkan budaya demokrasi yang baik. Hal ini
terlihat dari pelaksanaan pemilihan yang berasaskan luberjurdil serta
pelaksanaan pemilihan OSIS yang mencerminkan budaya demokrasi. Dalam setiap
kegiatan OSIS akan terjalin kerjasama yang baik antar siswa dengan siswa dan
antara siswa dengan sekolah sekaligus terjalinnya interaksi antara siswa dengan
guru. Hal ini menunjukkan bahwa melalui pemilihan ketua OSIS di sekolah telah
mencerminkan pendidikan demokrasi yang dapat dijadikan sebagai media pendidikan
demokrasi di sekolah menuju terwujudnya budaya demokrasi sesuai amanah yang
terkandung dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. Melalui
pendidikan demokrasi di sekolah dapat dijadikan sebagai tonggak dasar penanaman
budaya demokrasi bagi generasi penerus bangsa. Melalui kegiatan pemilihan OSIS,
generasi muda sudah melaksanakan budaya demokrasi khususnya dalam ruang lingkup
sekolah yang sekaligus sebagai miniatur pelaksanaan demokrasi di Indonesia.
Berdasarkan latar gamabran lataar belakang di atas maka penulis tertarik untuk
melakukan penelitian yang berjuadul “Penggunaan Organisasi Intra Sekolah (Osis)
Dalam Memahami Politik Dan Sistem Pemerintahan yang Demokrasi”
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan
latar belakang permasalahan diatas maka, pertanyaan yang penulis ajukan sebagai
berikut:
1.
Bagaimana pembelajaran politik dan sistem
pemerintahan yang efektif buat siswa SMK Dharma Pertiwi?
2.
Apa yang menjadi dasar persamaan antara
politik dan Keorganisasian OSIS di sekolah dengan politik dan sistemtem
Pemerintahan di negara demokratis?
3.
Bagaimana
hasil pembelajaran siswa dalam memahami politik dan sistem
pemerintahan demokratis denngan menggunakan Organisasi Intra sekolah (OSIS)
sebagai contoh yang konkrit?
C.
Tujuan
Penelitian
Adapun tujuan dalam penelitian ini:
1. Tujuan Umum
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk
memanfaatkan Oraganisasi Intra Sekolah (OSIS) dalam memahami dan mempelajari
politik dan sistem pemerintahan di dunia pendidikan (sekolah) bagi siswa
sebagai penerus bangsa. Selain itu mengubah paradigma masyarakat muda atas
kesemerautan sistem politik dan pemerintah di Indonesia, menjadi menarik dan
mudah untuk dipahami.
2. Secara khusus penelitian
ini bertujuan untuk mengetahui:
a.
Bentuk pembelajaran sistem pemerintahan
dan politik di negara demokratis bagi siswa kelas XI SMK Dharma Pertiwi.
b. Peranan
sekolah dalam memberikan pemahama dan pengajaran tentang politik dan sistem
pemerintahn dengan media Organisasi intra Sekolah (OSIS) contoh yang konkrit
c. Hasil pembelajaran dalam bentuk pemahaman
siswa tentang politik dan sistem pemerintahan demokratis pada kelas XI APK SMK Dharma
Pertiwi.
D.
Manfaat
Penelitian
1.
Manfaat secara akademis
Secara akademis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan
sumbangan pemikiran dalam upaya memberdayakan pembelajaran PKn terutama dalam
mempelajari serta memahai politik dan sistem pemerintahan bagi siswa dalam
ruang lingkup sekolah.
2. Manfaat secara praktis
a. Bagi Guru
Secara praktis, hasil
penelitian ini diharapkan menjadi masukan bagi guru PKn di sekolah dalam
mendidik serta mengajarkan sistem politik dan sistem pemerintah di negara
demokratis dengan penggunakan OSIS
sebagai contoh yang konkrit, dan juga mampu mencetak calon bakal pemimpin yang
tangguh dan amanah.
b. Bagi Siswa
Manfaat yang diharapkan
penulis bagi para siswa bisa memahami dengan benar makna politik dan sistem
pemerintahan yang demokratis, dan juga menjadikannnya Organisasi Intra Sekolah
(OSIS) sebgai media pembelajaran yang baik dan benar.
c. Bagi Peneliti dan Pemabca
Bisa di jadikan sebagai tidak
lanjut penelitian dalam menciptakan generasi muda yang tangguh,kreatif dan
jujur yang bisa memahami sistem politik dan juga sistem pemerintahan yang jujur
dan bersih.
E.
Batasan
Masalah
Berdasarkan
pemaparan permasalahan di atas maka penulis akan membatasi permasalahan yang
akan penulis kaji, tujuannya akan lebih fokus terhadap permasalahan sejauh “Penggunaan Organisasi Intra Sekolah (Osis)
Dalam Memahami Politik Dan Sistem Pemerintahan yang Demokrasi”, dalam
pemabatasan maslah ini kajian yang akan di bahas meliputi bagaimana pemanfaatan
OSIS di sekolah sebagai contoh konkrit dalam mengajarkan dan memberikan
pemahaman terhadap politik dan sisitem pemerintahan di era negara demokratis.
BAB
II
TINJAUAN
PUSTAKA
A.
Sistem Pemerintahan
Istilah
sistem pemerintahan berasal dari gabungan dua kata “sistem” dan “pemerintahan”.
Sistem adalah suatu keseluruhan, terdiri dari beberapa bagian yang mempunyai
hubungan fungsional baik antara bagian-bagian maupun hubungan fungsional
terhadap keseluruhannya, sehingga hubungan itu menimbulkan suatu ketergantungan
antar bagian-bagian yang akibatnya jika salah satu bagian tidak bekerja dengan
baik akan mempengaruhi keseluruhannya itu, Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim
(1983:171). Pemerintahan dalam arti luas adalah segala sesuatu yang dilakukan
oleh negara dalam menyelenggarakan kesejahteraan rakyatnya dan kepentingan
negara sendiri; jadi tidak diartikan sebagai pemerintahan yang hanya menjalankan
tugas eksekutif saja, melainkan juga meliputi tugas-tugas lainnya termasuk
legislatif dan yudikatif, sehingga sistem pemerintahan adalah pembagaian
kekuasaan serta hubungan antara lembaga-lembaga negara yang menjalankan
kekuasaan-kekuasaan negara itu, dalam rangka kepentingan rakyat.
Dalam
ilmu negara umum (algemeine staatslehre) yang dimaksud dengan sistem
pemerintahan ialah sistem hukum ketatanegaraan, baik yang berbentuk monarki
maupun republik, yaitu mengenai hubungan antar pemerintah dan badan yang mewakili
rakyat. Ditambahkan Mahfud MD (2010:23), sistem pemerintahan dipahami sebagai
sebuah sistem hubungan tata kerja antar lembaga-lembaga negara. Senada dengan
pendapat para ahli tersebut, Jimly Asshiddiqie (2007:311 ) mengemukakan, sistem pemerintahan berkaitan
dengan pengertian regeringsdaad, yaitu penyelenggaraan pemerintahan oleh
eksekutif dalam hubungannya dengan fungsi legislatif. Ditinjau dari aspek
pembagian kekuasaannya, organisasi pemerintah dapat dibagi dua, yaitu :
pembagian kekuasana secara horizontal didasarkan atas sifat tugas yang
berbeda-beda jenisnya yang menimbulkan berbagai macam lembaga di dalam suatu
negara, dan pembagian kekuasaan secara vertikal menurut tingkat pemerintahan,
melahirkan hubungan antara pusat dan daerah dalam sistem desentralisasi dan
dekonsentrasi.
A.1. Bentuk
Pemerintahan
Pemerintahan berasal dari kata perintah dimana kata
perintah tersebut mempunyai empat unsur yaitu ada dua pihak yang terkandung,
kedua pihak tersebut saling terkait atau memiliki hubungan, pihak yang
memerintah memiliki wewenang, dan pihak yang diperintah memiliki ketaatan.
Menurut kamus bahasa Indonesia (KBBI) dalam Pramuji (1988:3) meyatakan bawa
pertintah kata-kata tersebut mempunyai arti sebagai berikut :(1) perintah adalah
perkataan yang bermaksud menyuruh atau melakukan sesuatu; (2)pemerintah adalah
kekuasaan memerintah sesuatu negara (daerah-negara) atau badanyang tertinggi
yang memerintah sesuatu negara (seperti kabinet merupakan suatu pemerintah);
(3) pemerintahan adalah perbuatan (cara, hal urusan, dan sebagainya)
memerintah.
Apabila dalam suatu negara kekuasaan pemerintahan,
dibagi atau dipisahkan maka terdapat perbedaan antara pemerintahan dalam arti
luas dan pemerintahan dalam arti sempit. Pemerintahan dalam arti sempit hanya
meliput lembaga yang mengurus pelaksanaan roda pemerintahan (disebut eksekutif),
sedangkan pemerintahan dalam arti luas selain eksekutif termasuk lembaga yang
membuat peraturan perundang-undangan (disebut legislatif), dan yang
melaksanakan peradilan (disebut yudikatif) Syafiie, (2005 :21-22.).
Menurut W.S. Sayre (2005:22) menyatakan Goverenment
is best at the organized agency of the state, expressing and exercing is
authority. Maksudnya pemerintah dalam definisi terbaiknya adalah sebagai
organisasi dari negara, yang memperlihatkan dan menjalankan kekuasaanya.
Sedangkan menurut Menurut C.F. Strong (1997: 64) mengatakan:
“Government in the
broader sense, is changed with the maintenance of the peace and security of
state with in and with out. It must therefore, have first military power or the
control of armed forces, secondly legislative power or the means of making law,
thirdly financial power or the ability to extract sufficient money from the
community to defray the cost of defending of state and of enforcing the law it
makes on the state behalf”.
Maksudnya pemerintahan dalam arti luas
mempunyai kewenangan untuk memelihara kedamaian dan keamanan negara, ke
dalam dan ke luar. Oleh karena itu, pertama harus mempunyai kekuatan militer
atau kemampuan untuk mengendalikan angkatan perang, yang kedua, harus mempunyai
kekuatan legislatif atau dalam arti pembuatan undang-undang, yang ketiga, harus
mempunyai kekuatan financial atau kemampuan untuk mencukupi keuangan masyarakat
dalam rangka membiayai ongkos keberadaan Negara dalam menyelenggarakan
peraturan, hal tersebut dalam rangka penyelenggaraan kepentingan negara.
Selanjutnya dikemukakan oleh Strong (1992:112) sebagai berikut :
It must, in short,
have legislative power, executive power and judicial
power, which we
mwy call the three departments of government.
Maksudnya adalah pemerintahan mempunyai kekuasaan
legislatif, kekuasaan eksekutif, dan kekuasaan yudisial, yang boleh kita sebut
sebagai tiga cabang pemerintahan. Menurut R. Mac Iver (1989:3)
mengatakan:
Government is the
organization of men under authority … how men can be
governed.
Maksudnya pemerintahan itu adalah sebagai suatu
organisasi dari orang-orang yang mempunyai kekuasaan … bagaimana manusia itu
bisa diperintah. Sementara itu Samuel Edward Finer dikuti dari Pamudji (1988:5)
menyatakan bahwa istilah
government, paling sedikitmempunyai empat arti :
a. Menunjukkan
kegiatan atau proses memerintah, yaitu melaksanakan kontrol atas pihak lain (the
activity or the process of roverning);
b. Menunjukkan
masalah-masalah (hal ikhwal) negara dalam mana kegiatan atau proses di atas
dijumpai (states of affairs)
c. Menunjukkan
orang-orang (maksudnya pejabat-pejabat) yang dibebani tugas-tugas untuk
memerintah (people charged with the duty of governing);
d. Menunjukkan
cara, metode, atau sistem dengan mana suatu masyarakat tertentu diperintah (the
manner, method or system by which a particular
society
is governed).
Adapun pemerintahan dalam arti luas menurut Carl J.
Frederich dalam Tutik (1997:97) adalah segala urusan yang dilakukan oleh negara
dalam menyelenggarakan kesejahteraan rakyatnya dan kepentingan negara sendiri.
Lebih lanjut lagi ia menjelaskan bahwa pemerintahan semata-mata tidak hanya
sekedar menjalankan tugas eksekutif saja, melainkan juga tugas-tugas lainnya
termasuk legislatif dan yudikatif. Berdasarkan uraian diatas dapatlah
dirumuskan bahwa pemerintahan dalam arti luas adalah perbuatan memerintah yang
dilakukan oleh organ-organ atau badan-badan legislatif, eksekutif, yudikatif
dalam rangka mencapai tujuan pemerintahan negara (tujuan nasional), sedangkan
pemerintahan dalam arti sempit adalah perbuatan memerintah yang dilakukan oleh
organ eksekutif dan jajarannya dalam rangka mencapai tujuan pemerintahan
negara.
A.2 Jenis-jenis
Sistem Pemerintahan
A.2.1 Sistem
Parlementer
Sistem parlementer merupakan sistem pemerintahan
dimana hubungan antara eksekutif dan badan perwakilan (legislatif) sangat erat.
Hal ini disebabkan adanya pertanggungjawaban para Menteri terhadap Parlemen.
Maka setiap kabinet yang dibentuk harus memperoleh dukungan kepercayaan dengan
suara terbanyak dari parlemen. Dengan demikian kebijakan pemerintah atau
kabinet tidak boleh meyimpang dari apa yang
dikehendaki oleh parlemen, Syafiie (2002 :12). Bertolak dari sejarah
ketatanegaraan, sistem parlemen ini merupakan kelanjutan dari bentuk negara
Monarki konstitusionil, dimana kekuasaan raja dibatasi oleh konstitusi. Karena
dalam sistem parlementer, presiden, raja dan ratu kedudukannya sebagai kepala
negara. Sedangkan yang disebut eksekutif dalam sistem parlementer adalah
kabinet, yang terdiri dari perdana menteri dan menteri-menteri yang bertanggung
jawab sendiri atau bersama-sama.
A.2.2 Sistem
Presidensial
Pemerintahan sistem presidensial adalah suatu
pemerintahan dimana kedudukan eksekutif tidak bertanggung jawab kepada badan
perwakilan rakyat, dengan kata lain kekuasaan eksekutif berada diluar
pengawasan (langsung) parlemen. Dalam sistem ini presiden memiliki kekuasaan
yang kuat, karena selain sebagai kepala negara juga sebagai kepala pemerintahan
yang mengetuai kabinet (dewan menteri), Syafiie (2002 :18) Oleh karena itu agar
tidak menjurus kepada diktatorisme, maka diperlukan checks and balances, antara
lembaga tinggi negara inilah yang disebut checking power with power. Menurut Rod Hague (1997:67) pemerintahan
presidensial terdiri dari tiga unsur yaitu:
a. Presiden yang dipilih rakyat memimpin pemerintahan
dan mengangkat pejabat-pejabat pemerintahan yang terkait.
b.
Presiden dengan
dewan perwakilan memiliki masa jabatan yang tetap, tidak bisa saling
menjatuhkan.
c.
Tidak ada
status yang tumpang tindih antara badan eksekutif dan badan legislatif.
Dalam sistem presidensial, presiden memiliki posisi
yang relatif kuat dan tidak dapat dijatuhkan karena rendah subjektif seperti
rendahnya dukungan politik. Namun masih ada mekanisme untuk mengontrol
presiden. Jika presiden melakukan pelanggaran konstitusi, pengkhianatan
terhadap negara, dan terlibat masalah kriminal, posisi presiden bisa
dijatuhkan. Bila ia diberhentikan karena pelanggaran-pelanggaran tertentu,
biasanya seorang wakil presiden akan menggantikan posisinya. Presiden
bertanggungjawab kepada pemilihnya (kiescollege). Adapun ciri-ciri dari
sistem presidensial menurut CF Strong C.F. Strong (2003 :381) adalah:
a. Presiden
adalah kepala eksekutif yang memimpin kabinetnya yang semuanya diangkat olehnya
dan bertanggungjawab kepadanya. Ia sekaligus sebagai kepala negara (lambang
negara) dengan masa jabatan yang telah ditentukan dengan pasti oleh UUD
b. Presiden
tidak dipilih oleh badan legislatif, tetapi dipilih oleh sejumlah pemilih. Oleh
karena itu, ia bukan bagian dari badan legislatif seperti dalam sistem
pemerintahan parlementer;
c. Presiden tidak bertanggung jawab kepada badan
legislatif dan tidak dapat dijatuhkan oleh badan legislatif,
d. Sebagai
imbangannya, Presiden tidak dapat membubarkan badan legislatif.
B.
Konsep dan Prinsip Demokrasi
Bangkitnya Indonesia ditandai dengan
adanya kebebasan bagi rakyat Indonesia untuk menghirup kebebasan yang di
lindungi undang-undang. Kebebasan pers, kebebasan berkumpul, berpendapat
danberekspresi di muka umum. Walau masih malu-malu, namun sejak 10 tahun
belakangan ini (era reformasi), perkembangan demokrasi di Indonesia terasa jauh
lebih baik. Kini, berbagai tayangan yang mengungkapkan perilaku pejabat tinggi,
kritikan terhadap pemerintah, proses persidangan dapat dilihat oleh masyarakat
tanpa ditutup-tutupi, mahasiswa dan masyarakat dapat berdemonstrasi menyampaikan
aspirasinya, dan lain sebagainya, sehingga masyarakat semakin cerdas dan
kritis. Puncaknya yaitu pemilihan langsung para kepala daerah serta presiden
Republik Indonesia. Demokrasi memang identik dengan kebebasan, namun harus
dapat dipertanggungjawabkan. Karena demokrasi yang kebablasan akan menimbulkan
potensi konflik yang tinggi.
Pemahaman mengenai demokrasi di Indonesia
mungkin belum sepenuhnya dikuasai oleh masyarakat. Walaupun pada pelaksanaannya
saat ini terjadi peningkatan yang signifikan dibandingkan 10 tahun yang lalu.
Selain memberikan pengaruh yang positif, namun ternyata kran demokrasi yang
baru saja terbuka memiliki potensi konflik dan perpecahan yang relatif tinggi.
Beberapa konflik yang terjadi di Indonesia terjadi karena pihak-pihak yang
terkait merasa memiliki hak dalam berpendapat dan membela diri dalam payung
hukum. Hal ini terjadi karena pihak-pihak yang bersengketa bisa jadi tidak
memahami konsep, prinsip, serta penerapan demokrasi yang sesungguhnya, sehingga
yang terjadi justru kemunculan benih-benih anarkis di lapangan. Akibatnya,
kerusakan yang ditimbulkan bukan saja merugikan kedua belah pihak, namun
masyarakat yang tidak terlibat juga menjadi korban. Belajar dari sejarah
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang pernah ada beberapa puluh
tahun yang lalu, demokrasi menjadi sistem alternatif yang dipilih oleh beberapa
negara yang sudah maju. Demokrasi sebagai suatu sistem telah dijadikan
alternatif dalam berbagai tatanan aktivitas bermasyarakat dan bernegara di beberapa
negara.
B.1
Demokrasi sebagai Bentuk Pemerintahan
Makna demokrasi sebagai
suatu bentuk pemerintahan merupakan pengertian awal yang dikemukakan para ahli
dan tokoh sejarah, misalnya Plato dan Aristotoles. Plato dalam tulisannya
Republic menyatakan bahwa bentuk pemerintahan yang baik itu ada tiga yakni
monarki, aristokrasi, dan demokrasi. Jadi demokrasi adalah satu satu dari tiga
bentuk pemerintahan. Ukuran yang digunakan untuk membedakan adalah kuantitas
dalam arti jumlah orang yang berkuasa dan kualitas yang berarti untuk siapa
kekuasaan itu dijalankan. Menurutnya, demokrasi adalah suatu bentuk
pemerintahan dimana pemerintahan itu dipegang oleh rakyat dan dijalankan untuk
kepentingan rakyat banyak. Monarki adalah bentuk pemerintahan yang dipegang oleh
seseorang sebagai pemimpin tertinggi dan dijalankan untuk kepentingan rakyat
banyak. Aristokrasi adalah suatu bentuk pemerintahan yang dipegang oleh
sekelompok orang yang memimpin dan dijalankan untuk kepentingan rakyat banyak.
Ketiganya dapat berubah menjadi bentuk pemerintahan yang buruk yakni tirani,
oligarki dan mobokrasi atau okhlokrasi.
Tirani adalah suatu
bentuk pemerintahan yang dipegang oleh seseorang sebagai pemimpin tertinggi dan
dijalankan untuk kepentingan pribadi. Oligarki adalah suatu bentuk pemerintahan
yang dipegang oleh sekelompok dan dijalankan untuk kelompok itu sendiri, Plato
((429-347 SM) dikutip dari irfan (2007: 43)
Sedangkan
mobokrasi/okhlokrasi adalah suatu bentuk pemerintahan yang dipegang oleh
rakyat, tetapi rakyat tidak tahu apa-apa, rakyat tidak berpendidikan, dan
rakyat tidak paham tentang pemerintahan. Akhirnya, pemerintahan yang dijalankan
tidak berhasil untuk kepentingan rakyat banyak. Penyelenggaraan pemerintahan
itu justru menimbulkan keonaran, kerusuhan, kebebasan, dan kerusakan yang parah
sehingga dapat menimbulkan anarki.
Sementara itu,
Aristoteles dalam tulisannya Politics mengemukakan adanya tiga macam bentuk
pemerintahan yang baik yang disebutnya good constitution, meliputi: monarki,
aristokrasi dan polity. Sedangkan pemerintahan yang buruk atau bad constitution
meliputi tirani, oligarki dan demokrasi. Jadi berbeda dengan Plato, demokrasi
menurut Aristoteles merupakan bentuk dari pemerintahan yang buruk, sedang yang
baik disebutnya polity atau
politeia. Teori Aristoteles banyak
dianut oleh para sarjana di masa lalu diantaranya Pollybius. Hanya saja menurut
Pollybius, bentuk pemerintahan yang ideal bukan politeia, tetapi demokrasi yang
bentuk pemerosotannya adalah mobokrasi (pemerintahan yang chaostic). Jadi
Pollybius lebih sejalan dengan pendapat Plato. Ia terkenal dengan ajarannya
yang dikenal dengan nama Lingkaran Pollybius, bahwa bentuk pemerintahan akan
mengalami perputaran dari yang awalnya baik menjadi buruk, menjadi baik kembali
dan seterusnya.
Dengan demikian teori
Pollybius telah mengubah wajah demokrasi sebagai bentuk pemerintahan yang buruk
menjadi sesuatu yang ideal atau baik dan diinginkan dalam penyelenggaraan
bernegara sesuai dengan kehendak rakyat. Sampai saat itu pemaknaan demokrasi
sebagai bentuk pemerintahan masih dianut beberapa ahli. Sidney Hook (2008) mengatakan demokrasi adalah bentuk
pemerintahan di mana keputusan keputusan pemerintah yang penting secara
langsung atau tidak langsung didasarkan pada kesepakatan mayoritas yang
diberikan secara bebas kepada rakyat dewasa. Sedangkan menurut International Commission for
Jurist, demokrasi adalah suatu bentuk pemerintahan di mana hak untuk membuat
keputusan-keputusan politik diselenggarakan oleh warga Negara melalui
wakil-wakil yang dipilih oleh mereka dan yang bertanggung jawab kepada mereka
melalui suatu proses pemilihan yang bebas (Mirriam Budiardjo, 2008: 116-117).
Georg Sorensen (2003: 1)
secara lugas menyatakan demokrasi adalah suatu bentuk pemerintahan oleh rakyat.
B.2
Demokrasi sebagai Sistem Politik
Perkembangan berikutnya,
demokrasi tidak sekedar dipahami sebagai bentuk pemerintahan, tetapi lebih luas
yakni sebagai system politik. Bentuk pemerintahan bukan lagi demokrasi ,
oligarki, monarki atau yang lainnya. Bentuk pemerintahan, dewasa ini lebih
banyak menganut pendapatnya Nicollo Machiavelli (1467-1527). Ia menyatakan bahwa Negara (Lo Stato) dalam
hal ini merupakan hal yang pokok (genus) sedang spsesiesnya adalah Republik
(Respublica) dan Monarki (Principati).
Monarki adalah bentuk
pemerintahan yang bersifat kerajaan. Pemimpin negara umumnya bergelar raja,
ratu, kaisar, atau sultan. Sedangkan Republik adalah bentuk pemerintahan yang
dipimpin oleh seorang presiden atau perdana menteri. Pembagian dua bentuk
pemerintahan tersebut didasarkan pada cara pengangkatan atau penunjukkan
pemimpin negara. Apabila penunjukkan pemimpin Negara berdasarkan keturunan atau
pewarisan maka bentuk pemerintahannya monarki. Sedangkan bila penunjukkan
pemimpin negara berdasarkan pemilihan maka bentuk pemerintahannya adalah
republik. Jika bentuk pemerintahan adalah republik atau monarki, maka demokrasi
berkembang sebagai suatu sistem politik dalam bernegara. Sarjana yang
mendefinikan demokrasi sebagai sistem, misalnya Henry B Mayo (Mirriam
Budiardjo, 2008: 117) yang menyatakan sistem politik demokrasi adalah sistem
yang menunjukkan bahwa kebijaksanaan umum ditentukan atas dasar mayoritas oleh
wakil-wakil yang diawasi secara efektif oleh rakyat dalam pemilihan-pemilihan
berkala yang didasarkan atas prinsip kesamaan politik dan diselenggarakan dalam
suasana terjaminnya kebebasan politik.
Samuel Huntington (1997:
6-7) menyatakan bahwa sistem politik di dunia ini ada dua yakni sistem politik
demokrasi dan sistem politik non demokrasi. Menurutnya, suatu sistem politik
disebut demokrasi apabila para pembuat keputusan kolektif yang paling kuat
dalam sistem itu dipilih melalui pemilihan yang jurdil. Di dalam sistem itu,
para calon bebas bersaing untuk memperoleh suara dan semua penduduk berhak
memberikan suara. Sedangkan sistem politik non demokrasi meliputi sistem
totaliter, otoriter, absolut, rezim militer, sistem komunis, dan system partai
tunggal. Demokrasi sekarang ini merupakan lawan dari system politik otoriter,
absolut, dan totaliter.
Carter dan Herz dalam
Ramlan Surbakti (1999: 221) menggolongkan macam-macam sistem politik didasarkan
pada kriteria siapa yang memerintah dan ruang lingkup jangkauan kewenangan
pemerintah. Berdasar ini maka ada sistem politik otoriter, sistem politik
demokrasi, sistem politik totaliter dan sistem politik liberal. Apabila pihak
yang memerintah terdiri atas beberapa orang atau kelompok kecil orang maka
sistem politik ini disebut “pemerintahan dari atas” atau lebih tegas lagi
disebut oligarki, otoriter, ataupun aristokrasi. Di lain pihak, apabila pihak
yang memerintah terdiri atas banyak orang, maka sistem politik ini disebut
demokrasi. Kemudian apabila kewenangan pemerintah pada prinsipnya mencakup
segala sesuatu yang ada dalam masyarakat, maka rezim ini disebut totaliter.
Sedangkan apabila pemerintah memiliki kewenangan yang terbatas yang membiarkan
beberapa atau sebagian besar kehidupan masyarakat mengatur dirinya sendiri tanpa campur tangan
dari pemerintah dan apabila kehidupan masyarakat dijamin dengan tata hukum yang
disepakati bersama, maka rezim ini disebut liberal.
Ramlan Surbakti (1999:
222-232) juga membedakan sistem politik terdiri atas sistem politik otokrasi
tradisional, sistem politik totaliter dan sistem politik demokrasi. Selain tiga
jenis tersebut dinyatakan pula adanya sistem politik negara berkembang. Macam–macam
sistem politik tersebut dibedakan dengan lima kreteria yaitu kebaikan bersama,
identitas bersama, hubungan kekuasaan, legitimasi kewenangan dan hubungan
ekonomi dan politik. Sistem politik demokrasi, kesempatan politik yang sama
bagi individu. Individu menggunakan kesempatan politik tersebut dengan
menggabungkan diri dalam organisasi-organisasi sukarela yang dapat mempengaruhi
keputusan pemerintah dan membuat kebijakan yang menguntungkan mereka. Selain
itu sistem ini menekankan pada persamaan kesempatan ekonomi daripada pemerataan
hasil dari pemerintah. Jadi individu bebas mencari dan mendayagunakan kekayaan
sepanjang dalam batas-batas yang disepakati bersama. Sistem politik demokrasi
menekankan pemenuhan kebutuhan materiil kepada massa dan dalam masyarakat,
negara menerapkan individualisme. Hal ini menimbulkan ketegangan antara
tujuan-tujuan moril dan materiil, namun demikian pemenuhan kebutuhan materiil
yang tampaknya lebih menonjol.
Pendapat lain dikemukakan
oleh Arief Budiman (1996: 38), bahwa hanya ada dua kutub variasi sistem
politik, yakni sistem politik yang otoriter dan sistem politik yang demokratis.
Sukarna dalam buku Demokrasi Versus
Kediktatoran (1981) juga membedakan adanya system politik demokrasi dan
kediktatoran. Pada intinya adalah demokrasi telah dipahami sebagai sistem
politik yang dilawankan dengan sistem
politik non demokrasi, sebagaimana pendapat Samuel Huntington di atas. Ukuran
yang membedakannya adalah prinsip-prinsip yang digunakan dalam bernegara.
Sukarna (1981: 4-5) mengemukakan
adanya beberapa prinsip dari demokrasi dan prinsip-prinsip dari otoritarian
atau kediktatoran. Adapun prinsip-prinsip dari sistem politik demokrasi adalah
sebagai berikut:
a.
pembagian kekuasaan; kekuasaan eksekutif, legeslatif, yudikatif berada pada
badan yang berbeda
b. pemerintahan
konstitusional
c. pemerintahan
berdasarkan hukum
d. pemerintahan mayoritas
e. pemerintahan dengan
diskusi
f. pemilihan umum yang
bebas
g. partai politik lebih
dari satu dan mampu melaksanakan fungsinya
h. management yang
terbuka
i. pers yang bebas
j. pengakuan terhadap hak
hak minoritas
k. perlindungan terhadap
hak asasi manusia
l. peradilan yang bebas
dan tidak memihak
m. pengawasan terhadap
administrasi negara
n.
mekanisme politik yang berubah antara kehidupan politik masyarakat dengan
kehidupan politik pemerintah
o.
kebijaksanaan pmerintah dibuat oleh badan perwakilan politik tanpa paksaan dari
lembaga manapun
p. penempatan pejabat
pemerintahan dengan merit sistem bukan poil sistem
q. penyelesaian secara
damai bukan dengan kompromi
r. jaminan terhadap
kebebasan individu dalam batas-batas tertentu.
s. konstitusi/ UUD yang
demokratis
t. prinsip
persetujuan
Kebalikan dari prinsip
demokrasi adalah prinsip kediktatoran yang berlaku pada sistem politik otoriter
atau toteliter. Prinsip-prinsip ini biasa disebut sebagai prinsip non
demokrasi, yaitu sebagai berikut:
a.
Pemusatan kekuasaan yaitu kekuasaan
legislatif, kekuasaan eksekutif dan kekuasaan yudikatif menjadi satu. Ketiga
kekuasaan itu dipegang dan dijalankan oleh satu lembaga saja.
b.
Pemerintahan tidak berdasar konstitusional
yaitu pemerintahan dijalankan berdasarkan kekuasaan. Konstitusinya memberi
kekuasaan yang besar pada negara atau pemerintah.
c.
Rule of power atau prinsip negara kekuasaan
yang ditandai dengan supremasi kekuasaan dan ketidaksamaan di depan hukum
d.
Pembentukan pemerintahan tidak berdasar
musyawarah tetapi melalui dekrit
e.
Pemilihan umum yang tidak demokratis.
Pemilu dijalankan hanya untuk memperkuat keabsahan penguasa atau pemerintah
negara.
f.
Terdapat satu partai politik yaitu partai
pemerintah atau ada beberapa partai tetapi ada sebuah partai yang memonopoli
kekuasaan.
g.
Manajemen dan kepemimpinan yang tertutup
dan tidak bertanggung jawab
h.
Menekan dan tidak mengakui hak hak
minoritas warga negara
i.
Tidak adanya kebebasan berpendapat,
berbicara dan kebebasan pers. Kalaupun ada pers maka pers tersebut sangat
dibatasi
j.
Tidak ada perlindungan terhadap hak asasi
manusia bahkan sering terjadi pelanggaran atas hak asasi manusia.
k.
Badan peradilan yang tidak bebas dan bisa
diintervensi oleh penguasa.
l.
Tidak ada kontrol atau pengendalian
terhadap administrasi dan birokrasi. Birokrasi pemerintah sangat besar dan
menjangkau keseluruh wilayah kehidupan bermasyarakat.
m.
Mekanisme dalam kehidupan politik dan
sosial tidak dapat berubah dan bersifat sama
n.
Penyelesaian perpecahan atau perbedaan
dengan cara kekerasan dan penggunaan paksaan
o.
Tidak ada jaminan terhadap hak-hak dan
kebebasan individu dalam batas tertentu misalnya: kebebasan berbicara,
kebebasan beragama, bebas dari rasa takut.
p.
Prinsip dogmatisme dan banyak berlaku doktrin
B.3
Demokrasi dan Pendidikan Demokrasi
B.3.1
Pengertian Pendidikan Demokrasi
Demokrasi sebagai suatu
sistem bermasyarakat, berbangsa dan bernegara tidak dapat diterapkan secara
parsial (sebagian-sebagian). Pemahaman yang utuh akan demokrasi harus juga
dimilliki oleh setiap warga negara baik secara perorangan maupun kelembagaan.
Hal ini mengisyaratkan bahwa siapapun yang berada dan
berkepentingan dalam negara ini
(stakeholder) mampu menerapkan prinsip-prinsip
demokrasi dalam setiap kegiatannya. Negara
yang menginginkan sistem politik demokrasi dapat diterapkan dengan baik membutuhkan
dua pilar, yaitu; institusi (struktur) demokrasi dan budaya (perilaku) demokrasi.
Kematangan budaya politik, menurut Gabriel Almond dan Sidney Verba, akan
tercapai bila ada keserasian antara struktur dengan budaya. Oleh karena itu, membangun
masyarakat demokratis berarti usaha menciptakan keserasian antara struktur yang
demokratis dengan budaya yang demokratis juga. Masyarakat demokratis akan
terwujud bila di negara tersebut terdapat institusi dan sekaligus berjalannya
perilaku yang demokratis.
Institusi atau struktur
demokrasi menunjuk pada tersedianya lembaga- lembaga politik demokrasi yang ada
di suatu negara. Suatu negara dikatakan negara demokrasi bila di dalamnya
terdapat lembaga-lembaga politik demokrasi. Lembaga itu antara lain pemerintahan
yang terbuka dan bertanggung jawab, parlemen, lembaga pemilu, organisasi
politik, lembaga swadaya masyarakat, dan media massa. Membangun institusi
demokrasi berarti menciptakan dan menegakkan lembaga-lembaga politik
tersebut
dalam negara.
Perilaku atau budaya
demokrasi merujuk pada berlakunya nilai-nilai demokrasi di masyarakat.
Masyarakat yang demokratis adalah masyarakat yang memiliki perilaku hidup, baik
keseharian dan kenegaraannya dilandasi oleh nilai-nilai demokrasi. Henry B.
Mayo menguraikan bahwa nilai-nilai demokrasi meliputi damai dan sukarela, adil,
menghargai perbedaan, menghormati kebebasan, memahami keanekaragaman, teratur,
paksaan yang minimal dan memajukan ilmu. Membangun budaya demokrasi berarti
mengenalkan, mensosialisasikan dan menegakkan nilai-nilai demokrasi pada masyarakat.
Upaya membangun budaya demokrasi jauh lebih sulit dibandingkan dengan membangun
struktur demokrasi. Hal ini menyangkut kebiasaan masyarakat yang membutuhkan
waktu yang relatif lama untuk merubahnya. Bayangkan, Indonesia yang secara
struktur telah merepresentasikan sebagai negara demokrasi, namun masih banyak
peristiwa-peristiwa yang menggambarkan kebebasan yang semakin liar; kekerasan,
bentrokan fisik, konflik antar etnis/ras dan agama, ancaman bom, teror, rasa
tidak aman, dan sebagainya. Struktur demokrasi tidak cukup untuk membangun negara
yang demokratis. Justru, kunci utama yang menentukan keberhasilan sebuah negara
demokratis adalah perilaku/budaya masyarakatnya. Untuk membangun
budaya/perilaku masyarakat yang demokratis, dibutuhkan metode pendidikan
demokrasi yang efektif.
Pendidikan demokrasi pada
hakikatnya adalah sosialisasi nilai-nilai demokrasi agar dapat diterima dan
dijalankan oleh warga negara. Pendidikan demokrasi bertujuan mempersiapkan
warga masyarakat berperilaku dan bertindak demokratis, melalui aktivitas
menanamkan pada generasi muda akan pengetahuan, kesadaran, dan nilainilai demokrasi.
Pengetahuan dan kesadaran akan nilai demokrasi itu meliputi tiga
hal; pertama, kesadaran bahwa demokrasi adalah
pola kehidupan yang paling menjamin hak-hak warga masyarakat itu sendiri.
Kedua, demokrasi adalah sebuah learning process yang lama dan tidak sekedar
meniru dari masyarakat lain. Ketiga, kelangsungan demokrasi tergantung pada
keberhasilan mentransformasikan nilai-nilai demokrasi pada masyarakat (Zamroni,
2004).
Pada tahap selanjutnya
pendidikan demokrasi akan menghasilkan masyrakat yang mendukung sistem politik
yang demokratis. Sistem politik demokrasi hanya akan langgeng apabila didukung
oleh masyarakat demokratis. Yaitu masyarakat yang berlandaskan pada nilai-nilai
demokrasi serta berpartisipasi aktif mendukung kelangsungan pemerintahan
demokrasi di negaranya. Oleh karena itu setiap pemerintahan demokrasi akan
melaksanakan sosialisasi nilai-nilai demokrasi kepada generasi muda.
Kelangsungan pemerintahan demokrasi bersandar pada pengetahuan dan kesadaran
demokrasi warga negaranya. Pendidikan pada umumnya dan pendidikan demokrasi
pada khususnya akan diberikan seluas-luasnya bagi seluruh warganya. Warga
negara yang berpendidikan dan memiliki kesadaran politik tinggi sangat
diharapkan oleh negara demokrasi. Hal ini bertolak belakang dengan negara otoriter
atau model diktator yang takut dan merasa terancam oleh warganya yang berpendidikan.
Sosialisasi nilai-nilai
demokrasi melalui pendidikan demokrasi adalah bagian dari sosialisasi politik
negara terhadap warganya. Namun demikian, pendidikan demokrasi tidaklah identik
dengan sosialisasi politik itu sendiri. Sosialisasi politik mencakup pengertian
yang luas sedangkan pendidikan demokrasi mengenai cakupan yang lebih sempit.
Sesuai dengan makna pendidikan sebagai proses yang sadar dan renencana, sosialisasi
nilai-nilai demokrasi dilakukan secara terencana, terprogram, terorganisasi secara
baik khususnya melalui pendidikan formal. Pendidikan formal dalam hal ini sekolah,
berperan penting dalam melaksanakan pendidikan demokrasi kepada generasi muda.
Sistem persekolahan memiliki peran penting khususnya untuk
kelangsungan sistem politik demokrasi
melalui penanaman pengetahuan, kesadaran dan nilai-nilai demokrasi.
C.
Pengertian Sistem Politik

Maksudnya Ilmu politik adalah kajaian tentang
negara, tujuan-tujuan negara, dan lembaga-lembaga yang akan melaksanakan
tujuan-tujuan itu; hubungan antara negara dengan warga negaranya serta dengan
negara-negara lain). Sedangkan J. Barents (1965: 23) mengemukakan Ilmu politik
adalah ilmu tentang kehidupan negara… yang merupakan bagian dari kehidupan
masyarakat; ilmu politik mempelajari negara-negara itu melakukan
tugas-tugasnya. Berbeda dengan kelompok pendekatan kekuasaan (power approach),
seperti Harold Laswel, W.A. Robson, maupun Deliar Noer. Laswel (1950: 240)
mengemukakan: mendefinisikan ilmu politik sebagai disiplin empiris pengkajian
tentang pembentukan dan pembagian kekuasaan, serta “tindakan politik seperti
yang ditampilkan seseorang dalam perspektif-perspktif kekuasaan”.
Kemudian Robson (1954; 24) mengemukakan: Political science is concerned with the
study of power in society… its nature, basis, processes, scope and results. The
focus of interest of the political scientist… centers on the struggle to gain
or retain power, to exercise power or influence over others, or to resist that
exercise. Maksudnya Ilmu politik adalah ilmu yang memfokuskan dalam
masyarakat, … yaitu sifat hakiki, dasar, proses-proses, ruang lingkup dan
hasil-hasilnya. Fokus perhatian seorang sarjana ilmu politik … tertuju pada perjuangan
untuk mencapai atau mempertahankan kekuasaan , melaksanakan kekuasaan atau
pengaruh atas orang lain, atau menentang pelaksanaan kekuasaan itu).
C.1 Partai Politik
Partai politik pertama lahir di
negara-negara Eropa Barat. Dengan meluasnya gagasan bahwa rakyat merupakan
faktor yang perlu diperhitungkan serta diikutsertakan dalam proses politik,
maka partai politik telah lahir secara spontan dan berkembang menjadi
penghubung antara rakyat disatu pihak dan pemerintah di pihak lain. Partai politik
umumnya dianggap sebagai manifestasi dari suatu sistem politik yang sudah
modern atau yang sedang dalam proses memodernisasikan diri. Maka dari itu,
dewasa ini di negara-negara baru pun partai politik sudah menjadi lembaga
politik yang biasa dijumpai. Di negara-negara yang menganut faham demokrasi,
gagasan mengenai partisipasi rakyat mempunyai dasar ideologis, bahwa rakyat
berhak turut menentukan siapa-siapa yang akan menjadi pemimpin bangsa yang akan
menentukan kebijaksanaan umum (public policy). Di negara totaliter gagasan
mengenai partisipasi politik rakyat didasari pandangan elite politiknya bahwa
rakyat perlu di bimbing dan dibina untuk mencapai stabilitas yang langgeng.
Untuk mencapai tujuan itu, partai politik merupakan alat yang baik.
Pada permulaan perkembangannya di
negara-negara Barat seperti, Inggris, Perancis, kegiatan politik pada mulanya
dipusatkan pada kelompok-kelompok politik dalam parlemen. Kegiatan ini
mula-mula bersifat elitis dan aristokratis, mempertahankan kepentingan kaum
bangsawan terhadap tuntutan-tuntutan raja. Dengan meluasnya hak pilih, kegiatan
politik juga berkembang di luar parlemen dengan terbentuknya panitia-panitia
pemilihan yang mengatur pengumpulan suara para pendukungnya menjelang masa
pemilihan umum. Oleh karena itu di rasa perlu memperoleh dukungan dari berbagai
golongan masyarakat, kelompok politik dalam parlemen lambat laun berusaha
memperkembangkan organisasi massa, dengan demikian terjalinlah suatu hubungan
tetap antara kelompok-kelompok politik dalam parlemen dengan panitia pemilihan
yang memiliki faham dan kepentingan yang sama, dan lahirlah partai politik.
Partai politik semacam ini menekankan kemenangan dalam pemilihan umum dan dalam
masa antara kedua pemilihan umum biasanya kurang aktif. Ia bersifat partai lindungan
(patronage party) yang biasanya tidak memiliki disiplin partai yang ketat.
Menurut Miriam Budiardjo (2005 : 161),
Partai Politik adalah suatu kelompok yang terorganisir yang anggota-anggotanya
mempunyai orientasi, nilai-nilai dan cita-cita yang sama. Tujuan kelompok ini
ialah untuk memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik dengan
cara konstitusional untuk melaksanakan kebijaksanaan-kebijaksanaan mereka.
Rahman (2007 : 102-103) menyimpulkan
Partai Politik sebagai kumpulan orang yang memiliki nilai dan cita-cita yang
sama, terorganisir, dan memiliki tujuan yang sama untuk meraih kekuasaan
politik dalam pemerintahan negara. Partai politik berbeda dengan Movement
(gerakan). Movement merupakan kelompok yang memiliki aktivitas melakukan
perubahan dengan cara-cara politik, terbatas, fundamental dan bersifat
ideologis terhadap lembaga politik. Sedangkan partai politik merupakan lembaga
yang aktivitasnya bertujuan untuk meraih kekuasaan politik. Dengan
kata lain penulis menyimpulkan, Partai Politik adalah sekelompok orang yang
memiliki cita-cita, tujuan dan kepentingan yang sama. Yakni memperoleh, merebut
dan mempertahankan kekuasaan politik dalam upaya penyelenggaraan pemerintahan
negara secara konstitusional.
C.2 Fungsi Partai Politik
Dalam menjalankan fungsinya, partai
politik akan ikut ditentukan oleh kelompok-kelompok dan tujuan yang ingin
dicapai. Suatu partai revolusioner akan berjuang untuk merubah seluruh tatanan
organisasi pemerintahan, kebudayaan masyarakat, dan sistem ekonomi dari suatu
kondisi; dan apabila berhasil ia mungkin mengendalikan setiap kegiatan penting
dalam masyarakat itu. Suatu partai konservatif dan tradisional, yang terjadi
adalah sebaliknya yaitu hanya berusaha mempertahankan keadaan seperti apa
adanya (Mochtar and C. M. Andrews dalam Rahman, 2007: 103).
Menurut Rahman (2007: 103 – 104), Fungsi
Partai Politik yang melekat dalam suatu partai politik adalah meliputi:
a.
Sosialisasi Politik
Adalah fungsi sebagai proses melalui
mana seseorang memperoleh sikap dan orientasi terhadap fenomena politik yang
umumnya berlaku dalam masyarakat di mana dia berada. Biasanya proses
sosialisasi berjalan secara berangsur-angsur dari kanak-kanak sampai dewasa.
b.
Partisipasi Politik
Adalah fungsi yang dimiliki oleh
partai politik untuk mendorong masyarakat agar ikut aktif dalam kegiatan
politik. Biasanya dilakukan melalui indoktrinasi ideologi, platform, asas
partai kepada anggota, masyarakat yang ada dalam jangkauan partainya.
c.
Komunikasi Politik
Fungsi ini adalah menyalurkan aneka
ragam pendapat dan aspirasi masyarakat dan mengaturnya sedemikian rupa sehingga
kesimpangsiuran pendapat dalam masyarakat berkurang.
d.
Artikulasi Kepentingan
Adalah
fungsi menyatakan atau menyampaikan (mengartikulasi) kepentingan konstituen
(masyarakat) kepada badan-badan politik dan pemerintah melalui
kelompok-kelompok yang mereka bentuk bersama orang lain yang memiliki
kepentingan yang sama.
e.
Agregasi Kepentingan
Adalah menjadi fungsi partai politik
untuk memadukan semua aspirasi yang ada dalam masyarakat yang kemudian
dirumuskan sebagai program politik dan diusulkan kepada badan legislatif dan
calon-calon yang diajukan untuk jabatan-jabatan pemerintahan mengadakan
tawar-menawar dengan kelompok-kelompok kepentingan, dengan menawarkan pemenuhan
kepentingan mereka kalau kelompok kepentingan itu mau mendukung calon tersebut.
f.
Pembuat
Kebijaksanaan
Fungsi ini
adalah fungsi yang dimiliki oleh partai politik setelah partai politik meraih
dan mempertahankan kembali kekuasaan di dalam pemerintahan secara
konstitusional. Kekuasaan dimaksud adalah kekuasaan di lembaga eksekutif maupun
legislatif. Setelah memperoleh kekuasaan ini, maka partai politik memberikan pengaruhnya
dalam membuat kebijaksanaan yang akan digunakan dalam suatu pemerintahan.
C.3 Sosialisasi Politik
C.3.1 Pengertian Sosialisasi Politik
Sosialisasi politik mencakup pemeriksaan
mengenai lingkungan kultural, lingkungan sosial dari masyarakat yang
bersangkutan, interaksi sosial, tingkah laku sosial, suatu proses bagaimana
memperkenalkan sebuah sistem pada seseorang, dan bagaimana orang tersebut
menentukan tanggapan serta reaksireaksinya. Sosialisasi politik ditentukan oleh
lingkungan sosial, ekonomi dan kebudayaan di mana individu berada, selain itu
juga ditentukan oleh interaksi pengalaman-pengalaman serta
kepribadiannya.Berdasarkan hal tersebut, sosialisasi politik merupakan mata
rantai paling penting di antara sistem-sistem sosial lainnya, karena dalam
sosialisasi politik adanya keterlibatan individu-individu sampai dengan
kelompok-kelompok dalam satu sistem untuk berpartisipasi. Pengertian
sosialisasi politik menurut Charles R. Wright adalah: “Proses ketika individu
mendapatkan kebudayaan kelompoknya dan menginternalisasikan (sampai tingkat
tertentu) norma-norma sosialnya, sehingga membimbing orang tersebut untuk
memperhitungkan harapan-harapan orang lain” (dalam Sutaryo, 2005:156).
Sosialisasi merupakan proses belajar, pada
dasarnya sifat manusia adalah tidak akan pernah puas untuk belajar sesuatu hal
yang belum diketahuinya, seperti belajar mengenai norma-norma untuk dapat
beradaptasi dengan lingkungan sosialnya. Hal tersebut sejalan dengan pendapat
Peter L. Berger bahwa sosialisasi merupakan proses dengan mana seseorang belajar
menjadi anggota masyarakat (dalam Sutaryo, 2005:156). Berdasarkan uraian di
atas terdapat persamaan mengenai sosialisasi politik, terletak pada objek dari
sosialisasi yaitu masyarakat yang dilihat dari sudut hubungan antar manusia,
dan proses yang timbul dari hubungan manusia di dalam masyarakat. Sosialisasi
politik juga terdapat interaksi antar manusia sebagai anggota kelompok.
Timbulnya kelompok-kelompok dalam masyarakat ialah karena dua sifat manusia
yang bertentangan satu sama lain, di satu pihak ingin berkerjasama, di pihak
lain cenderung untuk bersaing dengan sesama manusia untuk dapat berkuasa.
Kekuasan merupakan kajian dan konsep dari politik. Mengenai hubungan
sosialisasi dengan politik terletak pada objek dari sosialisasi, dapat
diartikan bahwa pengertian sosialisasi sama dengan pengertian dari sosialisasi
politik. Fred. Greenstein menjelaskan pengertian sosialisasi
politik dalam arti sempit dan luas, yaitu:
1) Penanaman
informasi yang disengaja, nilai-nilai dan praktek-praktek yang oleh badan-badan
intruksional secara formal ditugaskan untuk tanggung jawab.
2) Semua
usaha untuk mempelajari, baik formal maupun informal, disengaja ataupun tidak
direncanakan, pada setiap tahap siklus kehidupan, dan termasuk didalamnya tidak
secara eksplisit masalah belajar saja, akan tetapi juga secara nominal belajar
bersikap mengenai karakteristik-karakteristik kepribadian yang
bersangkutan.(dalam Rush & Althoff, 2002:35-36)
Pada dasarnya penyebaran informasi mengenai
nilai-nilai dan normanorma adalah inti dari sosialisasi yang dilakukan oleh
badan-badan atau kelompok kepentingan untuk menanamkan nilai-nilai, sikap-sikap
dan pengetahuan pada objek sosialisasi. Menurut David Easton dan Jack Dennis
sosialisasi politik adalah suatu proses perkembangan seseorang untuk mendapatkan
orientasi-orientasi dan pola tingkah lakunya (dalam Rush & Althoff,
2002:36).
Sosialisasi politik menurut Syahrial Syarbaini dkk
ialah proses pembentukan sikap dan orietansi politik pada anggota masyarakat
(Syahrial Syarbaini dkk, 2004:71). Masyarakat melalui proses sosialisasi
politik inilah memperoleh sikap dan orientasi terhadap kehidupan politik yang
berlangsung dalam masyarakat. Proses ini berlangsung seumur hidup melalui
pendidikan formal dan informal atau tidak sengaja melalui kontak dan pengalaman
seharihari, baik dalam kehidupan keluarga atau tetangga maupun dalam pergaulan masyarakat.
C.3.2 Jenis- Jenis Sosialisasi Politik
Sosialisasi
apabila dikaitkan dengan prosesnya, terdapat jenis-jenis sosialisasi. Susanto
membagi jenis sosialisasi menjadi dua, yaitu:
1) Sosialisasi
primer, sosialisasi pertama yang dijalani individu semasa kecil dengan belajar
menjadi anggota masyarakat (keluarga). Sosialisasi ini berlangsung pada saat
kanak-kanak
2) Sosialisasi
sekunder, adalah suatu proses sosialisasi lanjutan setelah sosialisasi primer
yang memperkenalkan individu ke dalam kelompok tertentu dalam masyarakat, (Susanto,1992:32).
Kedua
proses tersebut berlangsung dalam institusi total, yaitu tempat tinggal dan
tempat bekerja. Dalam kedua institusi tersebut, terdapat sejumlah individu
dalam situasi yang sama, terpisah dari masyarakat luas dalam jangka waktu
tertentu, bersama-sama menjalani proses kehidupan, dan diatur secara formal.
Jenis-jenis
sosialisasi berdasarkan tipenya menurut Syahrial Syarbaini dkk,
terbagi menjadi
dua, yaitu:
1) Sosialisasi
formal, yaitu sosialisasi yang dilakukan melalui lembagalembaga berwenang
menurut ketentuan negara atau melalui lembagalembaga yang dibentuk menurut
undang-undang dan peraturan pemerintah yang berlaku.
2) Sosialisasi
informal, yaitu sosialisasi yang bersifat kekeluargaan, pertemanan atau
sifatnya tidak resmi, (Syarbaini dkk, 2004:73)
Sosialisasi yang dilakukan oleh lembaga-lembaga resmi
pemerintahan, disebut sosialisasi formal karena lembaga tersebut mempunyai
kewenangan karena mempunyai landasan hukum dan materi yang disampaikan
merupakan kebijakan pemerintah. Sosialisasi yang bersifat informal lebih sering
dilakukan tanpa disadari. Jenis sosialisasi formal merupakan jenis yang sering
digunakan oleh pemerintah dalam mensosialisaskan program atau kebijakan yang
baru dibuat kepada masyarakat.
C.2.3 Syarat
Terjadinya Sosialisasi Politik
Sosialisasi
merupakan sistem dalam kehidupan masyarakat yang sangat penting. Berdasarkan
hal tersebut, sosialisasi politik memberikan dua kontribusi fundamental bagi
kehidupan masyarakat, yaitu:
1) Pertama,
memberikan dasar atau fondasi kepada individu bagi terciptanya partisipasi yang
efektif dalam masyarakat.
2) Kedua,
memungkinkan lestarinya suatu masyarakat, karena tanpa sosialisasi akan hanya
ada satu generasi saja sehingga kelestarian masyarakat akan sangat terganggu (Susanto,1992:39)
Berdasarkan uraian di atas, peneliti menyimpulkan
bahwa melalui sosialisasi politik masyarakat dapat berpartisipasi untuk
kepentingan hidupnya dan menciptakan generasi untuk kelestarian kehidupan
selanjutnya. Selain itu, terdapat faktor lain yang menunjang proses sosialisasi
politik yaitu faktor lingkungan, dimana didalamnya interaksi sosial. Selain
faktor lingkungan terdapat faktor-faktor lain yang mempengaruhi sosialisasi, di
antaranya adalah:
1) Apa yang disosialisasikan, merupakan bentuk
informasi yang akan diberikan kepada masyarakat berupa nilai, norma dan peran.
2) Bagaimana cara mensosialisasikan, melibatkan
proses pembelajaran.
3) Siapa
yang mensosialisasikan, institusi, mass-media, individu dan kelompok.
(Susanto,1992:45)
Michael Rush dan Phillip Althoff berpendapat bahwa
setiap keberhasilan
suatu
proses sosialisasi politik ditentukan oleh faktor lingkungan dan keterkaitan
unsur-unsur
yang mempengaruhinya. Proses keberhasilan sosialisasi politik
ditentukan oleh:
1) Agen
sosialisasi politik, yang terdiri dari keluarga, pendidikan, media massa,
kelompok sebaya, kelompok kerja, kelompok agama. Selain itu keberadaan kelompok
kepentingan dan organisasi kemasyarakatan memberi pengaruh sebagai agen
sosialisasi politik terhadap partisipasi masyarakat.
2) Materi
sosialisasi politik, yaitu pengetahuan, nilai-nilai dan sikap-sikap politik
yang hidup di masyarakat.
3) Mekanisme
sosialisasi politik, di bagi menjadi tiga yaitu, imitasi, instruksi, motivasi.
4) Pola
sosialisasi politik proses yang terus berkesinambungan, untuk mengetahui proses
sosialisasi, yang terdiri dari Badan atau instansi yang melakukan proses
sosialisasi, hubungan antara badan atau instansi tersebut dalam melakukan
proses sosialisasi (Rush & Althoff, 2002:37).
Agen sosialisasi merupakan pemeran utama dalam
keberhasilan proses sosialisasi politik untuk menyebarkan atau menanamkan
nilai-nilai dan norma norma yang terdapat dalam materi sosialisasi politik.
Keberhasilan tersebut ditentukan oleh mekanisme yang terencana dan digambarkan
dalam pola proses sosialisasi yang baik. Apabila proses-proses tersebut dapat
tersusun, maka penyebaran informasi mengenai materi sosialisasi politik dapat
dengan tepat disampaikan ke sasaran sosialisasi. Agen sosialisasi politik
adalah pihak-pihak yang melaksanakan atau melakukan sosialisasi. Terdapat empat
agen sosialisasi yang utama, yaitu keluarga, kelompok bermain, media massa, dan
lembaga pendidikan sekolah. Akan tetapi media dalam proses sosialisasi politik
merupakan sarana tambahan, hal tersebut sejalan dengan pendapat Lane bahwa dasar
sosialisasi adalah keluarga dan peranan media massa hanyalah bersifat tambahan
(dalam Susanto, 1992:163)
Pesan-pesan yang disampaikan agen sosialisasi politik
berlainan dan tidak selamanya sejalan satu sama lain, contohnya apa yang
diajarkan keluarga mungkin saja berbeda dan dapat bertentangan dengan apa yang
diajarkan oleh agen sosialisasi yang lain, tetapi yang menerima pesan dapat
dengan leluasa mempelajarinya dari teman-teman sebaya dan media massa. Materi
sosialisasi politik merupakan isi yang akan disampaikan kepada sasaran
sosialisasi. Pada dasarnya, materi sosialisasi harus mengandung nilai-nilai dan
norma-norma. Adapun pengertian nilai dan norma menurut Mustafa (1995:112)adalah:
“Nilai adalah
prinsip-prinsip etika yang dipegang dengan kuat oleh individu atau kelompok
sehingga mengikatnya dan sangat berpengaruh pada prilakunya sedangkan norma, yaitu
aturan-aturan baku tentang perilaku yang harus dipatuhi oleh setiap anggota
suatu unit sosial sehingga ada sangsi negatif dan positif materi sosialisasi
politik selain memiliki kedua unsur tersebut, harus mengandung unsur peran”.
Peran adalah seperangkat harapan atau tuntutan kepada seseorang
untuk menampilkan perilaku tertentu karena orang tersebut menduduki suatu
status sosial tertentu. Peran materi sosialisasi harus mengandung peran yang berupa
pengetahuan. Pengetahuan secara mendasar sifatnya adalah faktual (walaupun
tidak eksklusif), pengetahuan dapat mendahului pembentukan nilai-nilai dan
sikapsikap, begitupun sebaliknya. Pengetahuan dapat dipergunakan untuk
mendukung suatu nilai khusus atau suatu sikap setelah nilai dan sikap
terbentuk, selain itu pengetahuan dipengaruhi oleh nilai-nilai dan sikap-sikap.
Sikap-sikap berkaitan dengan nilai-nilai, dalam mana kepercayaan-kepercayaan
individu dapat memainkan peranan yang penting dalam penentuan reaksi terhadap
rangsangan khusus dan terhadap pembentukan sikap-sikap ataupun
pendapat-pendapat khusus, akan tetapi sikap-sikap dapat mendahului nilai-nilai,
khususnya yang berlangsung pada dasar sosialisasi politik, nilai-nilai itu
adalah sebagai berikut:
1) Tradisi;
terutama agama, tetapi juga termasuk ikatan-ikatan kekeluargaan dan tradisi
pada umumnya.
2) Prestasi;
ketekunan, pencapaian atau perolehan, ganjaran-ganjaran material, mobilitas
sosial.
3) Pribadi;
kejujuran, ketulusan, keadilan, dan kemurahan hati
4) Penyesuaian
diri; bergaul dengan baik, menjauhkan diri dari kericuhan, menjaga keamanan dan
kententraman.
5)
Intelektual;
belajar dan pengetahuan sebagai tujauan
6)
Politik;
sikap-sikap dan kepercayaan berkaitan dengan pemerintahan. (Syarbaini dkk,
2004:71)
Proses sosialisasi saling berkaitan dengan nilai-nilai
yang dimiliki setiap masyarakat sebagai objek sosialisasi karena nilai-nilai
tersebut dapat mempengaruhi sikap-sikap masyarakat terhadap hal-hal yang baru
muncul di lingkungannya. Agen sosialisasi dalam mentransmisikan elemen-elemen
dari sosialisasi melalui beberapa cara:
1) Imitasi, merupakan peniruan terhadap tingkah
laku individu-individu, dan merupakan hal yang penting dalam sosialisasi pada
masa kanakkanak.
2) Intruksi,
merupakan peristiwa penjelasan diri, akan tetapi para ahli mengatakan hal
tersebut tidak terlalu diperlukan karena terbatas pada proses belajar formal.
3) Motivasi,
lebih banyak diidentifikasikan dengan pengalaman.
Motivasi
adalah merupakan bentuk tingkah laku yang tepat yang dipelajari melalui proses
coba-coba dan gagal, individu yang bersangkutan secara langsung belajar dari
pengalaman mengenai tindakan-tindaka sama cocok dengan sikap-sikap dan
pendapat-pendapat sendiri. (Rush&Allthof, 2002:40)
Cara imitasi lebih cocok diterapkan dalam sosialisasi
untuk masa kanakkanak
atau
pada masa awal. Intruksi lebih banyak dilakukan pada proses belajar formal.
Imitasi dan intruksi merupakan tipe-tipe khusus dari pengalaman, akan tetapi
motivasi lebih banyak diidentifikasikan dengan pengalaman. Sosialisasi
merupakan proses yang berlangsung lama dan rumit yang dihasilkan dari usaha
saling mempengaruhi di antara kepribadian individu dengan pengalaman-pengalaman
yang relevan. Oleh karena itu, untuk mempermudah hasil proses sosialisasi
politik dibentuklah pola sosialisasi yang diilustrasikan dalam sebuah gambar.
Pembuatan pola tersebut, dilakukan setelah proses sosialisasi berjalan yang
akan berkaitan dengan unsur-unsur sebelumnya. Lebih lanjut Ramlan Surbakti mengemukakan
bahwa dari segi penyampaian pesannya sosialisasi politik dibagi dua, yaitu:
1) Pendidikan
politik, merupakan suatu proses dialogik diantara pemberi dan penerima pesan,
melalui proses ini para anggota masyarakat mengenal dan mempelajari
nilai-nilai, norma-norma dan simbol-simbol politik negaranya dari berbagai
pihak dalam sistem politik, seperti sekolah pemerintah dan partai politik.
2) Indoktrinasi
politik, proses sepihak ketika penguasa memobilisasi dan memanipulasi warga
masyarakat untuk menerima nilai, norma dan simbol yang dianggap pihak yang berkuasa,
sebagai ideal dan baik. Melalui berbagai forum pengarahan yang penuh paksaan
psikologis dan latihan yang penuh disiplin, (Surbakti, 1992:117-118).
Salah satu dari agen sosialisasi politik terdapat
kelompok-kelompok kepentingan yang mempunyai tujuan untuk memobilisasi massa
dengan cara memberikan pendidikan tentang politik mengenai nilai-nilai dan
norma-norma politik. Harapan dari kelompok kepentingan adalah timbal balik dari
masyarakat yang telah mendapatkan pendidikan politik untuk dapat berpartisipasi
dalam mendukung pergerakan politik dan tujuan utama dari kelompok kepentingan.
D.
PENGERTIAN,
FUNGSI, TUJUAN dan STRUKTUR OSIS
Dalam
upaya mengenal, memahami, dan mengelola Organisasi Siwa Intra Sekolah (OSIS)
perlu kejelasan mengenai Pengertian, Fungsi, dan Tujuan serta Struktur OSIS.
Dengan mengetahui pengertian, fungsi dan tujuan serta struktur OSIS yang jelas.
Pengertian OSIS, meliputi : 1. Secara Semantis Di dalam Surat Keputusan
Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Nomor 226/C/Kep/0/1992
disebutkan bahwa :
Organisasi
kesiswaan di sekolah adalah OSIS. OSIS adalah Organisasi Intra Sekolah.
Masing-masing kata mempunyai pengertian :
a. Organisasi
Secara umum adalah kelompok kerjasama anatara pribadi yang diadakan untuk
mencapai tujuan bersama. Organisasi dalam hal ini dimaksudkan sebagai satuan
atau kelompok kerjasama para siswa yang dibentuk dalam usaha mencapai tujuan bersama,
yaitu mendukung terwujudnya pembinaan kesiswaan
b. Siswa, adalah peserta didik pada satuan pendidikan
dasar dan menengah
c. Intra,
berarti terletak di dalam dan di antara. Sehingga suatu organisasi siswa yang
ada di dalam dan di lingkungan sekolah yang bersangkutan
d. Sekolah
adalah satuan pendidikan tempat menyelenggarakan kegiatan belajar mengajar,
yang dalam hal ini Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah atau Sekolah/Madrasah
yang sederajat.
2.
Secara Organis OSIS adalah satu-satunya wadah organisasi siswa yang sah di
sekolah. Oleh karena itu setiap sekolah wajib membentuk Organisasi Siswa Intra
Sekolah (OSIS), yang tidak mempunyai hubungan organisatoris dengan OSIS di
sekolah lain dan tidak menjadi bagian/alat dari organisasi lain yang ada di
luar sekolah. 3. Secara Fungsional Dalam rangka pelaksanaan kebijaksanaan
pendidikan, khususnya dibidang pembinaan kesiswaan, arti yang terkandung lebih
jauh dalam pengertian OSIS adalah sebagai salah satudari empat jalur pembinaan
kesiswaan, disamping ketiga jalur yang lain yaitu : latihan kepemimpinan,
ekstrakurikuler, dan wawasan Wiyatamandala. 4. Secara Sistemik Apabila OSIS
dipandang sebagai suatu sistem, berarti OSIS sebagai tempat kehidupan
berkelompok siswa yang bekerjasama untuk mencapai tujuan bersama. Dalam hal ini
OSIS dipandang sebagai suatu sistem, dimana sekumpulan para siswa mengadakan
koordinasi dalam upaya menciptakan suatu organisasi yang mampu mencapai tujuan.
Oleh
karena OSIS Sebagai suatu sistem ditandai beberapa ciri pokok, yaitu :
a.
Berorientasi pada tujuan
b.
Memiliki susunan kehidupan berkelompok
c. Memiliki sejumlah peranan d. Terkoordinasi
e. Berkelanjutan dalam waktu tertentu.
Fungsi Salah satu ciri pokok suatu organisasi
ialah memiliki berbagai macam fungsi. Demikian pula OSIS sebagai suatu
organisasi memiliki pula beberapa fungsi dalam mencapai tujuan. Sebagai salah
satu jalur dari pembinaan kesiswaan,fungsi OSIS adalah :
1. Sebagai
Wadah Organisasi Siswa Intra Sekolah merupakan satu-satunya wadah kegiatan para
siswa di sekolah bersama dengan jalur pembinaan yang lain untuk mendukung tercapainya
pembinaan kesiswaan.
2. Sebagai
Motivator Motivator adalah perangsang yang menyebabkan lahirnya keinginan dan
semangat para siswa untuk berbuat dan melakukan kegiatan bersama dalam mencapai
tujuan.
3. Sebagai
Preventif Apabila fungsi yang bersifat intelek dalam arti secara internal OSIS
dapat menggerakkan sumber daya yang ada dan secara eksternal OSIS mampu
beradaptasi dengan lingkungan, seperti menyelesaikan persoalan perilaku
menyimpang siswa dan sebagainya.
Dengan
demikian secara prepentif OSIS ikut mengamankan sekolah dari segala ancaman
dari luar maupun dari dalam sekolah. Fungis preventif OSIS akan terwujud
apabila fungsi OSIS sebagai pendorong lebih dahulu harus dapat mewujudkan wujudkan
tujuan setiap organisasi yang selalu memiliki tujuan yang ingin dicapai, begitu
pula dengan OSIS ada beberapa tujuan yang ingin dicapai, antara lain :
1. Meningkatkan
generasi penerus yang beriman dan bertaqwa
2. Memahami,
menghargai lingkungan hidup dan nilai-nilai moral dalam mengambil keputusan
yang tepat.
3. Membangun
landasan kepribadian yang kuat dan menghargai HAM dalam kontek kemajuan budaya
bangsa
4. Membangun,
mengembangkan wawasan kebangsaan dan rasa cinta tanah air dalam era globalisasi
5. Memperdalam sikap sportif, jujur, disiplin,
bertanggung jawab, dan kerjasama secara mandiri, berpikir logis dan demokratis
6. Meningkatkan
pengetahuan dan keterampilan serta menghargai karya artistic, budaya dan
intelektual.
7. Meningkatkan
kesehatan jasmani dan rohani memantapkan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegar.
Berdasarkan
fungsi dan tujuan OSIS, penulis mempunyai gambaran bahwasannya politik dan
demokrasi telah dikenal oleh generasi muda di sekolah sekolah. Namun tujuan
berikutnya siswa tidak hanya mengetahui namun memahami lebih jauh fungsi
politik dan pemerintahan yang demokratis yang diaplikasikan secara sederhana
dalam Organisani Intra Sekolah (OSIS). Secara umum di sekolah telah
menggambarkaan bagaiman sistem pemerintahan seperti adanya OSIS, MPK, KPO dan
organisasi yang lain, yang mana telah mengajrkan setiap organisasi beserta
fungsi masing-maasing.
D.1 Sistem Pembelajaran Politik di
OSIS
Kalau dilihat dan diamati , pemilihan ketua OSIS sudah
mengadopsi sistem politik Indonesia yaitu pemilihan dilakukan secara langsung
oleh seluruh peserta didik. Mereka memiliki panitia khusus pemilihan ketua
OSIS, yang fungsinya sama persis dengan Komisi Pemilihan Umum (KPU), yaitu
merancang dan mengatur sistem pemilihan serta dibantu oleh Wakases Kesiswaan
sebagai pembina.
Pertarungan ide dan pertarungan konsep melalui
penyampaian visi dan misi disampaikan di depan publik, terdengar begitu baik
dan begitu real, sesekali para peserta didik ini bertepuk tangan untuk
memeriahkan kegiatan kampanye tersebut. Kampanye dari satu tim dan tim lainnya
berjalan begitu alot, saya teringat waktu Pemilihan Anggota Legislatif
(Pemilihan Umum) dan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden beberapa bulan yang
lalu. Hiruk pikuk politik begitu dirasakan, yang sama persis dengan para
peserta didik ini, walaupun untuk peserta didik levelnya masih kecil. Yang
membedakan antara keduanya adalah, para peserta didik memainkan pola politiknya
dengan senyum, tawa, canda dan kegirangan yang dihadirkan dari dalam diri
mereka, ini mungkin karena mereka belum paham betul tentang hegomini kuasa
(mengutip pendapat Foucault), sedangkan para politisi Indonesia dalam
berpolitik menggunakan nalar kuasanya sehingga yang terlihat saat itu hingga
kini pola politiknya dengan wajah yang panas hingga membakar senyum dan
menghilangkan kegembiraan.
Siapa yang akan terpilih, itulah pertanyaan mendasar
ketika para peserta didik sedang duduk santai sambil menyantap makanan ringan
dan bercerita sejenak. Mereka seakan lupa bahwa yang menentukan siapa yang
menjadi ketua OSIS itu adalah setiap peserta didik yang terdaftar dan hadir
sebagai pelajar di sekolah tersebut.
Nilai demokrasi, nilai kejujuran, nilai keadilan dan
nilai kerahasiaan yang ada dalam sistem politik bangsa ini coba diterapkan
dalam pergolakan pemilihan ketua OSIS. Memang levelnya masih rendah dan yang
memainkan peran hanyalah pelajar yang umurnya berkisar 15 tahun higga 18 tahun,
namun tidak kalah dengan pemilihan-pemilihan langsung lainnya.
Peserta didik masih bisa ditegur dan diajarkan tentang
moral dan perilaku yang baik, tetapi kenyataannya para politisi susah untuk
dikritisi, mereka akan tersinggung jika rakyat yang memilih dan mengangkat
mereka menjadi orang terhormat mengkritisi kebijakan yang diambil, seakan
kebenaran hanya berasal dari pemangku kekuasaan semata. Sebuah realitas sosial
yang sudah tidak lagi menghiraukan teori relativisme dan hukum kausalitas.
Hanya dengan setengah hari para kandiddat telah selesai melalukan proses
kampanye politiknya kepada teman-temanya dengan tujuan agar visi-misi yang
mereka bawa bisa menarik hati para warga masyarakat sekolah. Dan setelah itu
barulah dilakukan pencoblosan yang sudah barang tentu bersifat jujur, adil, dan
rahasia.
D.2 Penerapan Demokrasi di OSIS
Sikap demokratis di kalangan siswa dapat
ditumbuhkembangkan di lingkungan kehidupan sehari-hari, baik di sekolah,
masyarakat, maupun keluarga. Sikap demokratis yang tertanam sejak dini akan
memberikan pengaruh yang baik kepada seseorang dalam kehidupannya pada masa
yang akan datang saat yang bersangkutan telah memiliki hak-hak politik yang
penuh sebagai warga masyarakat dan warga bangsa.
Demokrasi yang selama ini kita kenal dengan
pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat dapat diartikan sebagai
mekanisme sistem pemerintahan negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan
rakyat. Prinsip demokrasi meliputi keterlibatan warga negara dalam pembentukan
keputusan politik,kesetaraan di antara warga negara, adanya supremasi hukum dan
kegiatan pemilu berkala yang bebas jujur dan adil. Contoh nyata demokrasi
Indonesia adalah pelaksanaan Pemilu yang diselenggarakan setiap lima tahun
sekali baik untuk memilih presiden maupun wakil rakyat lainnya. Namun, proses
demokrasi yang berlangsung sekitar 13 tahun masih dilanda permasalahan krusial.
Karena itu,tidak mengherankan jika hasil survei majalah ekonomi ternama,The
Economist,di tahun 2013 menempatkan Indonesia pada peringkat ke-53 dalam
peringkat ranking kualitas demokrasi. Gambaran ini menunjukkan demokrasi belum
sepenuhnya dipraktekkan secara matang di Indonesia. Hal ini disebabkan karena
pelaksanaan demokrasi masih sebatas demokrasi liberal yang berujung pada system
multipartai. Parpol menimbulkan persaingan yang ketat antar partai. Sehingga,
hal ini berujung dengan timbulnya persaingan tidak sehat diantara parpol
semakin besar. Permasalahan ini timbul tidak lepas dari usaha elit politik mencari
simpati rakyat untuk mendapatkan suara dalam memenangkan suatu pemilu, sehingga
jalan pintas melalui money politik-pun banyak dilakukan(Ilyas,Mohammad, 2014).
Money politik terjadi karena adanya hubungan
mutualisme antar pelaku yaitu partai, politisi, perantara lain,dan korban yaitu
rakyat secara umum. Elite politik tersebut menggunakan kekuasaan dan uang untuk
melakukan pembodohan terhadap masyarakat dalam mencapai kemenangan politik.
Money politik dilakukan mulai dari pemilihan kepala daerah secara langsung,pemilihan
legislatif hingga pemilihan presiden. Bentuknya pun amat beragam,mulai dari
pembagian sembako,biaya transportasi selama kampanye hingga pembagian uang
secara langsung( Alfiandry Allyson,D, 2012). Persaingan yang tidak sehat antara
parpol ini tidak baik untuk suatu kemajuan bangsa. Jalan pintas dengan money
politics yang dilakukan partai maupun politisi adalah bukti belum siapnya para
pelaku politik untuk melakukan proses penguatan partai melalui pengkaderan dan
penggalangan basis massa yang kuat. Keadaan seperti ini tidak bisa dibiarkan
terus menerus terjadi sehingga diperlukan pendidikan demokrasi.
Pendidikan demokrasi adalah cara bagaimana suatu
bangsa mentransfer budaya demokrasinya dari generasi yang satu ke generasi
kemudian. Pendidikan demokrasi menempati posisi yang sangat sentral. Melalui
pendidikan demokrasi,pemerintah dapat menyadarkan rakyat bahwa rakyat memiliki
hak politik dalam menentukan jalannya masa depan bangsa melalui pilihan yang
cerdas bukan berdasarkan semata-mata pada janji tetapi juga track record serta
kapasitas. Karena mulai tahun 2014 ini,bangsa Indonesia memasuki tahapan yang
istimewa yaitu tahapan bonus demografi (tahapan dimana jumlah penduduk
produktif lebih besar) (Sonny B Harmadi, 2014).
Peran Pemerintah dan partisipasi masyarakat sekitar
terhadap sekolah sebagai ranah demokrasi merupakan faktor yang turut
menentukan. Dengan demikian ada dua aspek strategis yang perlu dikedepankan
yaitu terkait dengan pola dan kebijakan pengelolaan sekolah yang berbasis pada partisipasi
banyak pihak. dan berhubungan dengan praktik pembelajaran yang inovatif
sehingga lebih merangsang kemampuan intelektual,kepedulian sosial,dan
keterampilan hidup komunitas pembelajar di suatu sekolah. Pengembangan
nilai-nilai demokratis di sekolah juga perlu diterapkan untuk menghadapi era
globalisasi yang kini diyakini menghadirkan banyak perubahan global seiring
dengan akselerasi keluar masuknya berbagai kultur dan peradaban baru dari
berbagai bangsa di dunia. Salah satu contoh yaitu menerapkan budaya demokrasi
di lingkungan sekolah sebagai miniatur perjalanan demokrasi dalam kehidupan
masyarakat yang sebenarnyaa. Salah satu contoh penerapan demokrasi di sekolah
sebagai media belajar berdemokrasi adalah melalui kegiatan pemilihan OSIS. OSIS
(Organisasi Siswa Intra Sekolah) merupakan satu-satunya organisasi kesiswaan
yang berada di lingkungan sekolah. Tujuan didirikannya OSIS adalah untuk
melatih siswa dalam berorganisasi dengan baik dan menjalankan kegiatan sekolah
yang berhubungan dengan siswa. Sebagai satu-satunya wadah organisasi siswa di
sekolah untuk mencapai tujuan pembinaan dan pengembangan kesiswaan yang selaras
dengan visi misi sekolah maka organisasi ini bersifat intra sekolah,artinya
tidak ada hubungan organisatoris dengan OSIS di sekolah lain, dan tidak menjadi
bagian dari organisasi lain yang ada di luar sekolah. Keberadaannya menjadi
sorotan publik sebagai penilaian awal untuk sekolah. Oleh karena itu OSIS
haruslah mempunyai pengurus yang berkompeten, mempunyai jiwa kepemimpinan dan bertangung
jawab. Sehingga diperlukan sistem pemilihan pengurus OSIS yang sistematis dan
benar benar selektif. Dalam pendidikan demokrasi di sekolah,yang dilakukan
dalam proses pemilihan OSIS adalah membentuk KPO ( Komisi Pemilihan OSIS
),sebuah komisi yang bersifat sementara untuk melaksanakan pemilihan majelis
perwakilan kelas dan badan eksekutif OSIS. Pembentukan KPO ( Komisi Pemilihan
OSIS ), dilaksanakan oleh OSIS yang akan berakhir masa pengabdiannya yang
dibantu oleh kesiswaan dengan rekomendasi surat keputusan dari kepala sekolah.
Selanjutya KPO akan melaksanaan tugasnya yang telah disusun dalam program kerja
Ketika semua tugas dan sudah terbentuknya OSIS sudah terlaksana maka KPO sudah
tidak berfungsi lagi dan bisa dibubarkan. Beberapa tugas KPO dapat dijelaskan
sebagai berikut: Tahap pertama,sosialisasi tentang pemilihan pengurus OSIS. KPO
akan menjelaskan kepada semua warga sekolah betapa pentingnya arti demokrasi
terhadap penerapan kehidupan berbangsa dan bernegara dalam arti luas dan dalam
kehidupan di lingkungan sekolah. Tahap kedua,berkoordinasi dengan wali kelas
terkait dengan musyawarah perwakilan kelas (MPK), yang bertugas untuk mengawasi
kinerja OSIS. Dalam hal ini, KPO akan dibantu oleh wali kelas untuk mencari
dalam perekrutan calon MPK sampai pada tahap pengesahan. Tahap ketiga,membantu
proses pemilihan pengurus MPK. KPO membantu dan menyediakan fasilitas fasilitas
yang diperlukan untuk memperlancar proses kegiatan tersebut. Tahap
keempat,melakukan proses seleksi calon calon pengurus OSIS. MPK melakukan
penjaringan terhadap calon calon badan eksekutif OSIS, dengan pemantauan
langsung dari KPO, dengan kriteria dasar yaitu Kemauan, Nilai Raport dan
Perilaku. Kemauan dapat diartikan,sanggup menjadi calon ketua OSIS,karena tidak
setiap siswa mau untuk menjadi pengurus OSIS dengan berbagai alasan, meskipun
secara kemampun masuk dalam kriteria penilaian. Penilaian raport berfungsi
untuk menjaring siswa yang mempunyai prestasi,karena menjadi ketua OSIS akan
mempunyai tanggungjawab besar dalam mengatur aktifitas disekolah. Selanjutnya
dengan mengadakan tes calon ketua OSIS. Test tersebut untuk mengukur bakat,
minat, kemampuan, kesungguhan dan ketrampilan mereka secara individual. Hasil
seleksi diumumkan berdasarkan peringkat sesuai kebutuhan jumlah personal dalam
kepengurusan badan eksekutif OSIS. Tahap kelima,melaksanakan Latihan Dasar
Kepemimpinan Sekolah (LDKS) calon badan eksekutif OSIS. Materi yang diberikan
dalam LDKS diantaranya adalah : Kepemimpinan, Organisasi, Dinamika Kelompok,
dll. LDKS akan memunculkan bakat calon pemimpin yang menonjol,yang nantinya
disiapkan sebagai calon ketua dan wakil ketua OSIS. Tahap keenam,melaksanakan
pemilihan ketua OSIS dan pengurusnya. Dalam pelaksanaan pemilihan ketua
OSIS,dimana masing-masing calon harus bersedia melakukan kampaye yang diakhiri
dengan melakukan orasi secara umum di depan semua warga sekolah. Mekanisme
pemilihan dan penghitungan dilakukan di tempat terbuka yang bisa disaksikan
oleh unsur unsur KPO,MPK,saksi,pembina OSIS maupun seluruh warga sekolah.
Setelah ketua dan wakil ketua OSIS terpilih maka dilakukan pembentukan struktur
eksekutif OSIS. Dalam struktur eksekutif OSIS tersebut juga terdiri dari 10
orang anggota. Dilanjutkan dengan pelantikan oleh Kepala Sekolah dan serah
terima jabatan dari OSIS lama kepada OSIS baru.
Tahap ketujuh,melaksanakan rapat penyusunan program
kerja (OSIS dan MPK) periode 2013/2014 dengan agenda membuat program kerja baru
OSIS masa bhakti baru. Pembuatan program kerja ini dimaksudkan supaya OSIS baru
mempunyai arah kegiatan yang jelas dan telah disepakati bersama. Tahap
kedelapan, KPO membuat laporan pertanggungjawaban atas semua kegiatan yang
telah dilakukan dalam bentuk portofolio yang dilengkapi dengan dokumentasi
kegiatan sesuai dengan urutan kegiatan. Tahapan tahapan pelaksanaan pemilihan
kepengurusan OSIS diatas merupakan tahapan umum yang dilaksanakan dalam
pemilihan OSIS di sekolah. Tahapan tahapan tersebut sudah menerapkan budaya
demokrasi yang baik.
Hal ini terlihat dari pelaksanaan pemilihan yang
berasaskan luberjurdil serta pelaksanaan pemilihan OSIS yang mencerminkan
budaya demokrasi. Dalam setiap kegiatan OSIS akan terjalin kerjasama yang baik
antar siswa dengan siswa dan antara siswa dengan sekolah sekaligus terjalinnya
interaksi antara siswa dengan guru. Hal ini menunjukkan bahwa melalui pemilihan
ketua OSIS di sekolah telah mencerminkan pendidikan demokrasi yang dapat
dijadikan sebagai media pendidikan demokrasi di sekolah menuju terwujudnya
budaya demokrasi sesuai amanah yang terkandung dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia. Melalui pendidikan demokrasi di sekolah dapat dijadikan
sebagai tonggak dasar penanaman budaya demokrasi bagi generasi penerus bangsa.
Melalui kegiatan pemilihan OSIS, generasi muda sudah melaksanakan budaya
demokrasi khususnya dalam ruang lingkup sekolah yang sekaligus sebagai miniatur
pelaksanaan demokrasi di Indonesia.
D.3
Pengenalan Sistem Pemerintahan di OSIS
Dalam upaya mengenal, memahami dan mengelola
Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS), diperlukan kejelasan mengenai pengertian
dan peranan tentang Organisasi Siswa Intra Sekolah itu sendiri. Dengan
pengertian dan peranan yang jelas, akan membantu para pengurus OSIS, pembina,
dan perwakilan kelas untuk mendayagunakan OSIS, sesuai dengan fungsinya.
Secara sistematis OSIS mempunyai pengertian: Kelompok
kerja sama antara pribadi, yang pesertanya adalah siswa pada satuan pendidikan
sesuai jenjangnya, yang terletak di dalam dan di antara lingkungan sekolah,
yang tugasnya berkesinambungan guna mencapai tujuan bersama. Sedangkan secara
organisasi pengertian OSIS itu sendiri merupakan salah satu jalur pembinaan
kesiswaan, dan merupakan salah satu sistem yang berfungsi sebagai tempat
kehidupan berkelompok siswa bekerja sama untuk mencapai tujuan bersama.
Guna menunjang peranan pengurus OSIS maka perlu
ditumbuhkan sifat-sifat kepemimpinan. Oleh karena itu perlu disampaikan pula
dalam sebuah pelatihan dasar atau upgrading bagi pengurus OSIS tentang materi
kepemimpinan, macam-macam dan tipe seorang pemimpin. Akhir dari kegiatan ini,
ditekankan sekali lagi dalam evaluasi bahwa sebagai suatu organisasi OSIS,
tetap perlu memperhatikan faktor-faktor yang sangat berperan agar OSIS dapat
senantiasa hidup dalam arti memiliki kemampuan beradaptasi agar tetap eksis.
Faktor-faktor tersebut antara lain: sumber daya, efisiensi, koordinasi kegiatan
dengan lingkungan luar, dan terpenuhinya fungsi dan peran seluruh komponen
(pengurus OSIS, perwakilan kelas, pembina OSIS, pihak sekolah dan masyarakat
luas, termasuk para orangtua siswa).
Seperti halnya dalam sistem pemerintahan, Ketua
terpilih dalam kepengurusan OSIS juga membuat program keja, baik itu jangka
pendek ataupun jangka panjang dengan kata lain mengimplementasikan
janji-janjinya ketika kampanye sebelumnya. Sepert halnya dalam pemerintahan,
sisitem kepengurusan OSIS juga mempunyai mentri-mentri atau yang sering di
kenaal dengan sekertaris bidang (sekbid) yang mana tujuanny membantu ketua OSIS
selaku presiden di sekolah dalam menjalnkan kebijakan-kebijakanya. Selama
menjabat dan melajabt dan melaksanakan program kerjanya kepengurusan OSIS juga
dibantu dan dipantau oleh Majelis
Perwakilan Kelas (MPK). Salah satu fungsi dari MPK ialah menyalurkan aspirasi
siswa yang diwakiliny dari tiap kelas. Adapun untuk menjadi anggota MPK
dilakukan pemililihanya di dalam kelas, dan untuk menjadi pengurus OSIS
merupakan menjadi hak preogatif seorang Ketua OSIS dalam menentukanya.
E.
Kerangka
Pemikiran
Perkembangan politik dan demokrasi di Indonesia sepertinya dipandang menuju pada arah yang
lebih baik. Partisipasi politik merupakan hal yang sangat penting dalam suatu
Negara. Karena merupakan salah satu bentuk untuk mengembangkan potensi dan
menyalurkan aspirasi masyarakat. Partisipasi politik dapat diartikan sebagai
keikut sertaan seseorang dalam berbagai kegiatan politik. Miriam Budiardjo
(2003:76) mengemukakan partisipasi
politik adalah kegiatan seseorang atau sekelompok orang untuk ikut secara aktif
dalam kehidupan politik yaitu dengan cara jalan memilih pimpinan negara secara
langsung atau tidak langsung, mempengaruhi kebijakan pemerintah. Kegiatan ini
mencakup tindakan seperti memberikan suara dalam pemilihan umum, menghadiri
rapat umum, menjadi anggota suatu partai, mengadakan hubungan dengan pejabat
pemerintah.
Namun pada nyatanya diera demokrasi ini pemahaman
warga masyarakat tehadap sitem politik dan pemerintahan yang demokratis masih
rendah, terbukti dengan masih banyaknnya orang yang melakukan golput saat
adanya pemilihan umum baik itu Pilkada ataupun pemilihan Umum laianya. Dalam
hal ini perlunya tingkat kesadaaran dan pemaham warganya agar tercapanya
semangat demokrasi yang sesungguhnya. Menurut Samuel
P. Huntington (1992:72) menyatakan:
“Sistem politik sebagai
demokratis sejauh para pembuat keputusan kolektif yang paling kuat dalam sistem
itu dipilih melalui pemilihan umum yang jujur, adil, dan berkala, dan di dalam
sistem itu para calon bebas bersaing untuk memperoleh suara dan hampir semua
penduduk dewasa berhak memberikan suara”.
Dalam menciptakan pemerintahan yang demokratis dan
jugan politik yang bersih perlu dilakukannya sosialisasi terhadap wargnya, dan
itu menjadi tugas semu baik itu pemerintah ataupun warga mayarakatannya. Menurut
Richard E. Dawson dalam Maisuri (2006:2) sosialisasi politik adalah pewarisan pengetahuan , nilai
dan pandangan politik darimorang tua,
guru dan sarana sosialisasi lainnya bagi warga baru dan yang beranjak dewasa. Sekolah
memainkan peran sebagai agen sosialisasi politik melalui kurikulum pengajaran
formal, beraneka ragam kegiatan ritual sekolah dan kegiatan-kegiatan guru.
Sekolah melalui kurikulumnya memberikan
pandangan-pandangan yang kongkrit tentang lembaga-lembaga politik dan
hubungan-hubungan politik. Ia juga dapat memegang peran penting dalam pembe ntukan
sikap terhadap aturan permainan politik yang tak tertulis. Sekolah pun dapat
mempertebal kesetiaan terhadap system politik dan memberikan symbol-simbol umum
untuk menunjukkan tanggapan yang ekspresif terhadap system tersebut. Peranan
sekolah dalam mewariskan nilai-nilai politik tidak hanya terjadi melalui
kurikulum sekolah. Sosialisasi juga dilakukan sekolah melalui berbagai upacara
yang diselenggarakan di kelas maupun di luar kelas dan berbagai kegiatan ekstra
yang diselenggarakan oleh OSIS.
BAB
III
METODE
PENELITIAN
3.1
Desain Penelitian
Format
desain penelitian ini adalah deskriptif kuantitatif. Penelititian deskriptif
kuantitatif merupakan penelitian yang dinaksudkan untuk mengumpulkan informasi
mengenai status suatu gejala yang ada, yaitu keadaan gejala menurut apa adanya
pada saat penelitian yang dilakukan. penelitian deskriptif kuantitatif tidak memerlukan
administrasi atau pengontrolan terhadap sesuatu perlakuan. Penelitian deskriptif
kuantitatif tidak dimaksudkan untuk menguji hipoteis tertentu, tetapi hanya menggambarkan
“ apa adanya “ tentang suatu variabel, gejala atau keadaan ( Suharsini Arikunto, 2009 : 234 )
3.2
Ruang Lingkup dan Lokasi Penelitian
Ruang
lingkup dan batasan dalam penelitian ini adalah Peranan Sekolah dalam proses
sosialisasi politik terhadap Siswa SMP Negeri 2 Bandung Adapun lokasi
penelitian yang akan dipilih adalah di SMP Negeri 2 Bandung,
3.3
Populasi dan Sampel
3.1.1 Populasi
Populasi
adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas obyek/subyek yang memiliki
kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk
dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya. Populasi obyek dalam penelitian
ini adalah 414 siswa yang tersebar dalam 11 rombongan belajar sebagai berikut :
3.1.1 Sampel
Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik
yang dimiliki oleh poppulasi tersebut. Apabila polulasi besar dan peneliti
tidak mungkin mempelajari semua yang ada pada populasi, misalnya karena
keterbatasan dana, tenaga dan waktu, maka peneliti dapat menggunakan sampel
yang diambil dari populasi itu.
3.4 Teknik Penentuan Responden Penelitian ( sampel )
Dalam penelitian ini cara memperoleh informasi, peneliti
menggunakan teknik sampling berimbang ( % subyek yang ada di dalam
masing-masing kelompok tersebut ( Suharsini Arikunto, 2009 : 98 ).
Menurut
Sugiyono ( 2002:87 ), berdasarkan tabel penentuan jumlah sampel dari populasi
dari populasi tertentu yang dikembangkan dari Isaac dan Michael untuk tingkat
kesalahan 5 %, maka dari populasi 414 siswa diperoleh sampel sebanyak 165 siswa
dengan perhitungan tersebut. Peneliti ingin meneliti subyek siswa-siswi klas XI
SMA Negeri 2 Semarang
yang terdiri dari 11 rombongan belajar/kelas, program
studi IA= 9 klas dan program studi IS = 2 klas. Dalam mengambil sampel, peneliti
menggunakan sampling kelompok berimbang acak melalui langkah-langkah sebagai
berikut :
1. Menghitung jumlah siswa 11 kelas sebanyak = 414
siswa
2. Menentukan sampel berdasarkan tabel kesalahan 5 %
sebanyak 165 siswa
3. Pengambilan sampel berdasarkan jumlah siswa dalam
tiap-tiap rombongan
belajar/kelas.
3.5 Teknik Pengumpulan Data.
Penelitian ini menggunakan 2 ( dua ) macam metode
pengumpulan data,
sebagai berikut :
a. Pengamatan
Untuk mendapatkan informasi, maka pengamatan juga
penting, guna mengetahui
gerak-gerik yang dilakukan tetapi berpola selama masa
penenelitian dilakukan.
b. Kuesioner
Metode pengumpulan data primer yang digunakan adalah
dengan menyebarkan
kuesioner kepada responden, Klas XI. Dalam hal ini
peneliti mengirimkan kuesioner
secara langsung maupun tidak langsung. pertanyaan
dalam kuesioner bersifat
terbuka dan tertutup yang akan digunakan untuk
mendapatkan data tentang dimensidimensi
dan kontruksi yang sedang dikembangkan dalam
penelitian ini.
c. Wawancara
Wawancara dilakukan untuk mendapatkan informasi yang
lebih mendalam guna
melengkapi informasi kuesioner
d. Studi Pustaka
Kegiatan mengumpulkan bahan-bahan yang berhubungan
dengan penelitian yang
diperoleh dari jurnal, literatur dan sumber lain yang
dapat dijadikan bahan masukan
untuk mendukung penelitian.
3.6 Teknik Analisa Data
Analisa data deskriptif
kuantiitatif adalah analisa data yang dapat dianalisis dengan non statistik
maupun dengan statistik. Analisa data dengan teknik analisis deskriptif
kuantitatif masih bersifat non statistik, dan kalaupun dikemukakan dengan angka-angka
masih sangat sederhana yaitu baru frekuensi dan prosentase. Analisa statistik
deskriptif merupakan statistik yang bertugas untuk mendeskripsikan atau memberi
gambaran terhadap obyek yang diteliti melalui data sampal sebagaimana adanya
tanpa melakukan analisis dan membuat kesimpulan yang berlaku untuk umum. Statistik
deskriptif sifatnya sangat sederhana dalam arti tidak menghitung dan tidak pula
Menggeneralisasikan hasil penelitian (
Suharsini Arikunto, 2009 : 262-277 )
0 comments:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !